Gemblong
Irfan Budiman ; Wartawan Tempo
|
TEMPO.CO,
31 Desember 2013
Saya sangat menyukai gemblong. Bagi saya,
penganan yang dibuat dari ketan yang dicampur santan, kemudian dilumuri gula
merah lalu digoreng, itu sungguh istimewa.
Gemblong penganan yang komplet. Manis, legit, dan gurih bersatu dalam satu gigitan. Dinikmati dengan teh pahit, membuat satu gemblong tak pernah cukup. Namun saya tidak habis pikir kenapa makanan senikmat itu hanya diberi nama sederhana: gemblong. Kenapa dia tidak memiliki nama yang terdengar lebih manis, seperti rasanya. Dan gemblong pun tidaklah sendirian. Penganan dan makanan lainnya pun punya nama yang sederhana dan terkesan dinamai sekadarnya. Lemper, misalnya. Padahal penganan yang juga terbuat dari ketan nan gurih berisi daging ayam ini merupakan salah satu penganan favorit banyak orang. Makanan lainnya pun terkesan dinamai dengan seenak hati. Combro, misalnya. Penganan dari parutan singkong yang dicetak dengan tangan dalam bentuk lonjong dengan menyisipkan oncom, kemangi, dan cabai di dalamnya itu sangat enak dan disukai banyak orang. Si pencipta makanan ini santai saja menamai makanan ini dengan kata combro, yang tak lain merupakan akronim dari oncom di jero atau "Oncom Inside" dalam bahasa Inggris-nya. Hampir tak ada yang tahu asal-usul nama makanan ini. Penjualnya pun, ketika saya tanya, hanya menggelengkan kepala alias tak punya jawaban. Mereka menerima saja nama itu. Kerendahan hati memang menjadi milik para pencipta penganan ini. Jangankan hak cipta, mereka pun tak peduli dengan label atau nama yang akan diberikan pada produk makanan yang mereka buat. Semua terserah pada mereka yang menikmatinya. Yang ada di benak mereka adalah membuat penganan yang enak, sehat, dan syukur-syukur laris. Bahkan mereka pun rela bila kemudian penganan yang mereka buat dinamai gemblong, jengkong, atau nama lainnya. Ya, penampilannya sesederhana namanya, tapi rasanya luar biasa. Inilah yang membedakan dengan para calon anggota legislatif yang kini tengah ramai menjual penampilan. Mengemas diri adalah langkah pertama yang mereka lakukan. Gambar wajah mereka ada di mana-mana: di bagian belakang mobil angkot, di pinggir jalan, di atas pohon, bahkan sampai di tiang listrik berdampingan dengan pamflet jasa sedot WC. Mereka memang tidak peduli wajahnya ditaruh di mana. Satu yang mereka inginkan, wajah mereka dikenal oleh masyarakat banyak. Karena motifnya sama--yakni pilihlah aku--penampilan mereka pun nyaris seragam. Sembari tersenyum, mereka yang rata-rata memakai jas sesuai dengan warna partai yang memilihnya menawarkan janji-janji manis--yang paling banyak adalah anti-korupsi. Tak cukup dengan itu. Beberapa di antara mereka menyandingkan wajahnya dengan tokoh pemimpin partai yang diwakilinya. Mungkin, maksudnya menandakan dia mendapat restu, bahkan dekat dengan bos di partainya. Sungguh sial memang negeri ini. Untuk menentukan orang yang katanya akan menjadi wakilnya di parlemen, mereka hanya dibekali "sehelai" wajah--yang kebanyakan dari mereka--kecuali karena dia adalah tetangga, teman, atau bos, kita tidak pernah ketahui jati dirinya. Jelas, mereka berbeda dengan gemblong. Meski tak punya kemasan yang bagus, dan tampil hanya di atas piring, penganan favorit saya ini tetap sedap, lezat, dan gurih. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar