Sabtu, 16 Agustus 2014

ISIS dan Antisipasi Fenomena Jihad Global

               ISIS dan Antisipasi Fenomena Jihad Global

Ahmad Fuad Fanani  ;   Direktur Riset MAARIF Institute for Culture and Humanity; Pengajar di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KORAN SINDO, 15 Agustus 2014
                                                


Hari-hari ini fenomena gerakan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) telah menyedot perhatian banyak orang. Meski perhatian sebagian orang tertuju pada sengketa Pilpres 2014 dan serangan brutal Israel terhadap Palestina di Jalur Gaza, tampaknya fenomena ISIS tetap menjadi diskursus utama.

Ini karena ISIS yang awalnya fenomena yang terjadi jauh di wilayah Timur Tengah, ternyata sudah merambah dan mendapat banyak pengikut di Indonesia. Indonesia yang bersama Filipina pernah mendapatkan sebutan sebagai the forefront of al-Qaeda in the Southeast Asia, dengan fenomena ISIS ini, menghadapi gejala yang sama. Kelahiran ISIS sebetulnya tidak bisa dipisahkan dengan konflik rumit yang terjadi di Timur Tengah, khususnya kawasan Irak dan Suriah.

Invasi Amerika Serikat ke Irak pada 2003 yang diharapkan bisa membawa perubahan dan menanamkan benih-benih ”demokrasi” di sana ternyata malah melahirkan berbagai persoalan yang rumit dan pelik. Abu Bakar al-Baghdadi yang saat ini menjadi pemimpin ISIS awalnya agen intelijen pendukung utama rezim Saddam Husein. Setelah Saddam tumbang dan banyak pengikutnya dipenjara, kekuasaan di Irak berpindah ke tangan pihak yang selama ini oposan ke Saddam.

Ketika al-Baghdadi keluar dari penjara, ia mendapati Irak dipimpin oleh Nuri al-Maliki yang notabene seorang Syiah. Keadaan Irak yang tidak stabil dan terjadi konflik di mana-mana tampaknya digunakan oleh al-Baghdadi sebagai legitimasi membuat organisasi baru yang seperti ”negara dalam negara” dengan menggunakan sentimen anti-Syiah. Jika kita perhatikan dari berbagai berita di media massa, media sosial, dan video-video di YouTube yang banyak beredar, ISIS tidak bisa dikatakan mewakili Suni.

ISIS sebagai sebuah gerakan lebih tepat dikatakan sebagai sebuah paham neo-Khawarij yang menganggap pemahaman di luar dirinya salah. Orang-orang Khawarij inilah yang pada zaman dulu tidak setia pada khalifah Ali bin Abi Thalib dan memerintahkan untuk membunuh Ali dan pemimpin Islam lainnya. Pada banyak hal, neo-Khawarij ini diidentikkan dengan al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden yang kemudian dilanjutkan oleh Ayman al-Zawahiri.

Sebagai neo-Khawarij, ISIS tampaknya tanpa ragu membunuh mereka-mereka yang tidak setuju dengan kelompoknya. Kita melihat ada juga ulama Suni di Irak yang menjadi korban ISIS. Begitu juga anak-anak dan para perempuan di sana.

Fenomena Jihad Global

Kenapa banyak orang-orang tertarik bergabung dengan ISIS dan rela berbaiat untuk mendukungnya? Kenapa pula banyak orang-orang Indonesia yang ingin berjihad di Suriah? Fenomena ISIS yang ada di Timur Tengah, namun menjadi gerakan global yang berpengaruh secara lokal di Indonesia tampaknya tidak bisa dipisahkan dengan fenomena jihad global yang menyeruak pascagerakan jihad umat Islam secara masif ke Afghanistan pada 1980-an.

Gilles Kepel (2004) menyatakan bahwa pascajihad Afghanistan, gerakan jihad tidak hanya melebarkan jangkauan dan jaringannya, tapi juga menciptakan taktik dan strategi yang baru. Misalnya, Ayman al-Zawahiri menulis manifesto jihad global yang komprehensif yang berjudul Knights Under the Prophet Knights Under the Prophets Banner. Buku manifesto ini belum tersedia dalam bahasa Inggris, namun Gilles Kepel menerjemahkan beberapa bagian penting dari manifesto ini.

Dalam buku manifesto itu al- Zawahiri menggambarkan bahwa para mujahidin itu seperti para sahabat yang ikut berperang bersama Rasulullah SAW dalam perang Uhud, Badar, Khandaq, dan sebagainya. Mereka para kesatria yang berjuang di jalan Allah dan akan menjadi syahid. Tidak heran jika kita melihat video di YouTube tentang pembaitan anggota yang dilakukan di Wisma Syahida Inn pada Ramadan lalu, puji-pujian yang dinyanyikan terdengar menggelorakan semangat untuk berperang.

Sentuhan emosional itu tampak berhasil memprovokasi dan menarik simpati sebagian orang untuk ikut bergabung dengan ISIS. Dalam model jihad global ini, Ayman al-Zawahiri menggunakan konsep perubahan dari ”nearby enemy” (musuh jarak dekat) menjadi ”faraway enemy” (musuh jarak jauh).

Musuh jarak jauh yang dimaksudkan adalah Barat (Amerika Serikat dkk) yang selama ini dianggap berstandar ganda dan menindas umat Islam di Palestina, Irak, maupun Afghanistan. Jihad global ini menuntut para mujahidin juga berbicara dengan ”bahasa yang dipahami mereka”. Bahasa itu serangan bom bunuh diri, terorisme, dan sebagainya (Gilles Kepel, the War for Muslim Minds: Islam and the West, 2004).

Meski tampak berbeda dengan al-Qaeda yang menggunakan wacana dan strategi jihad global, ada kesamaan antara ISIS dan al-Qaeda. Terlebih lagi, al-Baghdadi awalnya pimpinan al-Qaeda di Irak yang kemudian menyempal dan berdiri sendiri. Kesamaannya adalah keduanya menggunakan teknologi modern seperti internet dan media global untuk mempropagandakan agendanya dan merekrut anggota baru (Mahmud Mamdani, 2005).

Pidato Abu Bakar al-Baghdadi yang diunggah di YouTube dan dilihat oleh ribuan atau jutaan orang adalah bentuk propaganda bahwa sistem kekhalifahan itu bisa berdiri di zaman modern. Ini tentu menarik sebagian umat Islam yang merindukan kekhalifahan pasca-Kekhalifahan Turki Ustmani awal abad ke 20. Deklarasi dukungan ISIS di Indonesia dan ajakan untuk bergabung yang dilakukan Abu Muhammad al-Indonesi adalah bentuk strategi perekrutan anggota baru untuk bergabung dalam gerakan jihad ini.

Penyikapan Secara Tegas

Propaganda ISIS yang berhasil mengecoh banyak orang itu harus disikapi dengan tegas. Penafsiran jihad secara serampangan dan sepihak seperti yang dilakukan al-Zawahiri dan ISIS jelas merusak martabat dan jati diri Islam sebagai agama yang damai dan penuh kasih sayang. Itu juga mereduksi makna jihad yang sebetulnya anjuran untuk berbuat secara sungguhsungguh untuk mengabdi kepada Allah dan menciptakan kebaikan di muka bumi ini.

Pembajakan makna jihad dengan mengajak menyerang, membunuh, membantai, dan menyiksa orang-orang yang di luar golongannya jelas-jelas merugikan Islam. Perbuatan kaum Khawarij dan neo-Khawarij yang membuat perpecahan dan pembunuhan ini sudah terbukti dalam sejarah Islam sejak zaman dahulu. Dalam menyikapi orang-orang neofundamentalis yang dalam istilah Olivier Roy disebut sebagai ”born-again Islam” memang membutuhkan kerja-kerja yang serius dan strategis.

Ini karena mereka pada umumnya mencari pengetahuan keislamannya tidak lagi pada ulama yang otoritatif atau ke lembaga pendidikan Islam yang kompeten. Mereka lebih suka pergi dan bertanya pada internet untuk menemukan jawaban-jawaban atas problem sosial keagamaan yang mereka hadapi (Globalized Islam: the Search for a New Ummah, 2004).

Karena itu, para aktivis Islam moderat dan progresif hendaknya memikirkan bagaimana agar media-media global dan media sosial tidak dikuasai oleh diskursus pemikiran yang fundamentalis dan menyesatkan. Mereka harus aktif mengampanyekan pentingnya Islam yang damai, toleran, progresif, dan berkemajuan pada umat melalui teknologi modern dan media global.

Meski fenomena ISIS ini oleh sebagian orang dianggap tidak terlalu membahayakan, jika dibiarkan begitu saja, tentu ia akan menjadi gerakan besar. Karena itu, pemerintah harus bersikap tegas terhadap gerakan ISIS ini. Sikap tegas ini bukan berarti melakukan tindakan penyergapan seperti yang dilakukan Densus 88. Namun, sikap tegas ini berupa pemerintah harus mengantisipasi secara dini terhadap organisasi-organisasi dan orang-orang yang berpotensi bergabung dengan ISIS.

Kita melihat bahwa ketika ISIS menjadi musuh bersama, ada beberapa organisasi yang juga sering melakukan kekerasan baik verbal maupun nonverbal terhadap kelompok lain juga turut mengutuk ISIS. Organisasi-organisasi itu perlu diperhatikan secara serius oleh pemerintah sebelum bermetamorfosis menjadi organisasi seperti ISIS ketika berjumpa dengan momentumnya seperti di Irak dan Suriah.

Yang juga penting, tentu saja pemerintah harus menggandeng organisasi-organisasi yang selama ini telah terbukti komitmennya pada negara seperti Muhammadiyah dan NU untuk melakukan kerja-kerja pencegahan terhadap proliferasi gerakan ISIS.

Dua organisasi ini penting dilibatkan karena memiliki jaringan yang luas di seluruh Indonesia dan bisa langsung bersentuhan dengan umat di bawah. Kita berharap ISIS ini segera punah dari bumi Indonesia karena gerakan ini hanya membawa kekhawatiran dan konflik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar