Selasa, 12 Agustus 2014

Sekali Lagi Revolusi Mental

Sekali Lagi Revolusi Mental

Ary Sudarsono  ;   Aktivis Olahraga Nasional
KOMPAS, 11 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Ingat Jesse Owens, ingat Olimpiade Berlin 1936. Kisahnya memberikan pelajaran sangat berharga pada dunia. Hitler tengah berada di puncak kekuasaan. Dengan propaganda supremasi ras Arya-nya, Olimpiade Berlin akan menjadi pembuktian mahakaryanya.

Sebagai atlet kulit hitam dari Amerika, Jesse Owens seolah menampar supremasi Arya di hadapan Hitler. Owens adalah juara yang lahir pada masa yang sangat tidak berpihak pada dirinya. Maka, ia bukan hanya berlari cepat melawan atlet lainnya, melainkan juga melompat jauh mengukir sejarah.

Apalagi, nomor bergengsi emas 100 meter pada masa itu sungguh bergengsi. Ia mengalahkan atlet ”Arya” yang sudah mendapat bintang tanda jasa dari The Fuhrer, pada malam sebelum pertandingan.

Saat membaca tulisan ”Revolusi Mental” Joko Widodo, kini presiden terpilih, saya terpukau. Saya merasakan kekhawatiran yang sama dengan tulisannya, ”…Reformasi yang dilaksanakan di Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto tahun 1998 baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya institusional. Ia belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya … dalam rangka pembangunan bangsa (nation building).”

Nasionalisme

Hanya tiga tahun setelah Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan, Bung Karno menjadikan olahraga sebagai perekat untuk membentuk karakter dan mempersatukan bangsa. PON pertama ini juga sebagai bukti kepada dunia luar bahwa bangsa Indonesia, di tengah-tengah dentuman meriam, dapat menggalang persatuan dan kesatuan bangsa, yang berbeda-beda suku dan agamanya.

Tahun 1962, Asian Games IV, Jakarta, Bung Karno menjadikan Indonesia tuan rumah. Indonesia menjadi juara kedua sesudah Jepang. Lalu ada Ganefo. Soekarno lantang menegaskan garis politiknya tidak setuju dengan pendudukan Israel atas Palestina. Juga Taiwan yang memisahkan diri dari Tiongkok sehingga dalam penyelenggaraan Asian Games Indonesia tidak mengundang kedua negara itu. Hasilnya, Indonesia diskors Federasi Olimpiade Asia dan International Olimpic Committee.

Kita bisa saksikan bangunan-bangunan yang membuktikan betapa monumentalnya Soekarno, sekaligus menjadi simbol jati diri bangsa. Salah satunya adalah Gelora Bung Karno yang menjadi salah satu sarana olahraga terbaik dunia saat itu.
Tahun 1896, Baron Piere de Coubertein (Bapak Olimpiade Modern) memandang olahraga sebagai pembangunan karakter yang mengajarkan nilai-nilai luhur, mendorong kompetisi yang sehat, dan mempromosikan persahabatan internasional.

Politik olahraga adalah politik prestasi, bahkan sekalipun kalah. Sebuah kontestasi prestasi yang melahirkan pandangan penuh nilai-nilai sportivitas. Yang kalah tidak perlu berkecil hati, yang menang tidak lantas jemawa. Politik olahraga adalah politik yang memanusiakan manusia. Inilah awal mula peta budaya paling konsepsional untuk revolusi mental.

Saya ingat gebrakan Jokowi, lelang jabatan. Semangatnya pada proses to compete. Birokrasi yang sudah tidak sehat di-exercise ulang dengan semangat sportivitas. Yang terbaik yang menempati posisi.

Belum etos

Kita sadar seutuhnya bahwa reformasi belum menjadi bagian karakter sesungguhnya dari manusia Indonesia. Reformasi barulah hardware-nya, belum menjadi bagian etos kerja yang terinstalasi ke dalam semangat manusia-manusianya.

Nelson Mandela, Afrika Selatan, tahun 1980, terkenal dengan ucapannya, ”One cannot play normal sport in abnormal society,” Sesudah rezim apartheid runtuh, dilanjutkan dengan, ”Sport had become part of the new glue that help the nation together.”

Olahraga adalah industri penting dan strategis, melahirkan multi effect player dan multi event yang sangat produktif bagi sebuah kemajuan. Event dan perhelatan olahraga dunia selalu diperebutkan untuk menjadi tuan rumahnya karena pembangunan vendor-vendor olahraga menjadi geliat pembangunan.
Bangsa ini lama sudah tak punya mentalitas juara, mentalitas yang dilandasi sportivitas, fair play, mentalitas juara, sekaligus mentalitas menghormati arti sebuah kekalahan dan kemenangan. Persahabatan dan persaudaraan serta kebersamaan di atas segalanya.

Elan spirit bangsa berhenti pada pengidolaan ”semu” minim prestasi lewat kontes-kontes yang melahirkan selebritas karbitan. Prestasi hanya membuahkan popularitas tanpa makna perjuangan patriotisme yang sesungguhnya. Saya tidak heran apabila kondisi ini menjadi ruang demokrasi ugal-ugalan, demokrasi kejar setoran, demokrasi wani piro.

Pabrik sosial

Revolusi mental yang digulirkan Jokowi sarat nilai-nilai segenap aspek yang kita baca sebagai revolusi gagasan, revolusi moral, serta revolusi sosial dan budaya yang mengedepankan nilai-nilai sportivitas. Ini untuk mengatasi persoalan besar dan sangat mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu pembangunan karakter dan mental guna memperkokoh identitas dan jati diri bangsa, self esteem. Dibutuhkan sarana transformasi yang mengakselerasi revolusi mental, yaitu pabrik sosial.

Satu hal yang terlupakan dalam olahraga adalah ”ruh” karena olahraga merupakan ”social fabric”. Bagian penting dari visi nasionalisme karena menekankan pentingnya persatuan dan kesetaraan (social cohesion dan social inclusion), menghilangkan marginalisasi masyarakat dan mempromosikan kesetiakawanan sosial.

Tahun 1963, John Kennedy, Presiden AS, menjadikan olahraga sebagai gerakan pemerintah serta masyarakat untuk mengatasi keterpurukan moral generasi muda. Olahraga menjadi salah satu kurikulum wajib di sekolah dan perguruan tinggi.
Revolusi mental menjadikan bangsa yang menjunjung tinggi nilai sportivitas menghargai nilai fair play, keadilan, kesetaraan, sekaligus di sisi lain memberikan penghargaan setingginya bagi prestasi yang patriotik. Dengan demikian, meritokrasi menjadi dasar alat ukur demokrasi.

Revolusi mental memandang bahwa pemilu yang demokratis sejatinya menghadirkan kompetisi gagasan-gagasan bukan cibiran dan black campaign atas dasar kebencian, melainkan perdebatan-perdebatan yang memerdekakan kita dengan cara pandang baru.

Jokowi dan Jesse Owens menurut pendapat saya sama-sama menghujani kita dengan inspirasi emansipatoris yang transformatif.

Supremasi bukan pada ras, bukan pada bentuk badan yang kerempeng, bukan supremasi pada kelompok, pada agama, pada golongan tertentu, melainkan supremasi revolusi cara berpikir dan mentalitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar