Orde
Kerakyatan untuk Kemandirian
Zuly Qodir ;
Sosiolog Fisipol
Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta
|
KOMPAS,
16 Agustus 2014
Orde
Reformasi telah disepakati sejak 1998, jatuhnya rezim Soeharto. Namun,
berdasarkan sinyal-sinyal publik dari pemilihan umum presiden, rakyat
membutuhkan sebuah tatanan atau orde baru, yaitu Orde Kerakyatan untuk
Kemandirian.
Pemilu
Presiden 2014 telah menghasilkan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai presiden
dan wakil presiden terpilih RI 2014-2019 dengan berbagai gejala politik yang
menarik dikaji. Dukungan rakyat dan relawan bukan dari partai politik.
Tercatat 1.248 organisasi relawan yang mengorganisasikan diri sendiri dengan
sistem self help tanpa dukungan keuangan dari calon presiden dan wakil
presiden.
Sumbangan
dana kampanye mencapai Rp 312.376.119.823. Dana terpakai Rp 311.899.377.825.
Sumbangan dari partai pendukung Rp 206.531.657.775. Dari masyarakat Rp
105.844.462.048, terdiri dari dua sumber: perusahaan dan perorangan. Dari
perusahaan Rp 63,1 miliar dan perorangan Rp 42.744.462.048. Dana dari
perorangan berasal dari 60.000 orang.
Menarik
dilihat bahwa 59.000 penyumbang
memberi Rp 100.000 ke bawah. Fenomena ini membalikkan fakta umum pada perpolitikan
Indonesia: politikus memberi uang kepada calon pemilihnya untuk memperoleh
suara (politik uang).
Gejala
voluntary and people politics ini didorong dua hal: gaya calon presiden dan
wakil presiden yang menonjolkan hubungan humanis dengan rakyat yang akan
dipimpinnya. Pemilihan lokasi dan simbol kampanye lebih menunjukkan bahwa
sang calon mengedepankan masalah kerakyatan dengan cara turun ke bawah,
blusukan.
Para
pemilih menganggap ini sebagai metode baru yang membangkitkan simpati publik
bahwa calon pemimpin ini dapat memecahkan masalah keseharian yang mereka
hadapi ketimbang metode yang digunakan selama ini, elitis dan birokratis.
Jokowi
dan JK setelah terpilih kemudian meluncurkan bentuk komunikasi baru dengan
media sosial untuk membangun kabinet baru atau kabinet kerakyatan dan
kemandirian. Cara ini pun dires- pons dengan baik oleh masyarakat untuk
memberi masukan kepada calon menteri yang diusulkan. Lebih baik jika media
ini dimanfaatkan untuk menampung atau mendorong debat publik atas program
krusial yang akan dilakukan Jokowi-JK lima tahun ke depan.
Dengan
pola komunikasi yang dibangun Jokowi-JK, kita dapat usulkan bahwa mulai 2014
kita memasuki Orde Kerakyatan untuk Kemandirian, yang ditandai dengan
keterlibatan masyarakat luas dalam menyusun rencana kabinetnya, fenomena yang
tak pernah terjadi sepanjang sejarah republik. Orde Kerakyatan untuk
Kemandirian diperlukan pemerintahan yang kuat dan efektif yang sering
diungkapkan JK.
Kuat efektif
Salah
satu kelemahan pemerintahan SBY-Boediono adalah kekurangmampuan pemerintah
mengeksekusi keputusan yang telah dibuatnya. Niscaya bagi Jokowi-JK
memperkuat pemerintahan. Daron Acemoglu dan James A Robinson dalam Why Nations Fail: The Origins of Power
Prosperity and Poverty menyimpulkan bahwa kemajuan negara di dunia yang
didengungkan teori kondisi geografis, budaya, dan pengabaian kurang tepat.
Dua penulis ini mengajukan tesis bahwa kemajuan ekonomi suatu negara
disebabkan kelembagaan, aturan, dan insentif yang dapat memotivasi rakyat.
Mereka
mengisahkan bahwa Korea memiliki budaya yang sama antara utara dan selatan,
tetapi kinerja kesejahteraan masing-masing sangat berbeda. Utara hidup dengan
kemiskinan tanpa semangat wirausaha dan pendidikan cukup. Pendidikan hanya
disiapkan untuk propaganda. Di selatan warga negara beroleh pendidikan yang
baik dan insentif untuk menjalankan kegiatan ekonomi. Lembaga-lembaga ekonomi
yang inklusif di Korea Selatan mendorong warganya menjalankan ekonomi negara.
Ciri-ciri lembaga ekonomi yang inklusif adalah memberi keamanan pada
pemilikan pribadi, sistem hukum yang adil, dan pelayanan publik yang baik.
Lembaga
ekonomi di Korea Utara dipengaruhi lembaga politik yang ekstraktif dan
predator yang didominasi segelintir elite. Dengan kekuatan ini, elite me-
ngonsolidasikan diri mempertahankan kekuasaan. Kesimpulan kedua penulis (tak
hanya mengambil contoh Korea Utara, tetapi juga Zimbabwe, Sierra Leone,
Kolombia, Argentina, Uzbekistan, dan Mesir) ialah bahwa kegagalan negara
tersebut mencapai kesejahteraan disebabkan lembaga politik yang ekstraktif.
Para
peneliti politik kemudian sepakat mengembangkan teori baru untuk menjawab
pertanyaan penting di atas dengan mengajukan teori kelembagaan. Douglass
North, peraih Nobel Ekonomi, dalam bukunya, Institutions, Institutional Change and Economic Performance
(1990), mengajukan tesis bahwa lembaga politik yang baik akan menghasilkan
percepatan pembangunan ekonomi, seperti wiraswasta, keuntungan, kerja keras,
dan kelanjutan investasi.
Revolusi
mental yang dimaksud Jokowi dengan pendekatan budaya tidak dapat diterima
secara empiris. Namun, bila yang dimaksud revolusi kelembagaan, secara
teoretis ia dapat diterima dan mendapat penjelasan empiris dari pengalaman
negara lain.
Pemantauan
Pemerintah
yang kuat dan efektif adalah organisasi pemerintah pusat dan daerah yang
dapat melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan guna mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Secara empiris, revolusi kelembagaan untuk menghasilkan
pemerintahan yang kuat dan efektif ada pada level pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Pada level pemerintah pusat, kendali parpol pada
kementerian membawa tantangan tersendiri yang tidak ringan bagi Jokowi.
Pelajaran
dari kabinet sekarang: perilaku predator politisi pada kementerian yang
dikendalikannya akan sulit menghasilkan pemerintahan efektif. Apa metode dan
bagaimana presiden dapat mengendalikan semua menteri untuk menjamin
pencapaian tujuan? Mampukah presiden melakukannya? Ini harus dijawab Jokowi.
Gaya kepemimpinan adaptif SBY terbukti tidak mampu mengendalikan perilaku
menteri yang berasal dari parpol pendukungnya. Garis lurus antara ketegasan
presiden dan keluwesan yang diberikan dengan gaya stick and carrot mungkin
dapat mewarnai gaya kepemimpinan presiden.
Gaya
adaptif dan nirpemantauan pada SBY merebakkan kasus korupsi di beberapa
kementerian, termasuk kementerian dari Partai Demokrat. Kemampuan dan
ketekunan pemantauan pada semua kementerian dan menterinya akan jadi kekuatan
politik yang penting jika berhadapan dengan parlemen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar