Selasa, 15 Oktober 2013

School Financing Plan

School Financing Plan
Ahmad Baedowi  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 14 Oktober 2013


ISU pembiayaan sekolah menjadi penting jika dikaitkan dengan digulirkannya kebijakan anggaran pendidikan 20%, baik yang harus disediakan dalam kerangka APBN maupun APBD. Kajian tentang pembiayaan sekolah (school funding) menjadi relevan mengingat sistem pendidikan kita belum menganut asas pembiayaan sekolah secara integral yang berorientasi pada pengembangan aspek kualitas sebagai target pembiayaan sekolah. Isu pembiayaan sekolah bermutu (school quality funding) masih dihitung secara minimal, yaitu menyangkut besaran subsidi dari pemerintah untuk setiap siswa pada setiap tingkat satuan pendidkan.

Perdebatan yang ramai dibicarakan oleh para praktisi, birokrat, dan politisi di sekitar pembiayaan pendidikan pun baru menyentuh aspek kebutuhan siswa sebagai unit analisnya, tetapi belum menghitung kebutuhan institusi sekolah sebagai sebuah pendekatan penjaminan mutu. Agar anggaran pendidikan 20% yang diamanatkan undang-undang dapat diserap secara efisien dan transparan, perlu dipikirkan skema-skema pembiayaan pendidikan dengan menggunakan sekolah sebagai unit analisis, bukan lagi kebutuhan siswa.

Bayangkan Anda sedang mendayung sebuah sampan. Tenaga yang Anda keluarkan untuk membuat sampan tersebut melaju ibarat uang yang Anda gunakan. Anda bisa mendayung sepanjang hari. Tapi jika tidak merencanakan dan mengarahkannya dengan baik, Anda tidak akan pernah sampai ke tujuan. Anggaran (budgeting) ibarat mendayung, menyediakan pembiayaan yang Anda butuhkan untuk pengelolaan sekolah sehariharinya. Rencana pembiayaan (financial planning) ibarat arah, yang memfokuskan upaya Anda pada tujuan yang ingin dicapai.

Mendayung tanpa arah, atau anggaran tanpa rencana pembiayaan, tetap akan membuat Anda bergerak, tapi tidak pada arah yang benar. Sebagian besar sekolah menghabiskan waktu pada proses mendayung daripada mengarahkan tujuan pembiayaan itu sendiri. Faktanya, kebanyakan sekolah fokus hanya pada pengembangan anggaran, mengikuti aturan pelaporan keuangan serta cara menekan pengeluaran. Hal-hal tersebut perlu, tetapi bukanlah tindakan yang efektif untuk pengembangan sekolah yang strategis.

Kebanyakan sekolah memberikan waktu yang sangat sedikit pada proses evaluasi efektivitas dana yang telah digunakan, identifi kasi kebutuhan pembiayaan masa depan, dan melakukan prediksi atas dampak dari keputusan saat ini bagi tujuan jangka panjang dan masa depan sekolah. Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Pasal 48 menyatakan bahwa pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efi siensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.

Transparan berarti adanya keterbukaan. Penyusunan rencana pembiayaan didukung, diketahui, dan disetujui bersama oleh seluruh guru, masyarakat, dan dinas pendidikan. Transparansi dapat menciptakan kepercayaan timbal balik antarapemerintah, masyarakat, orangtua siswa dan warga sekolah melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Akuntabilitas berarti penggunaan uang sekolah dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan.

Ada tiga pilar utama yang menjadi prasyarat terbangunnya akuntabilitas, yaitu (1) adanya transparansi 
para penyelenggara sekolah dengan menerima masukan dan mengikutsertakan berbagai komponen dalam mengelola sekolah; (2) adanya standar kinerja di setiap institusi yang dapat diukur dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya; serta (3) adanya partisipasi untuk saling menciptakan suasana kondusif dalam menciptakan pelayanan masyarakat dengan prosedur yang mudah, biaya yang murah, dan pelayanan yang cepat. Garner (2004) mendefi nisikan efektivitas lebih dalam lagi karena sebenarnya efektivitas tidak berhenti sampai tujuan tercapai, tetapi sampai pada kualitatif hasil yang dikaitkan dengan pencapaian visi lembaga. Efektivitas harus berorientasi pada kualitas, karena itu rencana pembiayaan harus berani menciptakan pola-pola pembiayaan in kind contribution dengan melibatkan masyarakat dan dunia usaha.

Beberapa studi tentang dampak kualitas sekolah terhadap capaian akademis siswa mengindikasikan pentingnya menciptakan sebuah budaya sekolah yang sehat secara manajemen. Tetapi keberhasilan dan capaian akademik siswa dalam skema pembiayaan pendidikan lama selalu bergantung pada kemampuan finansial orangtua dan karakter psikologis siswa serta menafikan kemampuan manajerial dan budaya sekolah (JS Coleman, Equality of Education Opportunity, 1966).

Dalam banyak hal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejauh ini belum mampu membangun sebuah budaya sekolah yang komprehensif dan visioner pada tingkat sekolah sehingga kebutuhan untuk membangun suasana belajar yang positif dan kondusif tidak jarang belum termasuk dalam komponen dan indikator pembiayaan pendidikan. Padahal, jika kita merujuk pada hasil studi lainnya yang dilakukan oleh Rob Greenwald et.al dalam The Effect of School Resources on Student Achievement, Review of Educational Research (1996), jelas terlihat bahwa strategi pembiayaan pendidikan di tingkat sekolah sangat berpengaruh terhadap capaian siswa.

Beberapa peneliti mencoba untuk memecahkan kebuntuan pembiayaan yang berkaitan dengan pembangunan budaya sekolah sebagai bagian dari kebutuhan pokok sekolah dan berkaitan langsung dengan keberhasilan siswa (student achievement), terutama dengan melihat tren pembiayaan pendidikan secara statistikal. Dengan menggunakan regresi statistikal, terlihat bahwa hubungan capaian akademis siswa dengan budaya sekolah tidak memiliki ikatan yang kuat karena pada prinsipnya siswa memiliki latar belakang budaya dan etnik yang berbeda.


Jika hanya mengacu pada indikator kebutuhan siswa per orang per tahun, rumusan yang muncul biasanya sangat bersifat numerik dan dalam bahasa Eric Hanushek disebut sebagai production-function studies, bahwa dalam beberapa hal terlihat hubungan yang tidak selamanya positif antara semakin besar dana yang digunakan dalam proses pendidikan dan pencapaian akademis siswa. Kesimpulannya cukup mengagetkan, there is no strong or systematic relationship between school expenditures and student performance (Eric Hanushek, The Impact of Differential Expenditures on School Performance, Educational Researcher: 1989). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar