Sekali
Lagi Revolusi Mental
Ary Sudarsono ;
Aktivis
Olahraga Nasional
|
KOMPAS,
11 Agustus 2014
Ingat Jesse Owens, ingat
Olimpiade Berlin 1936. Kisahnya memberikan pelajaran sangat berharga pada
dunia. Hitler tengah berada di puncak kekuasaan. Dengan propaganda supremasi
ras Arya-nya, Olimpiade Berlin akan menjadi pembuktian mahakaryanya.
Sebagai atlet kulit hitam dari
Amerika, Jesse Owens seolah menampar supremasi Arya di hadapan Hitler. Owens
adalah juara yang lahir pada masa yang sangat tidak berpihak pada dirinya.
Maka, ia bukan hanya berlari cepat melawan atlet lainnya, melainkan juga
melompat jauh mengukir sejarah.
Apalagi, nomor bergengsi emas
100 meter pada masa itu sungguh bergengsi. Ia mengalahkan atlet ”Arya” yang
sudah mendapat bintang tanda jasa dari The Fuhrer, pada malam sebelum
pertandingan.
Saat membaca tulisan ”Revolusi
Mental” Joko Widodo, kini presiden terpilih, saya terpukau. Saya merasakan
kekhawatiran yang sama dengan tulisannya, ”…Reformasi
yang dilaksanakan di Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto
tahun 1998 baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya institusional. Ia
belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya … dalam rangka pembangunan
bangsa (nation building).”
Nasionalisme
Hanya tiga tahun setelah
Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan, Bung Karno menjadikan olahraga
sebagai perekat untuk membentuk karakter dan mempersatukan bangsa. PON
pertama ini juga sebagai bukti kepada dunia luar bahwa bangsa Indonesia, di
tengah-tengah dentuman meriam, dapat menggalang persatuan dan kesatuan
bangsa, yang berbeda-beda suku dan agamanya.
Tahun 1962, Asian Games IV,
Jakarta, Bung Karno menjadikan Indonesia tuan rumah. Indonesia menjadi juara
kedua sesudah Jepang. Lalu ada Ganefo. Soekarno lantang menegaskan garis
politiknya tidak setuju dengan pendudukan Israel atas Palestina. Juga Taiwan
yang memisahkan diri dari Tiongkok sehingga dalam penyelenggaraan Asian Games
Indonesia tidak mengundang kedua negara itu. Hasilnya, Indonesia diskors
Federasi Olimpiade Asia dan International
Olimpic Committee.
Kita bisa saksikan
bangunan-bangunan yang membuktikan betapa monumentalnya Soekarno, sekaligus
menjadi simbol jati diri bangsa. Salah satunya adalah Gelora Bung Karno yang
menjadi salah satu sarana olahraga terbaik dunia saat itu.
Tahun 1896, Baron Piere de Coubertein (Bapak
Olimpiade Modern) memandang olahraga sebagai pembangunan karakter yang
mengajarkan nilai-nilai luhur, mendorong kompetisi yang sehat, dan
mempromosikan persahabatan internasional.
Politik olahraga adalah politik
prestasi, bahkan sekalipun kalah. Sebuah kontestasi prestasi yang melahirkan
pandangan penuh nilai-nilai sportivitas. Yang kalah tidak perlu berkecil
hati, yang menang tidak lantas jemawa. Politik olahraga adalah politik yang
memanusiakan manusia. Inilah awal mula peta budaya paling konsepsional untuk
revolusi mental.
Saya ingat gebrakan Jokowi,
lelang jabatan. Semangatnya pada proses to compete. Birokrasi yang sudah
tidak sehat di-exercise ulang dengan semangat sportivitas. Yang terbaik yang
menempati posisi.
Belum etos
Kita sadar seutuhnya bahwa
reformasi belum menjadi bagian karakter sesungguhnya dari manusia Indonesia.
Reformasi barulah hardware-nya,
belum menjadi bagian etos kerja yang terinstalasi ke dalam semangat
manusia-manusianya.
Nelson Mandela, Afrika Selatan,
tahun 1980, terkenal dengan ucapannya, ”One
cannot play normal sport in abnormal society,” Sesudah rezim apartheid
runtuh, dilanjutkan dengan, ”Sport had
become part of the new glue that help the nation together.”
Olahraga adalah industri
penting dan strategis, melahirkan multi
effect player dan multi event
yang sangat produktif bagi sebuah kemajuan. Event dan perhelatan olahraga dunia selalu diperebutkan untuk
menjadi tuan rumahnya karena pembangunan vendor-vendor olahraga menjadi
geliat pembangunan.
Bangsa ini lama sudah tak punya
mentalitas juara, mentalitas yang dilandasi sportivitas, fair play, mentalitas juara, sekaligus mentalitas menghormati
arti sebuah kekalahan dan kemenangan. Persahabatan dan persaudaraan serta
kebersamaan di atas segalanya.
Elan spirit bangsa berhenti
pada pengidolaan ”semu” minim prestasi lewat kontes-kontes yang melahirkan
selebritas karbitan. Prestasi hanya membuahkan popularitas tanpa makna
perjuangan patriotisme yang sesungguhnya. Saya tidak heran apabila kondisi
ini menjadi ruang demokrasi ugal-ugalan, demokrasi kejar setoran, demokrasi wani piro.
Pabrik sosial
Revolusi mental yang digulirkan
Jokowi sarat nilai-nilai segenap aspek yang kita baca sebagai revolusi
gagasan, revolusi moral, serta revolusi sosial dan budaya yang mengedepankan
nilai-nilai sportivitas. Ini untuk mengatasi persoalan besar dan sangat
mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu pembangunan karakter
dan mental guna memperkokoh identitas dan jati diri bangsa, self esteem. Dibutuhkan sarana
transformasi yang mengakselerasi revolusi mental, yaitu pabrik sosial.
Satu hal yang terlupakan dalam
olahraga adalah ”ruh” karena olahraga merupakan ”social fabric”. Bagian
penting dari visi nasionalisme karena menekankan pentingnya persatuan dan
kesetaraan (social cohesion dan social inclusion), menghilangkan
marginalisasi masyarakat dan mempromosikan kesetiakawanan sosial.
Tahun 1963, John Kennedy,
Presiden AS, menjadikan olahraga sebagai gerakan pemerintah serta masyarakat
untuk mengatasi keterpurukan moral generasi muda. Olahraga menjadi salah satu
kurikulum wajib di sekolah dan perguruan tinggi.
Revolusi mental menjadikan
bangsa yang menjunjung tinggi nilai sportivitas menghargai nilai fair play,
keadilan, kesetaraan, sekaligus di sisi lain memberikan penghargaan
setingginya bagi prestasi yang patriotik. Dengan demikian, meritokrasi
menjadi dasar alat ukur demokrasi.
Revolusi mental memandang bahwa
pemilu yang demokratis sejatinya menghadirkan kompetisi gagasan-gagasan bukan
cibiran dan black campaign atas
dasar kebencian, melainkan perdebatan-perdebatan yang memerdekakan kita
dengan cara pandang baru.
Jokowi dan Jesse Owens menurut
pendapat saya sama-sama menghujani kita dengan inspirasi emansipatoris yang
transformatif.
Supremasi bukan pada ras, bukan
pada bentuk badan yang kerempeng, bukan supremasi pada kelompok, pada agama,
pada golongan tertentu, melainkan supremasi revolusi cara berpikir dan mentalitas.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar