Keindonesiaan
dan Keislaman
Salahuddin Wahid ;
Pengasuh Pesantren
Tebuireng
|
KOMPAS,
16 Agustus 2014
Upaya
memadukan keindonesiaan dan keislaman dalam perjalanan Republik Indonesia
selama 69 tahun menarik untuk dikaji. Sejak dalam persidangan Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang berlangsung 28 Mei-22 Agustus
1945, hubungan agama (Islam) dan negara (Indonesia) telah menjadi masalah
pelik.
BPUPKI
telah merumuskan Piagam Jakarta yang menjadi Pembukaan UUD. Rancangan UUD itu
akan disahkan dalam persidangan PPKI. Namun, sehari sebelumnya sekelompok
pemuda yang mengaku mewakili umat Kristen dari Indonesia timur mendatangi
Bung Hatta dan menyatakan tak akan bergabung dengan Republik Indonesia karena
Piagam Jakarta ada kalimat ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Esoknya
Bung Hatta mengadakan pertemuan dengan sejumlah tokoh Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, KHA Wahid Hasyim, Mr
Kasman Singodimedjo, dan Teuku Mohamad
Hasan untuk membahasnya.
Dengan
jiwa besar, rasa tanggung jawab, semangat mendahulukan kepentingan bangsa di
atas kepentingan golongan, mereka berani mencoret tujuh kata Piagam Jakarta
sehingga Pembukaan UUD berbunyi dan tertulis seperti sekarang.
Kementerian Agama
Sejarah
menunjukkan, penyatuan kekuasaan politik dan agama pada kerajaan di Jawa,
khususnya Mataram, bukan hanya terjadi di tingkat pusat, melainkan juga di
tingkat bawah.
Salah
satu lembaga yang diwarisi dari masa lalu dan tumbuh subur masa penjajahan
Belanda adalah kepenghuluan. Tugasnya mengawasi pernikahan, perceraian, dan
pembagian warisan menurut hukum Islam. Zaman pendudukan Jepang, dibentuk
Shumubu (Kantor Urusan Agama).
Dalam
Sidang Pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada November 1945,
anggota KNI Daerah Banyumas KH Abu Dardiri dkk mengusulkan pembentukan
Kementerian Agama. Usul didukung anggota KNIP dan diterima dengan Menteri
Agama pertama HM Rasyidi.
Kementerian
Agama (Kemenag) menurut saya merupakan konvergensi atau paduan antara
keindonesiaan dan keislaman. Pengadilan Agama yang semula berada di Kemenag
telah pindah ke dalam lingkungan Mahkamah Agung. Pendidikan Islam berada di
bawah Kemenag dan pendidikan umum berada di bawah Kemdikbud. Sayang sekali
bahwa Kemenag belakangan ini tercemar akibat (dugaan) korupsi.
Kalau
diperbaiki, Kemenag akan menjadi kementerian yang berperan amat strategis.
Syaratnya: sang menteri harus bersih dan membersihkan, paham masalah,
khususnya posisi agama di mata konstitusi, dan berani.
Perkembangan
Munas
Ulama NU pada 1983 mengesahkan Dokumen Hubungan Islam dan Pancasila yang
diperkuat dengan Keputusan Muktamar NU 1984. Secara resmi NU menerima
Pancasila. Sikap NU itu diikuti oleh PPP dan hampir semua ormas Islam.
Penerimaan
Pancasila oleh umat Islam melalui ormas-ormas Islam tak berarti masalah sudah
selesai. Masih terdapat perbedaan dalam menafsirkan Pancasila. Salah satunya
ialah perbedaan persepsi terhadap HAM.
Perbedaan
di dalam kalangan Islam juga tampak dalam menyikapi kelompok Ahmadiyah dan
Syiah. Sebagian ulama mendasarkan sikapnya semata-mata berdasar ajaran agama
Islam dan sebagian lain mendasarkan diri pada ketentuan UUD. Pemerintah
lamban menghadapi kelompok pelaku kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah atau
Syiah.
Kini
kita juga melihat perkembangan yang amat berbeda. Muncul keinginan
memberlakukan syariat Islam, tetapi tak diuraikan syariat Islam seperti apa
yang dimaksud. Juga muncul kelompok yang menginginkan berdirinya negara
Islam. Munculnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan ISIS yang membahayakan
keberadaan negara Republik Indonesia membuat kita sadar bahwa cukup besar
potensi masalah yang bisa mengancam kita.
Dasar
negara Pancasila ternyata tak mampu menghasilkan negara yang adil secara
hukum dan secara sosial, masih banyak orang miskin dan kekurangan gizi. Masih
banyak penduduk yang belum bersekolah. Kekayaan sumber daya alam kita banyak
dikuasai pihak asing. Lebih dari lima juta tenaga kerja terpaksa bekerja di
luar negeri.
Pancasila
itu baru di atas kertas, belum terwujud secara nyata di dalam kehidupan. Itu
terjadi karena birokrasi pemerintah dan pejabat banyak yang menyalahgunakan
kekuasaan. Hukum belum tegak sehingga penyalahgunaan kekuasaan leluasa.
Tak
ada jaminan bahwa mendirikan daulah Islamiyah atau khilafah Islamiyah akan
mampu secara langsung mewujudkan negara hukum dan memperbaiki birokrasi
pemerintah.
Selama
kita belum berhasil menerapkan Pancasila dalam kehidupan nyata, dimulai dari
sila keadilan sosial dan sila ketuhanan YME, kita akan terus menghadapi
kelompok-kelompok yang beranggapan bahwa Pancasila harus diganti dengan Islam
sebagai dasar negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar