Selasa, 15 Oktober 2013

Teologi Kurban dan Etika Pejabat Publik

Teologi Kurban dan Etika Pejabat Publik
Syahrul Kirom  Alumnus Program Master Filsafat, UGM Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 14 Oktober 2013


Tanggal 15 Oktober 2013, seluruh umat Islam merayakan hari raya Idul Adha 1434 H. Sudah seharusnya umat Islam mampu merefleksikan secara filosofis dan komprehensif tentang makna kurban. Ibadah kurban yang dilakukan umat Islam mempunyai nilai berarti (meaningful) dalam dirinya.
Dalam bahasa Arab, kurban atau “udhhiyah” atau “dhahiyyah” secara harfiah berarti hewan sembelihan. Ritual kurban merupakan salah satu ritual ibadah pemeluk agama Islam, ketika dilakukan penyembelihan binatang ternak, seperti kambing, sapi, unta, kerbau untuk dipersembahkan kepada Allah.

Secara historis, Ibadah kurban ini dilakukan ketika Nabi Ibrahim, melalui mimpinya yang diturunkan dari Allah SWT, untuk menyembelih anaknya, Ismail. Perintah itu berarti ujian bagi Nabi Ibrahim untuk merelakan putranya demi mencapai ketaqwaan dan ridha dari Allah SWT. Pada akhirnya, penyembelihan anaknya itu diganti Allah dengan seekor kambing.

Di tengah krisis moral dan krisis etika pejabat negara, seperti adanya kasus suap dan korupsi di tubuh lembaga negara seperti Mahkamah Konstitusi yang melibatkan Ketua MK Akil Mochtar, ini merupakan perilaku yang sangat tidak amanah dan tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Pejabat negara saat ini hidup penuh dengan nafsu materialistis.

Keimanan dan ketaqwaan umat Islam semakin tipis.


Selain itu, pejabat negara yang memiliki kelebihan harta dan kekayaan saat ini sedang diuji Allah SWT, untuk sedikit mengurbankan hartanya demi menegakkan ajaran dan syari’at Islam. Karena itu, sejauh mana kualitas keagamaan umat Islam menjalankan ibadahnya secara vertikal (habluminallah) dan horizontal (habluminannas), akan teruji dalam ritual ibadah kurban ini, untuk selalu memperhatikan kaum fakir miskin dan dhuafa.

Makna Kurban
Secara teologis, kurban memiliki tujuan bagi umat Islam agar mampu mengikuti jejak ajaran tauhid dari Nabi Ibrahim, melalui perjalanan hidupnya melepaskan kepentingan dan kesenangan pribadi, yang diperintahkan Allah SWT mengurbankan putranya sendiri. Mungkin dalam rasionalitas manusia modern, sungguh tidak mungkin orang tua melakukan penyembelihan kepada anaknya. Tapi, Bagi Nabi Ibrahim perintah itu adalah sebuah bentuk ketaatan dan kepasrahan secara menyeluruh kepada Allah SWT.

Ada beberapa faktor teologi untuk membumikan makna Idul Adha. Pertama, ibadah kurban jangan ditafsirkan secara sepihak hanya sebatas formalitas mengurbankan, dalam bentuk material atau finansial belaka melalui penyembilah hewan kurban. Akan tetapi, yang lebih signifikan bagi umat Islam, harus bisa memahami hewan kurban hanyalah sebuah simbolis ritual kurban saja.

Menurut M Amin Abdullah dalam karyanya Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (2004). Sesungguhnya kurban memiliki makna mendalam, yaitu mengajak umat manusia kembali kepada ajaran tauhid (monoteist), yang berdimensi pada keberpihakan secara sosial-kemasyarakatan. Bukan sebaliknya keberpihakan pada individu yang menyebabkan korupsi di lembaga negara.

Kurban bertujuan menyatukan dimensi tauhid yang bersifat transendental fungsional dan dimensi kepedulian sosial, yang bersifat historis-empiris dalam satu keutuhan pandangan hidup mencerminkan sikap hidup keberagamaan Islam yang autentik dan tulus, untuk mematuhi perintah Allah SWT.

Kedua, sesungguhnya esensi kurban adalah ketaqwaan dan keimanan secara penuh atas perintah Allah SWT. Apa pun yang diperintahkah Allah dilakukan secara penuh pengabdian dan pergorbanan serta berikanlah kepada Allah yang terbaik. Allah SWT tidak pernah membutuhkan apa-apa dari kekayaan, kekuasaan, dan jabatan yang dimiliki umat Islam. Allah hanya ingin menguji kesucian diri umat Islam dalam menjalankan ibadah kurban untuk memenuhi perintah dan ajarannya.

Hal itu telah dijelaskan dalam Alquran, surat al-Hajj ayat 37 yang berbunyi “Daging-daging (unta, sapi, kerbau, kambing) dan darahnya itu tidak sekali-kali dapat mencapai (keridhaan) Allah, akan tetapi, ketaqwaan daripada kamulah yang dapat mencapainya”. Bukan daging dari kurban itu yang sampai kepada Allah. Tapi, ketaqwaan dalam arti yang sangat luas yang akan dinilai Allah SWT.

Ketiga, ibadah kurban sebagai sebuah simbol suci ini sesungguhnya mempunyai muatan secara teologis. Pada dasarnya kurban merupakan salah satu mediator untuk melakukan taqarrub dan tabayyun untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Keempat, dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT, segala bentuk nafsu dan egoisme umat Islam yang saat ini merasuki manusia dengan mencari kekayaan dan harta benda yang sebanyak-banyaknya di dunia, bisa dikikis dengan simbol penyembilhan kurban dan memberikan daging hewan kurban kepada fakir miskin. Dengan demikian, ritual ibadah kurban adalah salah satu bentuk cara untuk mentauhidkan kembali nilai-nilai ketuhanan.

Penguatan terhadap ajaran-ajaran tauhid kepada umat Islam saat ini sangat diperlukan untuk menghindari segala bentuk kekerasan dan radikalisme serta perbuatan yang menghalalkan segala. Berdasarkan asumsi itulah, ibadah kurban merupakan langkah paling efektif untuk kembali mengingatkan kepada umat agar selalu mendekatkan diri kepada Allah.

Meniatkan diri untuk kembali menambah nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan, menjadi faktor paling utama bagi umat Islam yang menjalankan ritual ibadah kurban, agar nilai-nilai ibadahnya dapat di terima Allah SWT. Makna terpenting dari memperingati Idul Adha adalah, bagaimana umat Islam dapat kembali mempertauhidkan kembali ajaran Islam ke dalam bentuk kehidupan sosial dengan selalu mengasihi dan menyayangi hambanya yang terkena musibah kelaparan dan kemiskinan. Semoga!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar