Revolusi
Politik Luar Negeri
Ben Perkasa Drajat ; Diplomat; Soekarnois;
Pengajar
di Sekolah Dinas Luar Negeri (Sekdilu) dan Universitas Paramadina
|
KOMPAS,
26 Agustus 2014
BAGAIMANA tampilan
politik luar negeri presiden terpilih Joko Widodo? Dunia menanti arah politik
luar negeri RI. Adakah perubahan substansi, gaya diplomasi, dan lebih asertif
dengan inisiatif-inisiatif baru? Seberapa jauh semangat revolusi mental
memengaruhi diplomasi RI?
Dari visi dan misi
Jokowi-JK tergambar kebijakan utama luar negeri, yaitu kerja sama maritim,
Indonesia sebagai middle power, regionalism beyond ASEAN, dan penguatan
infrastruktur diplomasi. Secara tematik, perlindungan TKI, diplomasi publik,
diplomasi ekonomi dan Palestina merupakan program-program unggulan Presiden
Jokowi.
Isi visi dan misi
tersebut harus dituangkan dalam pernyataan konkret karena selama ini tidak
pernah ada deklarasi prioritas dan agenda foreign policy kita. Inilah yang harus
direvolusi. Pernah ada rencana menyusun semacam buku putih politik luar
negeri 13 tahun lalu di era Presiden Megawati, tetapi lenyap tak berbekas.
Buku putih harus mudah
dipahami, singkat, padat dan jelas. Tak lebih 15-20 halaman. Dari penajaman
buku putih, para duta besar dan semua diplomat diberi panduan teknis
operasional dalam bentuk ”Buku Saku Panduan Kebijakan Luar Negeri RI” yang
terus diperbarui. Gunanya agar semua jajaran diplomasi satu suara, satu nada,
satu pemahaman.
Substansi
Revolusi substansi
dilakukan dalam dua penjuru pemikiran. Pertama, kontinuitas. Komitmen yang
sudah disepakati pemerintahan lama harus dihormati. Program Komunitas ASEAN,
APEC, G-20, WTO, perubahan iklim, inisiatif Chiangmai dan lain-lain yang
on-going harus dilanjutkan.
Kedua, sesuai semangat
perubahan, Presiden Jokowi saya usulkan memiliki agenda kebijakan baru yang
membahana! Ini sesuai dengan harapan publik agar foreign policy Jokowi
menunjukkan harga diri dan kebanggaan nasional.
Karena kerja sama
maritim jadi prioritas, agenda pertama ialah membangun aliansi kelautan baru.
Segera realisasikan mekanisme kemaritiman global baru melalui ”The New World Maritime Coalition”.
Dekati semua negara kepulauan (Jepang, Filipina, Inggris, dan lain-lain)
ataupun negara dengan kekuatan maritim global, seperti AS dan Tiongkok, untuk
membahas orde internasional maritim baru.
Deklarasi kelautan
Untuk memulainya,
Indonesia perlu kembali menggaungkan ”Deklarasi Kelautan Indonesia Hebat”.
Deklarasi ini menegaskan kedaulatan, kemandirian, dan kepribadian Indonesia
di semua wilayah maritim RI. Saya usulkan nama ”Deklarasi Juanda II”.
Inisiatif unilateral ini penting agar dunia memahami bahwa kita serius soal
kedaulatan, integritas, dan kerja sama maritim baru tersebut.
Opsi inisiatif baru
lainnya sejalan dengan semangat Trisakti. Presiden Jokowi dapat menggulirkan
romantisme ide lama Bung Karno dengan reformatting baru. Presiden Jokowi,
misalnya, dapat menggagas Conference of
the New Emerging Forces (Conefo).
Kaji modalitasnya,
tetapi bentuklah embrio forum dengan menformalkan pengelompokan negara-negara
menengah baru yang sedang populer dengan MINT (Meksiko, Indonesia, Nigeria,
Turki). Ini layer kedua pengelompokan setelah BRICS (Brasil, Rusia, India,
Tiongkok, Afrika Selatan).
Terminologi new emerging forces warisan Bung Karno
ini cocok (agak dicocok-cocokkan) dengan MINT. Presiden Jokowi tinggal
menghubungi kepala pemerintahan Meksiko, Nigeria, dan Turki serta mengusulkan
kemungkinan pembentukan aliansi baru lintas benua ini, sebagaimana BRICS.
Setelah itu, Indonesia dapat menyeting agenda dan gagasan new emerging forces.
Tatanan pikir
Revolusi mental
berikutnya adalah tatanan-pikir atau mindset. Yang pertama harus dirombak
adalah terminologi salah kaprah atas ”politik luar negeri”. Sebenarnya apa
yang disebut ”politik luar negeri” termasuk judul tulisan ini adalah padanan
dari foreign policy yang seharusnya dalam bahasa Indonesia adalah ”kebijakan
luar negeri”.
Dampak dari salah
kaprah ini bukan hanya di wilayah semantik, melainkan juga pada fondasi
strategis dan pengambilan kebijakan. Karena kebijakan luar negeri (yang
seharusnya mencakup bidang politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain) direduksi
hanya sebagai ”politik”, di Kementerian Luar Negeri tidak ada unit struktural
yang menangani kerja sama ekonomi.
Menteri Luar Negeri
hanya berada di bawah koordinasi Menko Polkam, tidak di Menko Perekonomian.
Padahal, yang sekarang banyak bergulir justru diplomasi dan kerja sama
ekonomi internasional. Presiden Jokowi menginginkan para dubes RI lebih aktif
bernegosiasi ekonomi. Bagaimana mau negosiasi jika tidak ada instansi yang
memandu, tidak ada pembuat standar kebijakan.
Jika diplomasi ekonomi
Presiden Jokowi ingin sukses, harus ada Direktorat Jenderal Diplomasi Ekonomi
di Kemlu. Menlu juga tidak hanya berada di bawah Menko Polkam, tetapi juga
Menko Perekonomian (jika lembaga Menko masih akan ada).
Mindset berikutnya
yang harus direvolusi adalah pengembangan SDM yang merupakan aspek terpenting
pendukung kinerja kebijakan luar negeri dan diplomasi.
Pertama, perlu dibuat
UU Dinas Luar Negeri (Foreign Service
Act) yang mengatur mekanisme pengisian jabatan-jabatan diplomatik. Duta
besar, misalnya, adalah satu-satunya jabatan negara yang prosedur
pengangkatannya tidak diatur oleh UU, melainkan langsung dari UUD.
Kedua, pemberlakuan
diplomat sebagai profesi dengan pembentukan asosiasi profesi dan kode etik
profesi.
Ketiga, perlu dibentuk
”Badan SDM Kemlu” termasuk assessment
center yang akuntabel guna menjamin profesionalisme SDM agar pengisian posisi
dan jabatan dapat akurat dan presisi. Pengisian jabatan di semua lini
diplomatik harus menggunakan sistem seleksi terbuka (lelang jabatan) yang
transparan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar