|
ISU
pembiayaan sekolah menjadi penting jika dikaitkan dengan digulirkannya
kebijakan anggaran pendidikan 20%, baik yang harus disediakan dalam kerangka
APBN maupun APBD. Kajian tentang pembiayaan sekolah (school funding) menjadi relevan mengingat sistem pendidikan kita
belum menganut asas pembiayaan sekolah secara integral yang berorientasi pada
pengembangan aspek kualitas sebagai target pembiayaan sekolah. Isu pembiayaan
sekolah bermutu (school quality funding)
masih dihitung secara minimal, yaitu menyangkut besaran subsidi dari pemerintah
untuk setiap siswa pada setiap tingkat satuan pendidkan.
Perdebatan
yang ramai dibicarakan oleh para praktisi, birokrat, dan politisi di sekitar
pembiayaan pendidikan pun baru menyentuh aspek kebutuhan siswa sebagai unit
analisnya, tetapi belum menghitung kebutuhan institusi sekolah sebagai sebuah
pendekatan penjaminan mutu. Agar anggaran pendidikan 20% yang diamanatkan
undang-undang dapat diserap secara efisien dan transparan, perlu dipikirkan
skema-skema pembiayaan pendidikan dengan menggunakan sekolah sebagai unit
analisis, bukan lagi kebutuhan siswa.
Bayangkan
Anda sedang mendayung sebuah sampan. Tenaga yang Anda keluarkan untuk membuat
sampan tersebut melaju ibarat uang yang Anda gunakan. Anda bisa mendayung
sepanjang hari. Tapi jika tidak merencanakan dan mengarahkannya dengan baik,
Anda tidak akan pernah sampai ke tujuan. Anggaran (budgeting) ibarat mendayung, menyediakan pembiayaan yang Anda
butuhkan untuk pengelolaan sekolah sehariharinya. Rencana pembiayaan (financial planning) ibarat arah, yang
memfokuskan upaya Anda pada tujuan yang ingin dicapai.
Mendayung
tanpa arah, atau anggaran tanpa rencana pembiayaan, tetap akan membuat Anda
bergerak, tapi tidak pada arah yang benar. Sebagian besar sekolah menghabiskan
waktu pada proses mendayung daripada mengarahkan tujuan pembiayaan itu sendiri.
Faktanya, kebanyakan sekolah fokus hanya pada pengembangan anggaran, mengikuti
aturan pelaporan keuangan serta cara menekan pengeluaran. Hal-hal tersebut
perlu, tetapi bukanlah tindakan yang efektif untuk pengembangan sekolah yang
strategis.
Kebanyakan
sekolah memberikan waktu yang sangat sedikit pada proses evaluasi efektivitas
dana yang telah digunakan, identifi kasi kebutuhan pembiayaan masa depan, dan
melakukan prediksi atas dampak dari keputusan saat ini bagi tujuan jangka
panjang dan masa depan sekolah. Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Pasal 48
menyatakan bahwa pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan,
efi siensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.
Transparan
berarti adanya keterbukaan. Penyusunan rencana pembiayaan didukung, diketahui,
dan disetujui bersama oleh seluruh guru, masyarakat, dan dinas pendidikan. Transparansi
dapat menciptakan kepercayaan timbal balik antarapemerintah, masyarakat,
orangtua siswa dan warga sekolah melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan
di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Akuntabilitas berarti
penggunaan uang sekolah dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan perencanaan
yang telah ditetapkan.
Ada
tiga pilar utama yang menjadi prasyarat terbangunnya akuntabilitas, yaitu (1)
adanya transparansi
para penyelenggara sekolah dengan menerima masukan dan
mengikutsertakan berbagai komponen dalam mengelola sekolah; (2) adanya standar
kinerja di setiap institusi yang dapat diukur dalam melaksanakan tugas, fungsi,
dan wewenangnya; serta (3) adanya partisipasi untuk saling menciptakan suasana
kondusif dalam menciptakan pelayanan masyarakat dengan prosedur yang mudah,
biaya yang murah, dan pelayanan yang cepat. Garner (2004) mendefi nisikan
efektivitas lebih dalam lagi karena sebenarnya efektivitas tidak berhenti
sampai tujuan tercapai, tetapi sampai pada kualitatif hasil yang dikaitkan
dengan pencapaian visi lembaga. Efektivitas harus berorientasi pada kualitas,
karena itu rencana pembiayaan harus berani menciptakan pola-pola pembiayaan in kind contribution dengan melibatkan
masyarakat dan dunia usaha.
Beberapa
studi tentang dampak kualitas sekolah terhadap capaian akademis siswa
mengindikasikan pentingnya menciptakan sebuah budaya sekolah yang sehat secara
manajemen. Tetapi keberhasilan dan capaian akademik siswa dalam skema
pembiayaan pendidikan lama selalu bergantung pada kemampuan finansial orangtua
dan karakter psikologis siswa serta menafikan kemampuan manajerial dan budaya
sekolah (JS Coleman, Equality of
Education Opportunity, 1966).
Dalam
banyak hal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejauh ini belum mampu
membangun sebuah budaya sekolah yang komprehensif dan visioner pada tingkat
sekolah sehingga kebutuhan untuk membangun suasana belajar yang positif dan
kondusif tidak jarang belum termasuk dalam komponen dan indikator pembiayaan
pendidikan. Padahal, jika kita merujuk pada hasil studi lainnya yang dilakukan
oleh Rob Greenwald et.al dalam The Effect
of School Resources on Student Achievement, Review of Educational Research
(1996), jelas terlihat bahwa strategi pembiayaan pendidikan di tingkat sekolah
sangat berpengaruh terhadap capaian siswa.
Beberapa
peneliti mencoba untuk memecahkan kebuntuan pembiayaan yang berkaitan dengan
pembangunan budaya sekolah sebagai bagian dari kebutuhan pokok sekolah dan
berkaitan langsung dengan keberhasilan siswa (student achievement), terutama dengan melihat tren pembiayaan
pendidikan secara statistikal. Dengan menggunakan regresi statistikal, terlihat
bahwa hubungan capaian akademis siswa dengan budaya sekolah tidak memiliki
ikatan yang kuat karena pada prinsipnya siswa memiliki latar belakang budaya
dan etnik yang berbeda.
Jika
hanya mengacu pada indikator kebutuhan siswa per orang per tahun, rumusan yang
muncul biasanya sangat bersifat numerik dan dalam bahasa Eric Hanushek disebut
sebagai production-function studies, bahwa dalam beberapa hal terlihat hubungan
yang tidak selamanya positif antara semakin besar dana yang digunakan dalam
proses pendidikan dan pencapaian akademis siswa. Kesimpulannya cukup
mengagetkan, there is no strong or
systematic relationship between school expenditures and student performance
(Eric Hanushek, The Impact of
Differential Expenditures on School Performance, Educational Researcher: 1989). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar