Rabu, 27 Agustus 2014

Mengakhiri Rezim Subsidi

Mengakhiri Rezim Subsidi

Asmadji As Muchtar  ;   Dosen Pascasarjana UII Jogjakarta
JAWA POS, 27 Agustus 2014
                                                


REZIM atau pemerintahan yang memberlakukan politik subsidi dengan alasan memelihara stabilitas politik yang identik dengan upaya memperpanjang masa kekuasaannya, seperti memberlakukan subsidi BBM yang nyata-nyata bisa menjerumuskan bangsa ke dalam krisis energi, selayaknya diharamkan. Pihak yang berkompeten mengharamkannya adalah MUI.

Jika rezim subsidi sudah diharamkan, pemerintahan selanjutnya tentu berusaha tidak menjadi rezim subsidi lagi. Jika ternyata pemerintahan baru ikut-ikutan menjadi rezim subsidi seperti pendahulunya, rakyat harus memprotes atau menghentikannya.

Selama ini rezim subsidi telah nyata-nyata membuat anak bangsa semakin malas dan berlomba-lomba memperbanyak kendaraan bermotor yang nyata-nyata boros bahan bakar. Fenomena jalan kaki dan bersepeda onthel hanya marak pada hari libur untuk kepentingan olahraga, sedangkan pada hari-hari kerja semua ruas jalan sangat dipadati kendaraan bermotor hingga terjadi kemacetan panjang.

Kini karena rezim subsidi berkuasa silih berganti di negeri ini, tempat parkir di sekolah-sekolah menengah juga dipenuhi kendaraan bermotor karena siswa semakin malu naik sepeda onthel, meski jarak rumah dengan sekolah hanya beberapa kilometer.

Terkait dengan hal tersebut, semakin banyak orang tua yang juga malu jika tidak mampu membelikan kendaraan bermotor untuk anak-anaknya. Padahal, belum saatnya anak-anak mereka memiliki SIM alias masih dilarang berkendara motor. Karena itu, akibat selanjutnya cukup fatal. Misalnya, angka kecelakaan lalu lintas yang menelan korban semakin tinggi dari tahun ke tahun.

Bergantung Jokowi?

Jika ada pertanyaan, seandainya rezim subsidi sudah diharamkan, apakah pemerintahan berikutnya yang akan dipimpin Jokowi tidak menjadi rezim subsidi? Jawabannya tentu bergantung Jokowi, apakah berani tampil beda dengan pendahulu-pendahulunya atau justru ingin menyamainya?

Sejauh ini Jokowi memang sudah terlihat ingin tampil beda sebagai pemimpin baru di negeri ini. Berbagai gaya hidupnya yang serbasederhana juga telah membentuk citra pribadinya sebagai pemimpin yang berbeda dengan para pendahulunya. Baik ketika menjadi wali kota maupun menjadi gubernur, kesederhanaan Jokowi terlihat masif dan tidak terkesan artifisial.

Kini rakyat layak berharap Jokowi berani memimpin rezim yang betul-betul berbeda dengan pendahulunya, khususnya tidak melanjutkan tradisi politik subsidi. Rakyat yang telah memilihnya juga layak mendukung sepenuhnya, meski jika subsidi BBM dicabut bisa memberatkan beban hidup sehari-hari. Dalam hal ini, lebih baik memikul beban berat saat ini jika bisa menyelamatkan bangsa dari krisis energi daripada menikmati subsidi BBM tapi akibatnya nanti bangsa kita sengsara tertimpa krisis energi yang lazimnya diikuti krisis-krisis lainnya.

Rakyat pasti akan mau diajak hidup prihatin dengan dicabutnya subsidi BBM jika Jokowi mampu memimpin rezim yang betul-betul bersih dan merakyat. Dalam hal ini, keteladanan menjalani hidup sederhana tanpa korupsi harus betul-betul diwujudkan Jokowi dalam memimpin pemerintahan baru. Begitu juga, seluruh anggota kabinet dan jajaran pejabat di bawahnya hingga di tingkat RT harus betul-betul sederhana dan tidak korup.

Rakyat tentu masih ingat, berkali-kali Jokowi pernah bilang bahwa subsidi BBM yang nyata-nyata salah sasaran harus dihentikan. Jadi, hal itu harus betul-betul dilaksanakan. Dalam hal ini, ada baiknya kosakata subsidi tidak lagi digunakan jika pemerintahan baru hendak membantu kaum petani dan nelayan agar tidak berat menanggung biaya produksi terkait dengan kebutuhan BBM untuk pertanian serta pelayaran.

Misalnya, kalau memang Jokowi nanti hendak membantu petani dan nelayan dalam pemenuhan kebutuhan BBM, sebaiknya digunakan istilah-istilah lain seperti BBM khusus petani dan nelayan dengan harga khusus dan sistem distribusi khusus pula sehingga tidak bisa bocor ke pihak lain alias tidak tepat sasaran.

Jika nanti penghapusan subsidi BBM betul-betul diberlakukan rezim Jokowi, terutama jenis premium, secara teknis mungkin bentuk SPBU-SPBU perlu diubah. Misalnya, perlu dibangun SPBU khusus motor dan SPBU khusus mobil pribadi. Dengan demikian, jika harga premium untuk dua jenis kendaraan tersebut harus dibedakan, tidak perlu lagi ada label BBM bersubsidi. Selain itu, dengan adanya SPBU khusus motor dan khusus mobil pribadi, konsumen akan terpola menjadi disiplin dalam membeli BBM untuk kendaraan masing-masing.

Harus diakui, rezim subsidi selama ini juga memproduksi sistem distribusi BBM dan lain sebagainya yang rentan dikorupsi atau dipermainkan oknum-oknum yang mengelolanya. Hal itulah yang paling sering mengabadikan rezim subsidi berkuasa di negeri ini, meski yang memegang tampuk kepemimpinan nasional berganti-ganti.

Dari berbagai kesempatan, Jokowi sering melontarkan jargon revolusi mental. Kini rakyat layak berharap revolusi mental segera diimplementasikan dengan tidak mengabadikan rezim subsidi beserta sistem dan aparat yang korup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar