Over-Expose
ISIS
Danang Songgo Buwono ;
Komisioner KPI Pusat
|
KORAN
SINDO, 14 Agustus 2014
Kelompok
Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) secara tiba-tiba menjadi isu hangat media
massa secara nasional, baik cetak maupun elektronik akhir-akhir ini. Beragam
berita tentang ISIS di media, di satu sisi sejatinya menjadi upaya waspada (warning) terhadap paham yang sudah
distempel terlarang oleh pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam). Ekspos berita tentang ISIS
dengan demikian menjadi sebentuk kontrol sosial agar masyarakat tidak
terpengaruh terhadap paham ini.
Namun
di sisi lain, ekspos berlebihan (over-expose)
terhadap ISIS justru berdampak sebaliknya. Bukan semata-mata kewaspadaan,
melainkan ketertarikan. Alih-alih menjadi kontrol sosial membentengi
masyarakat untuk waspada dan berhati-hati, media secara tidak langsung telah
ikut memperkenalkan dan menyosialisasi ajaran ISIS, sekaligus memperbesar
kuriusitas masyarakat untuk semakin ingin tahu seluk beluk dan gerak-gerik
kelompok ini.
Artinya,
dengan demikian, over-expose media
menjadi pisau bermata dua. Menyebarkan paham sekaligus mengajak masyarakat
menyelami ideologi ISIS. Persoalannya, perspektif dan cara pandang (world view) masyarakat tentang relasi
agama dan negara berbeda-beda, terutama kaitan khilafah islamiyah yang
diembuskan oleh kelompok ini, meski kajian tentang hal tersebut telah lama
dituntaskan oleh para ulama Indonesia bahwa ijtihad NKRI dan Pancasila adalah
pilihan terbaik bagi bangsa ini.
ISIS
sejatinya hanyalah kelompok baru yang hadir karena problematika politik lokal
dan dinamika perseteruan ideologis di Irak dan sebagian negara Arab yang
secara kultur dan politik sama sekali berbeda dengan konteks Indonesia.
Munculnya ISIS di Indonesia dengan demikian, semestinya tidak disikapi secara
berlebihan, apalagi melibatkan instrumen ideologis dan dogmatis.
Jika
disadari, kelompok ini bukanlah satu-satunya jenis organisasi impor yang
hadir di Indonesia. Sebab ada kelompok lain yang mendeklarasikan diri sebagai
partai Islam internasional (Hizbut Tahrir) yang, meskipun berbeda corak,
namun mempunyai tujuan yang serupa, yakni khilafah
islamiyah sebagai ideologi internasionalisme baru.
Faktanya,
kelompok ini pun tidak mampu menggeser bangunan kebangsaan Indonesia (NKRI)
dan nilai ideologi Pancasila. Dalam bangunan perpolitikan nasional sekalipun,
ada pihak yang secara mindset masih mengedepankan simbolisasi Islam dalam konteks
negara sebagai bentuk minimalis dari cita-cita khilafah islamiyah.
Meski
demikian, NKRI tetaplah utuh dan Pancasila tetap kukuh. Tak hanya ekstrem
kanan, isu kemunculan ekstrem kiri (komunisme) pun menjadi bagian tak
terpisahkan dari dinamika ke-Indonesiaan. Namun demikian, baik ekstrem kanan
maupun ekstrem kiri hanya akan selalu menjadi minoritas tanpa mampu menggeser
mainstream kebangsaan kita.
Hal
ini telah diyakini sejak lama oleh dua ormas keagamaan terbesar di Indonesia,
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Saya yakin selama dua ormas terbesar
yang saya sebut sebagai fondasi keumatan dan kebangsaan Indonesia ini masih
dalam komitmen keindonesiaan, maka ideologi impor manapun tak akan mampu
menggoyahkan konstruksi NKRI. Dengan demikian, pemberitaan over-expose atas ISIS hanyalah
kekhawatiran berlebihan terhadap kelompok minoritas baru itu.
Over-Expose
Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) secara resmi telah mengeluarkan surat edaran kepada
lembaga penyiaran berjaringan nasional (televisi swasta nasional) agar tidak
lagi menyiarkan secara berlebihan berita tentang ISIS. Keputusan ini diambil
didasarkan atas dampak negatif over-expose penyiaran. Surat edaran menegaskan
pentingnya media sebagai pilar demokrasi yang niscaya membentengi NKRI dan
Pancasila dari ancaman nilai-nilai destruktif-eksternal, yakni dengan
meminimalisasi segala pemberitaan over-expose tentang ISIS.
Pertama,
over-expose dapat menjadi bentuk
lain dari sosialisasi ajaran ISIS. Dalam fungsinya sebagai the windows of reality (McLuhan: 1980), media akan mengungkap
setiap fakta. Namun di titik ini, terdapat sekian banyak fakta yang dapat
diberitakan sesuai kategori nilai berita (news
values) masing-masing. Jikapun fenomena kelompok ISIS dianggap sebagai
fakta dengan tingkat news value tinggi,
maka ia akan terus diurai, dieksplorasi dan dikabarkan terus-menerus.
Namun
demikian, uraian fakta ini kerap diulang dan terus diperdetail, selain untuk
menyajikan fakta paling menarik kepada pemirsa, terdapat kepentingan industri
dibalik produktivitas berita ISIS, yakni rating-share,
iklan, kebutuhan keunikan fakta, dan seterusnya. Pengulangan pemberitaan dan
ekspos berlebihan tentang fenomena ISIS harus disadari sebagai sosialisasi
gratis bagi kian merebaknya nilai ideologis kelompok ini.
Kedua,
over-expose memojokkan dan
mendiskreditkan ISIS dapat menimbulkan simpati masyarakat terhadap kelompok
ini. Kondisi ini dapat dianalogikan dengan dampak underdog effect dalam pola pencitraan dalam disiplin ilmu
komunikasi, yakni munculnya dampak empatik dan emosional dari masyarakat
terhadap seseorang atau kelompok tertentu yang diposisikan tidak
menguntungkan.
Hal
ini semestinya disadari oleh semua pihak, terutama pihak media. Janganlah
terlampau membesar-besarkan kelompok kecil bernama ISIS ini. Yang dibutuhkan
kini adalah tindakan konkret pemerintah melalui program riil di lapangan,
baik melalui konsolidasi antar elemen ulama, tokoh masyarakat, ormas Islam
dan seterusnya, hingga program literasi nilai keagamaan inklusif dan
seterusnya sebagaimana program-program yang telah dijalankan selama ini oleh
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Kini
tinggal bagaimana maksimalisasi program agar dapat dicapai sesuai tujuan dan
target grup. Ekspos media tanpa diiringi dengan program riil hanya akan
menimbulkan syakwasangka, munculnya kuriusitas publik hingga dampak underdog effect yang justru semakin
menguntungkan kelompok yang disinyalir sebagai ekstremis baru ini.
Ketiga,
over-expose media mendedahkan
kondisi baru media, terutama televisi, bahwa transparansi informasi dalam
segala hal telah melampaui ambang batas normal sebuah pemberitaan menuju
keadaan yang disebut Baudrillard (1987: 135) sebagai ekstasi komunikasi (The Ecstasy of Communication).
Maknanya, hampir seluruh dimensi kehidupan masyarakat dituntun oleh logika
objektivisme kapitalistik yang menawarkan keterbukaan, kebaruan, perubahan
dan percepatan konstan.
Dalam
keadaan demikian, isu ISIS mendapatkan momentumnya, setelah masyarakat jenuh
dengan tarik ulur isu politik nasional yang sedemikian riuh dan emosional. Over-expose atas pemberitaan kelompok
ISIS diposisikan sebagai obyek untuk senantiasa mencari kebaruan. Kebaruan
inilah yang kerap tidak disadari telah menggantikan nilai kearifan dan
kebijaksanaan dalam pemberitaan media.
Segenap
elemen bangsa ini segera menyadari bahwa apapun fakta yang disajikan, apabila
diekspos terlampau berlebihan, maka akan mengakibatkan dampak negatif
terhadap publik. Media semestinya tak semata-mata mencari kebaruan dan
keunikan sebuah fakta, namun sekaligus mencari makna dibalik berita yang akan
dipublikasikan.
Dengan
demikian, media akan benar-benar berfungsi sebagai pilar keempat demokrasi
Indonesia, yang santun, berkeadaban, objektif, dan edukatif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar