Mengawal
Suara Relawan
Wasisto Raharjo Jati ; Peneliti di Pusat Penelitian
Politik LIPI
|
KOMPAS,
27 Agustus 2014
PERHELATAN
Pilpres 2014 merupakan titik balik dalam penyelenggaraan demokrasi elektoral
setelah 2004. Titik balik itu ditandai oleh adanya pergeseran nilai-nilai
politis yang selama ini bersuasana oligarkis, patrimonial, seremonial, dan
elitis bertransformasi menjadi egalitarian, voluntarisme, dan populis. Adanya
aforisme terhadap nilai tersebut kemudian diterjemahkan dalam bentuk gerakan
people power untuk mendukung Jokowi-JK dalam Pilpres 2014.
Kehadiran
berbagai kekuatan relawan publik yang mendukung Jokowi-JK ini perlu dilihat
bukan hanya diikat oleh sosok Jokowi sebagai faktor tunggal. Kita bisa
melihat rasa kecewa publik selama ini terhadap penyelenggaraan pemerintahan
hasil demokrasi langsung sejak 2004 sendiri kurang berhasil memenuhi
keinginan publik secara meluas.
Secara
garis besar pemerintahan SBY sendiri tersandera kekuatan politik
transaksional dan politik dagang sapi sehingga menjadikan pemerintahan
tersandera kepentingan partai dan oligarki. Kulminasinya adalah praktik
korupsi merajalela di berbagai tingkap pemerintahan nasional dan daerah.
Adanya
berbagai gambaran makro yang antagonistik itulah kemudian menghasilkan
deprivasi relatif publik semakin meningkat ketika harapan publik melihat
pemerintahan demokrasi langsung lebih berpihak pada rakyat justru lebih
semarak menghamba pada kepentingan kuasa. Jadi, kehadiran relawan sebagai
kekuatan politik ekstra- parlementer adalah untuk melawan tatanan lama.
Sosok
Prabowo sebagai pesaingnya juga tidak bisa dinafikan begitu saja sebagai
faktor komplementer pengikat kekuatan dan jaringan politik ekstraparlementerian
relawan dalam mendukung Jokowi-JK. Jokowi adalah antitesis Prabowo yang
menampilkan adanya sosok bersahaja dan dekat dengan publik.
Jokowi
merupakan bentuk representasi dari demokrasi substantif riil yang lebih suka
mendengar daripada didengar. Ia lebih suka di lapangan daripada di kantor,
dan lebih suka bekerja daripada berwacana. Itulah yang kemudian membuat
kekuatan relawan meningkat dalam mengantar Jokowi menapak Istana.
Relawan
ini kemudian tidak saja sebagai simpatisan, tetapi juga pengontrol dan
pengawal Pilpres 2014 secara komprehensif. Mereka melakukannya atas dasar
sukarela dan spontan, baik melalui jaringan dunia maya maupun jaringan
gerakan. Hasilnya bisa dilihat:
kekuatan relawan sebagai kekuatan politik ekstraparlementer telah berhasil
memenangkan Jokowi-JK dengan suara 70.997.833 (53,15 persen) daripada Prabowo-Hatta 62.576.444 (46,85 persen).
Selisih suara 8,4 juta (6,3 persen).
Sebagai ”watchdog”
Kinerja
relawan di jejaring akar rumput untuk mendukung, mengawal, hingga mengontrol
perolehan suara pilpres sendiri, perlu diapresiasi. Inilah esensi ”suara rakyat adalah suara Tuhan” yang
diinstrumentasikan dalam kerja relawan.
Apa
yang dilakukan relawan selanjutnya? Selama masa kampanye, kekuatan relawan
berasal dari kelas menengah urban yang kritis terhadap politik. Mereka ini
kemudian membuat jaringan kuat, hingga akar rumput di berbagai kota dan desa,
dengan Jokowi sebagai faktor pengikatnya. Kini, setelah semua proses
elektoral selesai, apakah kinerja relawan juga ikut selesai begitu saja dalam
mengontrol, mengawal, dan mengontrol Jokowi?
Dalam
konteks ini, penting bagi kita membangun saluran dan jaringan artikulasi
kepentingan secara institusional partisipatoris melalui keberadaan relawan
ini sebagai watchdog pemerintah terpilih. Saluran partisipatoris dengan
mengikutsertakan relawan sebagai bagian dari gerakan kewargaan kritis itu
perlu direvitalisasi dan dikuatkan.
Kekuatan
itu perlu bersanding dengan mekanisme blusukan Jokowi dalam menyerap aspirasi
dari bawah. Saluran partisipatoris deliberatif dengan relawan sebagai intinya
bisa dibangun dengan pembentukan forum, baik institusional maupun kolateral,
sehingga tetap bisa mengawal dan mengontrol pemerintahan Jokowi-JK selama
lima tahun ke depan memerintah.
Penguatan
relawan dalam bentuk forum partisipatoris sangatlah urgen dan signifikan
dalam menjaga marwah pemerintahan Jokowi yang populis. Jokowi bisa meniru
konsep saluran partisipatoris yang dikembangkan pemerintahan Porto Alegre
dalam menginisiasi participatory
budgeting maupun Kerala dalam participatory
on development yang melibatkan warga secara keseluruhan.
Negara
kita sebenarnya memiliki mekanisme seperti itu: Musrenbang. Namun, acara itu tak lebih dari sekadar
seremonial-formalistik karena setiap isu disampaikan nantinya akan
disesuaikan dengan kadar birokratis dan administratif saja. Maka sangat
penting kemudian untuk tetap mengawal suara relawan selama Pilpres 2014 ini
sebagai pilar street government
bagi pemerintahan. Juga bisa membangun usaha mendekatkan pemerintahan kepada
publik dalam bentuk aksi nyata dan terarah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar