Rabu, 27 Agustus 2014

Revolusi Politik Luar Negeri

Revolusi Politik Luar Negeri

Ben Perkasa Drajat  ;   Diplomat; Soekarnois;
Pengajar di Sekolah Dinas Luar Negeri (Sekdilu) dan Universitas Paramadina
KOMPAS, 26 Agustus 2014
                                                


BAGAIMANA tampilan politik luar negeri presiden terpilih Joko Widodo? Dunia menanti arah politik luar negeri RI. Adakah perubahan substansi, gaya diplomasi, dan lebih asertif dengan inisiatif-inisiatif baru? Seberapa jauh semangat revolusi mental memengaruhi diplomasi RI?

Dari visi dan misi Jokowi-JK tergambar kebijakan utama luar negeri, yaitu kerja sama maritim, Indonesia sebagai middle power, regionalism beyond ASEAN, dan penguatan infrastruktur diplomasi. Secara tematik, perlindungan TKI, diplomasi publik, diplomasi ekonomi dan Palestina merupakan program-program unggulan Presiden Jokowi.

Isi visi dan misi tersebut harus dituangkan dalam pernyataan konkret karena selama ini tidak pernah ada deklarasi prioritas dan agenda foreign policy kita. Inilah yang harus direvolusi. Pernah ada rencana menyusun semacam buku putih politik luar negeri 13 tahun lalu di era Presiden Megawati, tetapi lenyap tak berbekas.

Buku putih harus mudah dipahami, singkat, padat dan jelas. Tak lebih 15-20 halaman. Dari penajaman buku putih, para duta besar dan semua diplomat diberi panduan teknis operasional dalam bentuk ”Buku Saku Panduan Kebijakan Luar Negeri RI” yang terus diperbarui. Gunanya agar semua jajaran diplomasi satu suara, satu nada, satu pemahaman.

Substansi

Revolusi substansi dilakukan dalam dua penjuru pemikiran. Pertama, kontinuitas. Komitmen yang sudah disepakati pemerintahan lama harus dihormati. Program Komunitas ASEAN, APEC, G-20, WTO, perubahan iklim, inisiatif Chiangmai dan lain-lain yang on-going harus dilanjutkan.

Kedua, sesuai semangat perubahan, Presiden Jokowi saya usulkan memiliki agenda kebijakan baru yang membahana! Ini sesuai dengan harapan publik agar foreign policy Jokowi menunjukkan harga diri dan kebanggaan nasional.

Karena kerja sama maritim jadi prioritas, agenda pertama ialah membangun aliansi kelautan baru. Segera realisasikan mekanisme kemaritiman global baru melalui ”The New World Maritime Coalition”. Dekati semua negara kepulauan (Jepang, Filipina, Inggris, dan lain-lain) ataupun negara dengan kekuatan maritim global, seperti AS dan Tiongkok, untuk membahas orde internasional maritim baru.

Deklarasi kelautan

Untuk memulainya, Indonesia perlu kembali menggaungkan ”Deklarasi Kelautan Indonesia Hebat”. Deklarasi ini menegaskan kedaulatan, kemandirian, dan kepribadian Indonesia di semua wilayah maritim RI. Saya usulkan nama ”Deklarasi Juanda II”. Inisiatif unilateral ini penting agar dunia memahami bahwa kita serius soal kedaulatan, integritas, dan kerja sama maritim baru tersebut.

Opsi inisiatif baru lainnya sejalan dengan semangat Trisakti. Presiden Jokowi dapat menggulirkan romantisme ide lama Bung Karno dengan reformatting baru. Presiden Jokowi, misalnya, dapat menggagas Conference of the New Emerging Forces (Conefo).

Kaji modalitasnya, tetapi bentuklah embrio forum dengan menformalkan pengelompokan negara-negara menengah baru yang sedang populer dengan MINT (Meksiko, Indonesia, Nigeria, Turki). Ini layer kedua pengelompokan setelah BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan).

Terminologi new emerging forces warisan Bung Karno ini cocok (agak dicocok-cocokkan) dengan MINT. Presiden Jokowi tinggal menghubungi kepala pemerintahan Meksiko, Nigeria, dan Turki serta mengusulkan kemungkinan pembentukan aliansi baru lintas benua ini, sebagaimana BRICS. Setelah itu, Indonesia dapat menyeting agenda dan gagasan new emerging forces.

Tatanan pikir

Revolusi mental berikutnya adalah tatanan-pikir atau mindset. Yang pertama harus dirombak adalah terminologi salah kaprah atas ”politik luar negeri”. Sebenarnya apa yang disebut ”politik luar negeri” termasuk judul tulisan ini adalah padanan dari foreign policy yang seharusnya dalam bahasa Indonesia adalah ”kebijakan luar negeri”.

Dampak dari salah kaprah ini bukan hanya di wilayah semantik, melainkan juga pada fondasi strategis dan pengambilan kebijakan. Karena kebijakan luar negeri (yang seharusnya mencakup bidang politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain) direduksi hanya sebagai ”politik”, di Kementerian Luar Negeri tidak ada unit struktural yang menangani kerja sama ekonomi.

Menteri Luar Negeri hanya berada di bawah koordinasi Menko Polkam, tidak di Menko Perekonomian. Padahal, yang sekarang banyak bergulir justru diplomasi dan kerja sama ekonomi internasional. Presiden Jokowi menginginkan para dubes RI lebih aktif bernegosiasi ekonomi. Bagaimana mau negosiasi jika tidak ada instansi yang memandu, tidak ada pembuat standar kebijakan.

Jika diplomasi ekonomi Presiden Jokowi ingin sukses, harus ada Direktorat Jenderal Diplomasi Ekonomi di Kemlu. Menlu juga tidak hanya berada di bawah Menko Polkam, tetapi juga Menko Perekonomian (jika lembaga Menko masih akan ada).

Mindset berikutnya yang harus direvolusi adalah pengembangan SDM yang merupakan aspek terpenting pendukung kinerja kebijakan luar negeri dan diplomasi.

Pertama, perlu dibuat UU Dinas Luar Negeri (Foreign Service Act) yang mengatur mekanisme pengisian jabatan-jabatan diplomatik. Duta besar, misalnya, adalah satu-satunya jabatan negara yang prosedur pengangkatannya tidak diatur oleh UU, melainkan langsung dari UUD.

Kedua, pemberlakuan diplomat sebagai profesi dengan pembentukan asosiasi profesi dan kode etik profesi.

Ketiga, perlu dibentuk ”Badan SDM Kemlu” termasuk assessment center yang akuntabel guna menjamin profesionalisme SDM agar pengisian posisi dan jabatan dapat akurat dan presisi. Pengisian jabatan di semua lini diplomatik harus menggunakan sistem seleksi terbuka (lelang jabatan) yang transparan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar