ISIS dan
Antisipasi Fenomena Jihad Global
Ahmad Fuad Fanani ;
Direktur Riset MAARIF
Institute for Culture and Humanity; Pengajar di FISIP UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
|
KORAN
SINDO, 15 Agustus 2014
Hari-hari
ini fenomena gerakan ISIS (Islamic
State of Iraq and Syria) telah menyedot perhatian banyak orang. Meski
perhatian sebagian orang tertuju pada sengketa Pilpres 2014 dan serangan
brutal Israel terhadap Palestina di Jalur Gaza, tampaknya fenomena ISIS tetap
menjadi diskursus utama.
Ini
karena ISIS yang awalnya fenomena yang terjadi jauh di wilayah Timur Tengah,
ternyata sudah merambah dan mendapat banyak pengikut di Indonesia. Indonesia
yang bersama Filipina pernah mendapatkan sebutan sebagai the forefront of al-Qaeda in the Southeast Asia, dengan fenomena
ISIS ini, menghadapi gejala yang sama. Kelahiran ISIS sebetulnya tidak bisa
dipisahkan dengan konflik rumit yang terjadi di Timur Tengah, khususnya
kawasan Irak dan Suriah.
Invasi
Amerika Serikat ke Irak pada 2003 yang diharapkan bisa membawa perubahan dan
menanamkan benih-benih ”demokrasi” di sana ternyata malah melahirkan berbagai
persoalan yang rumit dan pelik. Abu Bakar al-Baghdadi yang saat ini menjadi
pemimpin ISIS awalnya agen intelijen pendukung utama rezim Saddam Husein.
Setelah Saddam tumbang dan banyak pengikutnya dipenjara, kekuasaan di Irak
berpindah ke tangan pihak yang selama ini oposan ke Saddam.
Ketika
al-Baghdadi keluar dari penjara, ia mendapati Irak dipimpin oleh Nuri
al-Maliki yang notabene seorang Syiah. Keadaan Irak yang tidak stabil dan terjadi
konflik di mana-mana tampaknya digunakan oleh al-Baghdadi sebagai legitimasi
membuat organisasi baru yang seperti ”negara
dalam negara” dengan menggunakan sentimen anti-Syiah. Jika kita
perhatikan dari berbagai berita di media massa, media sosial, dan video-video
di YouTube yang banyak beredar, ISIS tidak bisa dikatakan mewakili Suni.
ISIS
sebagai sebuah gerakan lebih tepat dikatakan sebagai sebuah paham
neo-Khawarij yang menganggap pemahaman di luar dirinya salah. Orang-orang
Khawarij inilah yang pada zaman dulu tidak setia pada khalifah Ali bin Abi
Thalib dan memerintahkan untuk membunuh Ali dan pemimpin Islam lainnya. Pada
banyak hal, neo-Khawarij ini diidentikkan dengan al-Qaeda yang dipimpin oleh
Osama bin Laden yang kemudian dilanjutkan oleh Ayman al-Zawahiri.
Sebagai
neo-Khawarij, ISIS tampaknya tanpa ragu membunuh mereka-mereka yang tidak setuju
dengan kelompoknya. Kita melihat ada juga ulama Suni di Irak yang menjadi
korban ISIS. Begitu juga anak-anak dan para perempuan di sana.
Fenomena Jihad Global
Kenapa
banyak orang-orang tertarik bergabung dengan ISIS dan rela berbaiat untuk
mendukungnya? Kenapa pula banyak orang-orang Indonesia yang ingin berjihad di
Suriah? Fenomena ISIS yang ada di Timur Tengah, namun menjadi gerakan global
yang berpengaruh secara lokal di Indonesia tampaknya tidak bisa dipisahkan
dengan fenomena jihad global yang menyeruak pascagerakan jihad umat Islam
secara masif ke Afghanistan pada 1980-an.
Gilles
Kepel (2004) menyatakan bahwa pascajihad Afghanistan, gerakan jihad tidak
hanya melebarkan jangkauan dan jaringannya, tapi juga menciptakan taktik dan
strategi yang baru. Misalnya, Ayman al-Zawahiri menulis manifesto jihad
global yang komprehensif yang berjudul Knights
Under the Prophet Knights Under the Prophets Banner. Buku manifesto ini
belum tersedia dalam bahasa Inggris, namun Gilles Kepel menerjemahkan
beberapa bagian penting dari manifesto ini.
Dalam
buku manifesto itu al- Zawahiri menggambarkan bahwa para mujahidin itu
seperti para sahabat yang ikut berperang bersama Rasulullah SAW dalam perang
Uhud, Badar, Khandaq, dan sebagainya. Mereka para kesatria yang berjuang di
jalan Allah dan akan menjadi syahid. Tidak heran jika kita melihat video di
YouTube tentang pembaitan anggota yang dilakukan di Wisma Syahida Inn pada
Ramadan lalu, puji-pujian yang dinyanyikan terdengar menggelorakan semangat
untuk berperang.
Sentuhan
emosional itu tampak berhasil memprovokasi dan menarik simpati sebagian orang
untuk ikut bergabung dengan ISIS. Dalam model jihad global ini, Ayman
al-Zawahiri menggunakan konsep perubahan dari ”nearby enemy” (musuh jarak dekat) menjadi ”faraway enemy” (musuh jarak jauh).
Musuh
jarak jauh yang dimaksudkan adalah Barat (Amerika Serikat dkk) yang selama
ini dianggap berstandar ganda dan menindas umat Islam di Palestina, Irak,
maupun Afghanistan. Jihad global ini menuntut para mujahidin juga berbicara
dengan ”bahasa yang dipahami mereka”.
Bahasa itu serangan bom bunuh diri, terorisme, dan sebagainya (Gilles Kepel, the War for Muslim Minds:
Islam and the West, 2004).
Meski
tampak berbeda dengan al-Qaeda yang menggunakan wacana dan strategi jihad
global, ada kesamaan antara ISIS dan al-Qaeda. Terlebih lagi, al-Baghdadi
awalnya pimpinan al-Qaeda di Irak yang kemudian menyempal dan berdiri
sendiri. Kesamaannya adalah keduanya menggunakan teknologi modern seperti
internet dan media global untuk mempropagandakan agendanya dan merekrut
anggota baru (Mahmud Mamdani, 2005).
Pidato
Abu Bakar al-Baghdadi yang diunggah di YouTube dan dilihat oleh ribuan atau
jutaan orang adalah bentuk propaganda bahwa sistem kekhalifahan itu bisa
berdiri di zaman modern. Ini tentu menarik sebagian umat Islam yang
merindukan kekhalifahan pasca-Kekhalifahan Turki Ustmani awal abad ke 20.
Deklarasi dukungan ISIS di Indonesia dan ajakan untuk bergabung yang
dilakukan Abu Muhammad al-Indonesi adalah bentuk strategi perekrutan anggota
baru untuk bergabung dalam gerakan jihad ini.
Penyikapan Secara
Tegas
Propaganda
ISIS yang berhasil mengecoh banyak orang itu harus disikapi dengan tegas.
Penafsiran jihad secara serampangan dan sepihak seperti yang dilakukan
al-Zawahiri dan ISIS jelas merusak martabat dan jati diri Islam sebagai agama
yang damai dan penuh kasih sayang. Itu juga mereduksi makna jihad yang
sebetulnya anjuran untuk berbuat secara sungguhsungguh untuk mengabdi kepada
Allah dan menciptakan kebaikan di muka bumi ini.
Pembajakan
makna jihad dengan mengajak menyerang, membunuh, membantai, dan menyiksa
orang-orang yang di luar golongannya jelas-jelas merugikan Islam. Perbuatan
kaum Khawarij dan neo-Khawarij yang membuat perpecahan dan pembunuhan ini
sudah terbukti dalam sejarah Islam sejak zaman dahulu. Dalam menyikapi orang-orang
neofundamentalis yang dalam istilah Olivier Roy disebut sebagai ”born-again Islam” memang membutuhkan
kerja-kerja yang serius dan strategis.
Ini
karena mereka pada umumnya mencari pengetahuan keislamannya tidak lagi pada
ulama yang otoritatif atau ke lembaga pendidikan Islam yang kompeten. Mereka
lebih suka pergi dan bertanya pada internet untuk menemukan jawaban-jawaban
atas problem sosial keagamaan yang mereka hadapi (Globalized Islam: the Search for a New Ummah, 2004).
Karena
itu, para aktivis Islam moderat dan progresif hendaknya memikirkan bagaimana
agar media-media global dan media sosial tidak dikuasai oleh diskursus
pemikiran yang fundamentalis dan menyesatkan. Mereka harus aktif
mengampanyekan pentingnya Islam yang damai, toleran, progresif, dan
berkemajuan pada umat melalui teknologi modern dan media global.
Meski
fenomena ISIS ini oleh sebagian orang dianggap tidak terlalu membahayakan,
jika dibiarkan begitu saja, tentu ia akan menjadi gerakan besar. Karena itu,
pemerintah harus bersikap tegas terhadap gerakan ISIS ini. Sikap tegas ini
bukan berarti melakukan tindakan penyergapan seperti yang dilakukan Densus
88. Namun, sikap tegas ini berupa pemerintah harus mengantisipasi secara dini
terhadap organisasi-organisasi dan orang-orang yang berpotensi bergabung
dengan ISIS.
Kita
melihat bahwa ketika ISIS menjadi musuh bersama, ada beberapa organisasi yang
juga sering melakukan kekerasan baik verbal maupun nonverbal terhadap
kelompok lain juga turut mengutuk ISIS. Organisasi-organisasi itu perlu
diperhatikan secara serius oleh pemerintah sebelum bermetamorfosis menjadi
organisasi seperti ISIS ketika berjumpa dengan momentumnya seperti di Irak
dan Suriah.
Yang
juga penting, tentu saja pemerintah harus menggandeng organisasi-organisasi
yang selama ini telah terbukti komitmennya pada negara seperti Muhammadiyah
dan NU untuk melakukan kerja-kerja pencegahan terhadap proliferasi gerakan
ISIS.
Dua
organisasi ini penting dilibatkan karena memiliki jaringan yang luas di
seluruh Indonesia dan bisa langsung bersentuhan dengan umat di bawah. Kita
berharap ISIS ini segera punah dari bumi Indonesia karena gerakan ini hanya
membawa kekhawatiran dan konflik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar