Apa
Arti ‘Dukungan Kritis’ Pasca Kemenangan Jokowi?
Muhammad Ridha ;
Anggota
Partai Rakyat Pekerja (PRP)
|
INDOPROGRESS,
11 Agustus 2014
HARUS diakui bahwa gagasan ‘dukungan kritis’ beresonansi cukup
kuat dalam proses pemenangan Jokowi pada pemilu kemarin. Jokowi didukung
bukan karena dirinya sendiri, akan tetapi juga konteks politik yang
mengiringi kandidasi dirinya, yang membuat kekalahannya dalam pemilu akan
menyebabkan demokrasi Indonesia menjadi terancam. Kemenangan dirinya atas
Prabowo, memberikan ruang yang lain mengenai arah demokrasi yang berada di
luar trajektori politik Orde Baru itu sendiri. Dengan kata lain, semacam
dukungan bersyarat mengenai pentingnya demokrasi Indonesia untuk
dipertahankan, serta keharusan untuk meningkatkan kualitas demokrasi kita
agar berfungsi bagi semua masyarakat Indonesia.
Walau begitu, bukan berarti semuanya menjadi mudah. Kemenangan
Jokowi tidak secara otomatis bisa secara cepat merealisasikan politik
kerakyatan yang diperlukan untuk transformasi mendalam relasi politik
Indonesia. Anggapan ini, setidaknya, dapat kita lihat pada perkembangan
terkini dari proses yang dilakukan Jokowi untuk mengonsolidasikan kekuatannya
menjelang pelantikan, yang mana sedikit banyak masih mengakomodasi
kepentingan kekuatan politik lama. Setidaknya, ini bisa dilihat dengan
diberikannya ruang-ruang manuver kekuasaan kepada figur-figur bermasalah,
seperti Hendropriyono, Rini Suwandi dsb. Dalam proses awal seperti ini, kita
dihadapi oleh posisi dilematis mengenai hubungan dengan Jokowi itu sendiri.
Dilema ini tentu saja harus diatasi. Sempat kita mengambil
keputusan untuk mendukung secara kritis kandidasi Jokowi. Maka ketika Jokowi
sudah secara resmi ditetapkan sebagai pemenang oleh KPU, maka kita harus
memeriksa kembali apa arti dukungan kritis kita terhadapnya, ketika ia sudah
mendapatkan kemenangan. Hanya dengan jawaban yang jelas atas pertanyaan ini
kita dapat mengatasi dilema yang tengah kita hadapi sekarang.
Jawaban atas pertanyaan ini tentu saja harus dimulai dari apa
yang sebenarnya muncul dengan gagasan dukungan kritis itu sendiri. Yang
menarik untuk kita lihat dari artikulasi ‘dukungan kritis’ adalah gagasan ini
diiringi dengan kemunculan entitas ‘relawan’ sebagai suatu bentuk artikulasi
dukungan yang kritis terhadap Jokowi. Klaim ini mungkin terdengar berlebihan,
namun bukan berarti argumen ini keliru mengingat kontribusi aktif relawan
yang terlibat aktif dalam proses kampanye kemarin adalah sebentuk dukungan
yang kritis terhadap Jokowi itu sendiri. Kritisisme relawan terhadap Jokowi
terletak pada adanya pemahaman kritis relawan mengenai batas-batas politik
yang dihadapi oleh Jokowi itu sendiri. Dalam kondisi itu, ada yang penting
dari posisi relawan dimana mereka secara spontan terpolitisasi dalam rangka
menyikapi kritik mereka sendiri serta keterbatasan yang dimiliki Jokowi.
Akan tetapi, menjadi penting bagi kita untuk memahami bahwa
relawan beserta dukungan kritisnya tidak terjadi dalam ruang yang vakum.
Kekuatan politik Orde Baru, yang pada saat itu juga mendukung Jokowi, juga
melibatkan diri dalam kategori relawan ini. Dengan kata lain, kategori
relawan tidak dapat dikatakan sebagai bentuk politik yang transformatif dalam
dirinya sendiri. Terdapat operasi kuasa tertentu yang menyebabkan ia bisa
fungsional dalam konfigurasi politik yang ada. Disinilah diperlukan
pemeriksaan atas relasi kuasa terlebih dahulu untuk menentukan bagaimana
‘dukungan kritis’ dapat diformulasikan setelah Jokowi menjadi pemenang.
Lalu bagaimana relasi kuasa ini dapat diperiksa? Sebagai Marxis,
tentu saja kita harus memahami bahwa relasi kuasa beroperasi dalam
historisitas kapitalisme tertentu. Tulisan Martin Suryajaya (http://indoprogress.com/2014/08/perjuangan-kelas-dan-holopis-kuntul-baris/)
mengenai proses historis kapitalisme indonesia yang menubuh dalam relasi
oligarki adalah titik tolak yang penting dalam memahami relasi kuasa
Indonesia sekarang. Kalibrasi kapitalisme dalam oligarki menyebabkan
kapitalisme Indonesia beroperasi dalam relasi rente antara negara dengan
kapitalis itu sendiri. Dalam relasi rente inilah operasi kekuasaan di
Indonesia tidak dapat dipahami sebatas keberadaan figur, namun harus dilihat
dalam interaksinya dengan jejaring aliansi bisnis-politik birokrat yang
menggunakan kekuasaan negara dalam rangka merampok sumberdaya publik dan
rakyat pekerja pada khususnya. Hal inilah yang menyebabkan relasi oligarki
begitu fleksibel untuk dapat mempengaruhi posisi politik yang lain. Karena
yang utama adalah relasi dalam jejaring, yang terkadang terlepas dari posisi
individual tertentu. Tidak mengherankan, jika Jokowi sendiri tidak dapat
melepaskan dirinya dari relasi oligarki itu sendiri.
Akan tetapi kita perlu lebih spesifik disini. Fleksibilitas
oligarki itu sendiri secara historis harus ditempatkan dalam konfigurasi
kapitalisme terkini, yang populer dikenal sebagai neoliberalisme. Dalam hal
inilah, penting untuk memeriksa tesis oligarki dalam kaitannya dengan
neoliberalisme. Jika kita membaca secara seksama tesis oligarki, kita dapat
menemukan bahwa neoliberalisme adalah sesuatu yang eksternal dari oligarki.
Tidak heran jika bagi proponen utama oligarki Indonesia, yakni Robison dan
Hadiz, menyebut bahwa agenda neoliberalisme telah dibajak oleh kekuatan
politik oligarki (atau istilah mereka sebagai hijacking the market). Argumen ini secara eksplisit menyiratkan
bahwa tidak ada operasi neoliberalisme di Indonesia, sebagaimana yang
diagung-agungkan oleh para teknokrat pasar bebas. Akan tetapi anehnya, tesis
oligarki juga memberikan justifikasi implisit mengenai kemungkinan
neoliberalisme, serta fungsionalitasnya tentunya, di Indonesia jika kekuatan
oligarki ini diatasi. Tidak heran jika para proponen pasar bebas dapat juga
menempatkan diri mereka secara oposisional terhadap oligarki yang mendominasi
politik Indonesia.
Gagasan ini tentu bermasalah karena neoliberalisme bukan saja
gagasan utopis mengenai pasar bebas yang didengung-dengungkan oleh para
teknokrat rasional, tapi juga ia adalah proyek kelas berkuasa. Sebagai proyek
kelas, maka ia mensyaratkan adanya ‘akumulasi melalui perampasan’ yang
modusnya serupa dengan modus perampasan sumber daya publik yang juga
dilakukan oleh relasi oligarki. Tidak heran, jika pun oligarki telah lama
berkuasa di Indonesia, maka ia tidak akan menggerogoti relasi ekonomi
neoliberal Indonesia. Hal ini, setidaknya, dapat dilihat pada betapa
pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu dipuja-puji oleh para teknokrat
neoliberal, baik nasional maupun internasional.
Pembacaan mendalam atas oligarki mengindikasikan bahwa melihat
kepentingan politik Indonesia pada sebatas oligarki tidaklah mencukupi. Di
sinilah kita perlu bertanya, jika memang Jokowi adalah anti-oligarki, maka
anti oligarki yang neoliberalkah atau yang mana? Pertanyaan seperti ini, setidaknya
menjelaskan, mengapa ada ketidakjelasan ideologis dalam embrio kekuasaan
politik Jokowi itu sendiri. sebagai contoh, dalam beberapa hari belakangan
ini kita disuguhi wacana mengenai adanya kemungkinan bagi dikeluarkannya
kebijakan penarikan subsidi BBM oleh pemerintahan Jokowi. Dengan argumentasi
defisit anggaran serta pembangunan infrastruktur transportasi publik, Jokowi
menganggap perlu untuk menarik subsidi BBM. Akan tetapi, argumen ini adalah
argumen yang sepenuhnya neoliberal karena mengabaikan sepenuhnya kepentingan
masyarakat miskin yang masih membutuhkan BBM yang terjangkau. Sekaligus juga,
kebijakan ini mengabaikan fakta bahwa agresivitas industri otomotiflah yang
menyebabkan terjadinya konsumsi BBM serta yang menghalang-halangi upaya pembangunan
infrastruktur transportasi public yang murah dan nyaman.
Pada titik inilah kita melihat apa yang kritis dari dukungan
kita terhadap Jokowi dalam pemerintahannya nanti. Dukungan terhadap Jokowi
dilakukan sejauh ia justru menantang konstruksi ideologis neoliberalisme itu
sendiri. Jika pemerintahan Jokowi justru mendorong kebijakan neoliberal, maka
menjadi sah bagi para pendukungnya untuk melawan sehebat-hebatnya kebijakan
tersebut. Dalam hal ini, menjadi penting kemudian untuk segera melakukan
perumusan secara sistematis atas politik anti neoliberalisme pasca kemenangan
Jokowi itu sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar