Rabu, 27 Agustus 2014

Rasionalisasi Industri Elpiji

Rasionalisasi Industri Elpiji

Prima Mulyasari Agustini  ;   Executive Director of Centre for Energy and Strategic Resources Indonesia (CESRI)
REPUBLIKA, 26 Agustus 2014
                                                


Menteri Perekonomian Chairul Tanjung tak memperkenankan kenaikan harga elpiji nonsubsidi oleh Pertamina yang dianggap semena-mena. Pemerintah menilai bahwa saat ini bukanlah waktu yang tepat, mungkin mengingat suhu politik yang masih panas, terutama terkait hasil Pilpres 2014. Belum lagi, pemerintah dihadapkan pada adanya proyeksi jebolnya APBN akibat terlalu besarnya subsidi yang mencapai Rp 440 triliun, sehingga diberlakukan pembatasan subsidi BBM dengan didasarkan pada aspek geografis, dan menimbulkan pro-kontra.

Batalnya kenaikan harga Elpiji nonsubsidi ini, mengindikasikan bahwa BUMN terbesar ini akan kembali mengalami kerugian yang besar dari bisnis elpiji 12 kg, yang diprediksi hingga akhir tahun 2014, mencapai Rp 5 triliun. Sementara itu, penerimaan Pertamina merugi dari bisnis ini, pemerintah tak mau mengurangi dividen bagiannya. Jika ini terus berlanjut, dikhawatirkan Pertamina semakin tak kuat menanggung beban kerugiannya.

Bisnis elpiji dikuasai oleh tiga perusahaan lain selain Pertamina, yang menjual harga elpiji nonsubsidi di atas Rp 15 ribu per kg. Pertamina saat ini menjual Rp 6.500-Rp 7.000/ kg. Hal ini menyebabkan gap sebesar Rp 8.000. Gap yang terlalu besar, menjadikan industri ini kurang sehat, karena Pertamina menjual di bawah harga keekonomiannya. Jika pasar ini dianggap tidak menarik oleh para pengusaha elpiji, maka akan semakin sedikit pengusaha yang berminat terjun ke bisnis ini.

Salah satu keberhasilan konversi minyak tanah ke gas adalah semakin tumbuhnya pengguna elpiji. Masyarakat pun mulai berpindah dari tabung kecil ukuran tiga kg menjadi 12 kg, seiring dengan pertumbuhan pendapatan keluarga. Namun demikian, ada yang terlupakan, bahwa berpindah tabung, sebenarnya berpindah segmen, dari kelas menengah bawah menjadi kelas menengah atas. Dari mengonsumsi barang PSO (public service obligation) menjadi barang non-PSO.

Tampaknya, masyarakat perlu diberikan informasi mengenai apa yang dimaksud dengan barang PSO yang merupakan barang yang disalurkan pemerintah sebagai bagian dari pelayanan publik, dan barang non-PSO. Kementerian Komunikasi dan Informasi dapat mengambil bagian untuk memberikan pencerahan di bidang energi pada masyarakat luas. Diharapkan, masyarakat memahami mana barang yang bersubsidi dan mana yang tidak.

Dalam kasus elpiji, dua opsi yang dapat dilakukan pemerintah untuk pengelolaannya, yakni: pertama, memberikan ruang pada Elpiji non subsidi (non-PSO) 12 kg untuk dijual dengan harga keekonomiannya dan tetap digolongkan pada barang non-PSO. Kedua, jika elpiji 12 kg akan diberikan subsidi maka perlu digolongkan pada barang PSO, seperti halnya elpiji tiga kg. Dengan demikian, mekanisme pengadaan, penyaluran, dan penetapan harganya melalui pemerintah dan DPR.

Implikasi kenaikan harga

Kenaikan harga elpiji 12 kg, menurut kajian Bank Indonesia, tidak menimbulkan inflasi, sebab jumlah penggunanya yang jauh lebih sedikit dari pengguna elpiji tiga kg. Pertamina dan pemerintah semestinya memahami bahwa kenaikan harga sering kali tak signifikan pada tingkat inflasi, namun gangguan secara psikologis akibat gonjang-ganjing kenaikan harga elpiji ini, justru memicu tingkat inflasi. Oleh karena itu, memang sebaiknya isu krusial, apalagi menyangkut energi, untuk tidak dilempar ke masyarakat tanpa kajian mendalam, sehingga tidak menjadi polemik berkepanjangan, dan akhirnya merugikan masyarakat.

Pihak manapun perlu konsisten menjalankan pada putusan-putusan yang telah disepakati bersama. Jika memang kesepakatan awal akan dinaikkan secara bertahap, Pertamina dan pemerintah harus konsisten menjalankannya. Pertamina dan pemerintah perlu berkoordinasi mengenai waktu yang tepat untuk menaikan harga elpiji nonsubsidi ini, sehingga diharapkan dapat mengurangi dampak sosial psikologis pada masyarakat.

Namun demikian, sebagai konsumen, masyarakat tentu berhak menuntut pelayanan dan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan sebelum kenaikan harga. Tabungnya diperbaharui, kemasannya dipercantik, saluran distribusinya menjangkau lebih banyak daerah di Indonesia dengan disparitas harga yang relatif kecil antara satu daerah dengan daerah lain. Juga isi tabung yang "pasti pas", dan berani menindak pedagang atau agen-agen nakal yang mengurangi takaran gas.

Dengan adanya polemik beragam barang PSO, seperti elpiji tiga kg, BBM, dan listrik yang bersubsidi, tampaknya pemerintah perlu memikirkan untuk memisahkan lembaga yang menangani barang bersubsidi ini. Mungkin memberdayakan Kementerian Sosial merupakan langkah cepat yang dapat diambil. Kalaupun tidak, pemerintah dapat membuat lembaga filantropi, yang khusus mendistribusikan barang-barang bersubsidi. Dengan pemisahan seperti ini, Pertamina dapat murni menjadi entitas bisnis milik pemerintah yang dipacu lajunya untuk menjadi perusahaan migas berkelas dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar