|
Hari ini, 5 Oktober, adalah Hari
Tentara Nasional Indonesia. Jenderal Besar Soedirman pernah mengatakan bahwa
hubungan antara tentara dan rakyat ibarat ikan dengan air. Itu adalah diktum.
Tanpa rakyat, TNI tidak eksis. Oleh karena itu, wajib hukumnya bagi TNI untuk
selalu menyayangi dan berada di pihak rakyat.
Dalam
konstruksi seperti itu, kewajiban untuk berbuat segalanya bagi rakyat hanya
akan mewujud apabila TNI menjadi profesional. Maknanya, semua prajurit
TNI—meminjam karakteristik Huntington (1957)—harus mumpuni (berkeahlian),
bertanggung jawab, dan bersemangat kesatuan. Dalam konteks ini, saya
berpendapat kedisiplinan perlu ditambahkan sebagai bagian integral dari
karakteristik TNI profesional.
Dengan
demikian, sebagai alat pertahanan negara, TNI akan berkemampuan menghadapi
pusaran perubahan masa depan yang semakin cepat, kompleks, penuh kejutan, dan
ekstrem, terutama menyangkut pergeseran geopolitik dan lingkungan strategis
kawasan dan internasional.
Memperdalam paradigma
Menyimak
kemampuan prajurit kita—baik secara mental, fisik, maupun olah pikir—tidak ada
keraguan sedikit pun yang perlu dilekatkan pada mereka sebagai tentara
profesional. Meskipun TNI baru akan memiliki alat utama sistem persenjataan
(alutsista) setara dengan 30-35 persen minimum
essential force (MEF) pada 2014, dan secara obyektif tingkat
kesejahteraan prajurit juga masih terbatas, nilai-nilai yang mencerminkan
profesionalisme TNI semakin melembaga. Ini merupakan modal dasar ketangguhan
TNI selama ini.
Semua itu
berakar dari persepsi diri bahwa TNI membentuk dirinya sendiri sebagai tentara
pejuang. Suka atau tidak, hal ini membentuk mental prajurit yang tangguh.
Dengan demikian, ketika militer secara institusi memutuskan melakukan reposisi
dan reaktualisasi perannya di era awal reformasi, semua prajurit menyambut
penuh semangat.
Melalui paradigma
baru, militer memutuskan untuk tidak terlibat dalam bidang- bidang nonmiliter
(ekonomi dan politik) dan berfokus pada masalah pertahanan negara. Dalam
perjalanannya, peta jalan menuju TNI profesional dengan tolok ukur kompetensi,
akuntabilitas, dan kesejahteraan tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 34
Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Tak mengherankan jika banyak
analis mengatakan, reformasi internal TNI dianggap paling maju dibandingkan
dengan institusi lain.
Akan tetapi,
ketangguhan prajurit tersebut tidak akan pernah menjelma menjadi postur ideal
TNI apabila tidak dilengkapi dengan teknologi militer yang canggih dan
peralatan modern. Sejauh ini, peralatan militer kita secara umum masih
ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Namun, dengan alokasi
dana Rp 156 triliun untuk pengadaan senjata pada periode 2010-2014 dan
konsistensi anggaran pada masa depan, Indonesia akan menjelma menjadi kekuatan
militer modern setara dengan target MEF pada 2024.
Maknanya,
Indonesia tidak bisa lagi dipandang remeh karena ke depan anggaran militernya
menjadi yang terbesar di Asia Tenggara. Sebagai kebanggaan awal, tahun ini saja
modernisasi peralatan tempur Indonesia akan dilengkapi dengan beberapa jet
tempur canggih, helikopter, kendaraan tempur, dan kapal perang. Dengan langkah
ini, negara-negara di kawasan kini memandang Indonesia telah melangkah dengan
serius dalam membangun kekuatan militernya demi menjaga kedaulatan bangsa dan
negara.
Modernisasi
peralatan militer tersebut juga menjadi sandaran untuk menjaga komitmen
Indonesia pada politik luar negeri yang bebas dan aktif. Tanpa kemampuan deterrent atau jika belum
mencapai kekuatan progresif untuk melindungi diri sendiri, mustahil politik
bebas aktif dan nilai kejuangan TNI untuk ikut serta menjaga ketertiban dunia
bisa dijalankan. Pendeknya, konsistensi kebijakan mewujudkan kemampuan militer
setingkat MEF pada tahun 2024 harus dijaga terus oleh semua komponen bangsa.
Dua strategi
Hal itu
berkaitan dengan konsensus nasional untuk menjalankan praktik politik
demokratis. Memperkuat kemampuan alat utama sistem persenjataan, TNI berarti
memperkokoh spirit dan posisi TNI sebagai tentara pejuang. Ini dapat dipandang
sebagai pendalaman paradigma baru TNI yang sejak awal reformasi memutuskan
tidak terlibat di dalam urusan nonmiliter.
Selain
modernisasi sistem persenjataan, pendalaman paradigma baru TNI juga bisa
diwujudkan dalam hubungan sipil-militer yang harmonis. Dukungan pemerintah dan
Dewan Perwakilan Rakyat pada profesionalisme TNI yang lahir dan tumbuh sebagai
tentara pejuang dan tentara rakyat dapat direalisasi melalui kesepahaman
bersama menyangkut beberapa paket undang-undang yang sampai sekarang belum
tuntas.
Hal itu,
misalnya, Rencana Undang-Undang Keamanan Nasional, Komponen Cadangan dan
Pendukung, Bela Negara, Mobilisasi, Peradilan Militer, dan Tugas Perbantuan.
Tanpa regulasi itu, termasuk juga peningkatan anggaran operasional TNI yang
sepenuhnya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, profesionalisme
TNI dapat terhambat. Dengan istilah lain, TNI tidak bisa mendalami lebih lanjut
pada paradigma barunya.
Akibat lebih
lanjut dari situasi tersebut adalah tidak maksimalnya peran TNI meskipun secara
postur sistem persenjataan dan personel sudah ideal. Padahal, sebagai tentara
pejuang dan tentara rakyat, TNI harus memainkan dua strategi sekaligus, yaitu
melalui soft politics (resolusi
damai) dan jika terpaksa melalui militeristik dalam menyelesaikan setiap
konflik internal ataupun eksternal. Apa pun kondisinya, TNI akan tetap menjadi
tentara pejuang. Dirgahayu TNI! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar