|
BANYAK sumber daya manusia,
terutama eselon menengah, yang menjadi mapan dan enggan belajar. Mereka
tersebar di organisasi bisnis, perbankan, dan instansi pemerintah, yang tidak
punya semangat untuk lebih bermutu dan menumbuhkan ”jiwa kewirausahaan”.
Alasan-alasannya biasanya klasik, seperti kurang waktu, balas jasa yang tidak
memadai untuk berkarya lebih profesional, dan beretika dalam melayani.
Sebaliknya,
banyak manajemen puncak kita justru terbawa kebiasaan manajemen Barat yang
menuntut ke bawah untuk berinovasi sehingga menganggap manajer tingkat menengah
langka berinovasi, dalam arti terbelakang dalam operasi manajerial, stagnan
dalam kegiatan sehari-hari, dan tidak mau mengubah diri.
Maka, kini
saatnya berinisiatif menjadi pemimpin yang efektif dan menggerakkan perubahan.
Namun, sebelum
menjadikan diri ”pemimpin efektif”, seseorang harus melihat realitas dengan
menggugat diri. Baru setelah itu membangun kesadaran bersama dalam organisasi
agar jiwa kewirausahaan (entrepreneurship)
berpeluang tumbuh.
Inovasi jadi
kunci
Kita perlu
belajar dari pengalaman pelaku manajemen Jepang, Korea Selatan, dan China, yang
sejak dekade 1980-an gigih membuka peluang dan mengatasi hambatan dalam diri
dengan satu kata kunci: inovasi.
Ilmuwan Jepang,
Prof Ikujiro Nonaka, bersama Prof Hirotaka Takeuchi, pada tahun 1995 sudah
mengungkapkan inovasi sebagai suatu proses penciptaan pengetahuan dalam
organisasi (organizational
knowledge-creation). Namun, ini harus didukung interaksi dalam organisasi
antara tingkatan puncak, menengah, dan bawahan dan sekaligus untuk menggerakkan
peran manajemen menengah.
Dalam hal ini,
ada yang tidak terucapkan dan terucapkan. Yang terucapkan dapat dibagi dalam
dua jenis: know-how (aspek
prosedural) dan semacam frame of
reference.
Inilah yang
dikenal sebagai mental model, mencakup paradigma dan kepercayaan
tradisional dalam memersepsi dunia dan lingkungan.
Berikutnya
adalah yang dinyatakan secara eksplisit (articulable).
Pengetahuan yang nyata (articulable)
adalah berkenaan dengan pengetahuan yang dialihkan (transmittable) dalam bahasa formal, sistematik, sedangkan
pengetahuan yang tak terungkapkan (tacit)
adalah mempribadi, sulit diformulasi, dan tidak mudah dikomunikasikan.
Dengan
pendekatan di atas, muncul pertanyaan, apa langkah konkret untuk memberdayakan
manajemen menengah?
Model penyintesis
Model top-down dan bottom-up sudah lama dianggap
sebagai dua proses dikotomis manajerial yang saling bertentangan dalam
kebanyakan organisasi, dengan kebekuan di pihak manajemen menengah.
Maka, kehadiran middle-up-down menjadi sintesis
untuk membuka spektrum baru dalam mengontribusikan semangat untuk menyerap
pengetahuan.
Misalnya,
menerima hasil kemajuan teknologi informasi, seperti telepon seluler dan
internet, sebagai sarana untuk menstimulasi pelayanan tepat waktu.
Inilah
tantangan ke depan. Langkah-langkah yang perlu digerakkan oleh pimpinan dalam
arti menstimulasi kebersamaan manajemen dalam mengembangkan praktik-praktik
dasar nyata yang menstimulsi kreativitas tanpa terjebak kepuasan instan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar