Sistem
Noken dan “Bigman”
Tito Panggabean ;
Antropolog;
Peneliti
Kebudayaan Masyarakat Pegunungan Tengah Papua
|
KOMPAS,
16 Agustus 2014
Hari-hari
ini sedang ramai dibahas isu pemungutan suara sistem noken di Papua. Ini
adalah cara pemungutan suara yang sudah lama diakui Mahkamah Konstitusi (MK)
sebagai kearifan lokal, tetapi kembali menjadi berita karena pasangan calon
presiden dan calon wakil presiden nomor 1 menggugat Komisi Pemilihan Umum
(KPU). Pemohon menganggap sistem itu tidak sah.
Ada
dua pola sistem noken yang biasa digunakan masyarakat di Pegunungan Tengah
Papua. Pertama, pola bigman, di mana pemberian suara diserahkan atau
diwakilkan kepada ketua adat.
Kedua,
pola noken gantung, di mana masyarakat dapat melihat suara masuk ke kantong
partai yang sebelumnya telah disepakati. Pola kedua ini dipakai dalam
Pemilihan Umum Legislatif 2014.
Dalam
kedua jenis sistem noken, prinsip bebas dan rahasia tidak berlaku. Dalam pola
bigman, warga sepenuhnya menyerahkan pilihan kepada pemimpin sebagai ekspresi
ketaatan. Pasangan capres-cawapres nomor 1, yang kalah suara di kawasan yang
menerapkan sistem bigman, menggugat cara itu.
Terkait pemimpin
Sistem
noken berkaitan langsung dengan para pemimpin tradisional. Dalam rangka
penelitian antropologi, saya pernah beberapa kali berkunjung ke Pegunungan
Tengah Papua. Fakta ini perlu diungkapkan karena beberapa saksi
capres-cawapres nomor 1 yang tampil di sidang MK berulang kali menyebut pertentangan
di Pegunungan Tengah.
Tipe
pemimpin pada masyarakat Pegunungan Tengah adalah yang dalam antropologi
disebut tipe bigman, dalam bahasa lokal menagawan, artinya lebih kurang
’orang berwibawa’.
Orang
berwibawa meraih status sebagai pemimpin bukan karena warisan. Ini adalah
pencapaian status, yang diraih atas dasar perilaku, tindakan, dan usaha
memenangkan persaingan dengan orang-orang lain atau lawan yang menjadi
pesaing.
Karena
status orang berwibawa ditentukan oleh perilakunya, usaha untuk memenangi
persaingan membuat posisinya penuh risiko. Ia harus pandai merangkul para
bigman lain, membagi wewenang dengan mereka, dan menyumbangkan harta, waktu,
dan energinya untuk kepentingan orang banyak.
Seorang
bigman yang acap dianggap pemimpin
perang dinilai hebat bilamana ia menyejahterakan rakyatnya, bukan
terus-menerus mengobarkan perang.
Adalah
keliru mengatakan seorang bigman yang baik yang sering mengobarkan perang.
Justru sebaliknya, bigman yang baik adalah yang memiliki kemampuan mengubah
musuh menjadi sekutu. Bigman adalah orang bijak dan karena itu jadi panutan
dan ditaati komunitasnya.
Di
Papua, seorang pemimpin di sebuah kampung belum tentu dianggap pemimpin di
kampung lain. Seorang pemimpin lintas kampung adalah pemimpin yang mampu
berdiplomasi dengan pemimpin kampung lain dan menjalin persekutuan,
menghormati wewenang, dan pantang mempermalukan pemimpin lain. Kepiawaian
diplomasi serta membina persekutuan menjadikan seorang bigman disegani oleh
beberapa bigman lain.
Perolehan suara
Dalam
kunjungan terakhir ke Papua, 2013, saya berkesempatan menyaksikan langsung
proses pemilihan Bupati Timika di sebuah kampung di daerah Pegunungan Tengah.
Seorang bigman yang paling disegani
didatangi bigman dari kampung lain.
Pada
kesempatan berbeda, ia juga menemui pemimpin kampung lain itu. Meski bukan
agenda khusus, isu pemilihan bupati dibicarakan. Mereka saling bertukar
informasi tentang pasangan-pasangan calon itu.
Dalam
pertemuan itu dibahas siapa kira-kira yang akan mereka pilih: Apakah mereka
akan memberikan semua suara warga untuk satu pasangan saja; membagi rata
suara pada semua pasangan; atau untuk pasangan terbaik, yakni pasangan yang
dianggap paling membela rakyat, baik hati, dan tidak mengumbar janji.
Dalam
salah satu pertemuan para pemimpin adat itu, bigman yang paling disegani
mengatakan, pilihan paling aman bagi warga kampung-kampung di Pegunungan
Tengah adalah membagi suara secara sama rata. Alasannya, semua calon dianggap
tidak memihak kepada rakyat di pegunungan, tak satu pun pernah membuat
program pembangunan di Pegunungan Tengah.
Alasan
kedua, ada 10 calon bupati dan wakil bupati yang berasal dari kampung mereka
di pegunungan. Mereka tidak bisa menentukan mana yang akan diberi suara lebih
banyak atau lebih sedikit. Hal ini karena semua calon itu adalah para kerabat
mereka sendiri.
Karena
tak menginginkan perpecahan di kalangan warga, pemimpin yang paling disegani
itu memutuskan membagi rata suara di kampungnya. Keputusan itu disetujui oleh
pemimpin-pemimpin yang lain.
Pemilihan
bupati putaran kedua menghasilkan tiga calon bupati dan wakil, termasuk satu
yang berasal dari Pegunungan Tengah. Hal ini memudahkan para pemimpin adat
memilih. Hasilnya, 100 persen warga kampung di Pegunungan Tengah memilih
calon bupati asal daerah mereka. Semua pemimpin menyetujui keputusan bigman
paling senior itu.
Sumber informasi
Dari
mana para pemimpin adat mendapat informasi? Sering dikatakan, akses informasi
kampung-kampung di Pegunungan Tengah sangat terbatas. Namun, para pemimpin
itu bukan orang yang tidak pernah keluar kampung. Sebagian besar mereka
menjadi aparat pemerintah; kepala desa, atau aparat desa yang diundang untuk
rapat koordinasi di kantor kecamatan. Dengan demikian, banyak informasi yang
dapat diserap, termasuk yang terkait dengan pemilihan.
Salah
satu calon bupati adalah seseorang yang dianggap terpelajar dan anak dari
kepala suku masa lalu. Namun, ia tak dianggap sebagai pemimpin. Para pemimpin
tradisional Papua ini juga berusaha menggali informasi dari sejumlah pihak di
luar, termasuk dari saya, tentang para calon bupati dan wakilnya.
Ketika
itu, saya sempat balik bertanya, kenapa tidak dibebaskan saja setiap orang
memilih dan mencoblos sendiri. Para pemimpin itu mengatakan, rakyat tidak
mengenal para calon bupati, cara memilih pun mereka tak tahu. Jadi, warga
menyerahkan kepada para pemimpin siapa yang akan dipilih. Orang Papua di
Pegunungan Tengah meyakini, pemimpin tidak mungkin menyengsarakan rakyatnya.
Apa yang menurut pemimpin baik, baik pula bagi rakyat.
Meski
saat Pilpres 9 Juli lalu saya tidak berada di Papua, saya dapat membayangkan
proses pemilihan di kampung-kampung Pegunungan Tengah berjalan seperti halnya
proses pemilihan bupati dan wakil bupati 2013.
Pilpres
kali ini hanya menampilkan dua pasangan, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa
sebagai pasangan nomor 1 dan Jokowi-JK sebagai pasangan nomor 2. Para bigman
melihat Jokowi populer di daerah Pegunungan Tengah.
Saat
saya terakhir ke Papua, Desember 2013, jauh sebelum Jokowi maju sebagai calon
presiden, seorang bigman di Pegunungan Tengah mengatakan, ”Jokowi bagus, ya, menjadi Gubernur
Jakarta, sukses juga menjadi Wali Kota Solo. Kami (para pemimpin) sepakat
memilih Jokowi kalau dia mencalonkan diri menjadi presiden.”
Sebaliknya,
Prabowo dinilai sebagai tokoh lama, sama seperti Megawati, Jusuf Kalla, dan
tokoh lain yang dinilai tidak membawa kemajuan bagi orang Papua.
Di
daerah-daerah lain di Papua, penilaian atas Jokowi dan Prabowo mungkin saja
berbeda. Seperti diakui KPU, di beberapa daerah lain popularitas Prabowo justru
melebihi Jokowi. Pasti karena para bigman di daerah-daerah itu berpendapat,
Prabowo lebih baik daripada Jokowi. Hanya kebetulan saja di Pegunungan Tengah
para bigman lebih menyukai Jokowi.
Sistem
noken membuat hasil pemilihan presiden di Pegunungan Tengah Papua sangat
bergantung pada hasil perang diplomasi antar-bigman. Dicapainya kemenangan
mutlak 100 persen oleh salah satu pihak menunjukkan adanya bigman yang amat
disegani di sana.
Jika
hasilnya fifty-fifty, itu
mengindikasikan tengah terjadi persaingan kepemimpinan yang ketat di antara
dua bigman yang paling berpengaruh.
Maka,
besar-kecilnya perolehan suara di Pegunungan Tengah Papua, sesungguhnya
refleksi pertarungan pengaruh di antara para bigman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar