Rasionalisasi
Industri Elpiji
Prima Mulyasari Agustini ; Executive Director of Centre
for Energy and Strategic Resources Indonesia (CESRI)
|
REPUBLIKA,
26 Agustus 2014
Menteri
Perekonomian Chairul Tanjung tak memperkenankan kenaikan harga elpiji
nonsubsidi oleh Pertamina yang dianggap semena-mena. Pemerintah menilai bahwa
saat ini bukanlah waktu yang tepat, mungkin mengingat suhu politik yang masih
panas, terutama terkait hasil Pilpres 2014. Belum lagi, pemerintah dihadapkan
pada adanya proyeksi jebolnya APBN akibat terlalu besarnya subsidi yang
mencapai Rp 440 triliun, sehingga diberlakukan pembatasan subsidi BBM dengan
didasarkan pada aspek geografis, dan menimbulkan pro-kontra.
Batalnya
kenaikan harga Elpiji nonsubsidi ini, mengindikasikan bahwa BUMN terbesar ini
akan kembali mengalami kerugian yang besar dari bisnis elpiji 12 kg, yang
diprediksi hingga akhir tahun 2014, mencapai Rp 5 triliun. Sementara itu,
penerimaan Pertamina merugi dari bisnis ini, pemerintah tak mau mengurangi
dividen bagiannya. Jika ini terus berlanjut, dikhawatirkan Pertamina semakin
tak kuat menanggung beban kerugiannya.
Bisnis
elpiji dikuasai oleh tiga perusahaan lain selain Pertamina, yang menjual
harga elpiji nonsubsidi di atas Rp 15 ribu per kg. Pertamina saat ini menjual
Rp 6.500-Rp 7.000/ kg. Hal ini menyebabkan gap sebesar Rp 8.000. Gap yang
terlalu besar, menjadikan industri ini kurang sehat, karena Pertamina menjual
di bawah harga keekonomiannya. Jika pasar ini dianggap tidak menarik oleh
para pengusaha elpiji, maka akan semakin sedikit pengusaha yang berminat
terjun ke bisnis ini.
Salah
satu keberhasilan konversi minyak tanah ke gas adalah semakin tumbuhnya
pengguna elpiji. Masyarakat pun mulai berpindah dari tabung kecil ukuran tiga
kg menjadi 12 kg, seiring dengan pertumbuhan pendapatan keluarga. Namun
demikian, ada yang terlupakan, bahwa berpindah tabung, sebenarnya berpindah
segmen, dari kelas menengah bawah menjadi kelas menengah atas. Dari
mengonsumsi barang PSO (public service
obligation) menjadi barang non-PSO.
Tampaknya,
masyarakat perlu diberikan informasi mengenai apa yang dimaksud dengan barang
PSO yang merupakan barang yang disalurkan pemerintah sebagai bagian dari
pelayanan publik, dan barang non-PSO. Kementerian Komunikasi dan Informasi
dapat mengambil bagian untuk memberikan pencerahan di bidang energi pada
masyarakat luas. Diharapkan, masyarakat memahami mana barang yang bersubsidi
dan mana yang tidak.
Dalam
kasus elpiji, dua opsi yang dapat dilakukan pemerintah untuk pengelolaannya,
yakni: pertama, memberikan ruang pada Elpiji non subsidi (non-PSO) 12 kg
untuk dijual dengan harga keekonomiannya dan tetap digolongkan pada barang
non-PSO. Kedua, jika elpiji 12 kg akan diberikan subsidi maka perlu
digolongkan pada barang PSO, seperti halnya elpiji tiga kg. Dengan demikian,
mekanisme pengadaan, penyaluran, dan penetapan harganya melalui pemerintah
dan DPR.
Implikasi kenaikan
harga
Kenaikan
harga elpiji 12 kg, menurut kajian Bank Indonesia, tidak menimbulkan inflasi,
sebab jumlah penggunanya yang jauh lebih sedikit dari pengguna elpiji tiga
kg. Pertamina dan pemerintah semestinya memahami bahwa kenaikan harga sering
kali tak signifikan pada tingkat inflasi, namun gangguan secara psikologis
akibat gonjang-ganjing kenaikan harga elpiji ini, justru memicu tingkat
inflasi. Oleh karena itu, memang sebaiknya isu krusial, apalagi menyangkut
energi, untuk tidak dilempar ke masyarakat tanpa kajian mendalam, sehingga
tidak menjadi polemik berkepanjangan, dan akhirnya merugikan masyarakat.
Pihak
manapun perlu konsisten menjalankan pada putusan-putusan yang telah
disepakati bersama. Jika memang kesepakatan awal akan dinaikkan secara
bertahap, Pertamina dan pemerintah harus konsisten menjalankannya. Pertamina
dan pemerintah perlu berkoordinasi mengenai waktu yang tepat untuk menaikan
harga elpiji nonsubsidi ini, sehingga diharapkan dapat mengurangi dampak
sosial psikologis pada masyarakat.
Namun
demikian, sebagai konsumen, masyarakat tentu berhak menuntut pelayanan dan
kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan sebelum kenaikan harga.
Tabungnya diperbaharui, kemasannya dipercantik, saluran distribusinya
menjangkau lebih banyak daerah di Indonesia dengan disparitas harga yang
relatif kecil antara satu daerah dengan daerah lain. Juga isi tabung yang
"pasti pas", dan berani menindak pedagang atau agen-agen nakal yang
mengurangi takaran gas.
Dengan
adanya polemik beragam barang PSO, seperti elpiji tiga kg, BBM, dan listrik
yang bersubsidi, tampaknya pemerintah perlu memikirkan untuk memisahkan
lembaga yang menangani barang bersubsidi ini. Mungkin memberdayakan
Kementerian Sosial merupakan langkah cepat yang dapat diambil. Kalaupun
tidak, pemerintah dapat membuat lembaga filantropi, yang khusus
mendistribusikan barang-barang bersubsidi. Dengan pemisahan seperti ini,
Pertamina dapat murni menjadi entitas bisnis milik pemerintah yang dipacu
lajunya untuk menjadi perusahaan migas berkelas dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar