Selasa, 01 Oktober 2013

Sensitivitas Kunjungan Abott

Sensitivitas Kunjungan Abott
Ludiro Madu  ;  Dosen Hubungan Internasional FISIP
Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Yogyakarta
SUARA MERDEKA, 30 September 2013


KUNJUNGAN Perdana Menteri Tony Abbott ke Jakarta pada 30 September 2013 merupakan bukti nyata Indonesia tetap merupakan negara prioritas dan strategis bagi Australia.

Walaupun pemerintahan telah berganti, negara pertama yang dikunjungi perdana menteri baru itu adalah Indonesia. Kunjungan ini juga mencerminkan urgensi hubungan bilateral dua negara demokratis ini berkaitan kebijakan penangkalan Australia terhadap masalah penyelundupan manusia (boat people) yang mencari suaka secara ilegal ke Negeri Kanguru.

Masalah ini menjadi makin sensitif karena pemerintahan baru Australia PM Tony Abbott mengambil kebijakan sepihak, tanpa berkonsultasi dan bekerja sama dengan kita. Sejak kampanye pemilu hingga menjadi perdana menteri, Abbott telah menjanjikan program penangkalan penyelundupan manusia. Dia akan memberikan bantuan keuangan sekitar 420 juta dolar Australia untuk mengatasi penyelundupan manusia dari Indonesia.

Pemerintah Australia akan menggunakan uang itu untuk membeli kapal-kapal nelayan, memberi insentif uang kepada masyarakat dan kepala desa di Indonesia yang memberi informasi mengenai manusia perahu. Bahkan dia akan menempatkan polisi Australia di wilayah Indonesia. Pemerintah melalui Menlu Marty Natalegawa menolak kebijakan sepihak (unilateral) itu. Kebijakan itu sangat berisiko melanggar kedaulatan kita.

Marty menegaskan sikap penolakan itu ketika bertemu dengan Menlu Australia Julie Bishop di Markas Besar PBB di New York pada 23 September 2013 dalam rangka mempersiapkan kunjungan PM Australia ke Jakarta. Pernyataan Marty itu merupakan sikap resmi pertama dari Indonesia yang disampaikan secara langsung kepada pemerintah Australia sejak kebijakan itu didengungkan pemerintah Negeri Kanguru itu.

Dalam hubungan internasional kontemporer, masalah penyelundupan manusia atau manusia perahu merupakan salah satu dari ancaman keamanan nontradisional. Ancaman ini bersifatlintas batas negara (transnasional), berkait keamanan manusia. Penyelesaian persoalan ini memerlukan kerja sama antarnegara, termasuk antarlembaga nonpemerintah, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Ancaman keamanan seperti itu berbeda dari yang keamanan tradisional yang bersifat fisik, meliputi keamanan negara, dan hanya memerlukan respons aktor negara melalui kekuatan militer. Karena itu, kebijakan mengenai manusia perahu memerlukan kerja sama antara minimal dua negara, dalam hal ini Australia dan Indonesia.

Hindari Kesalahpahaman

Menghadapi masalah penyelundupan manusia, kebijakan Australia mengenai penangkalan secara jelas mengabaikan karakteristik ancaman keamanan nontradisional. Bahkan sikap arogan dan sepihak Australia itu mengabaikan kebijakan multilateral yang telah ditempuh selama ini melalui Bali Process.
Karena itu, kebijakan Australia merupakan pengingkaran atas komitmen multilateral pada Bali Process. Bali Process dibentuk oleh organisasi internasional dan 50 negara pada 2002. Tujuan utamanya mencari cara terbaik sesuai kedaulatan nasional tiap negara untuk menanggulangi penyelundupan manusia. Pada awal April 2013, Bali Process menghasilkan gagasan mengenai pembentukan pokja perdagangan manusia.

Pokja ini dapat memfasilitasi kerja sama dan pertukaran informasi antara negara asal, negara transit, dan negara tujuan guna menangani secara menyeluruh kejahatan internasional itu. Selain upaya multilateral melalui Bali Process, kedua negara secara bilateral sebenarnya telah membangun berbagai forum pertemuan. Tiap tahun pemerintah kedua negara bertemu dalam forum Annual Leaders Meeting (ALM) yang diadakan secara bergantian di masing-masing negara.

Awal Juli 2013 PM Kevin Rudd mengunjungi Jakarta dalam rangka ALM. Kunjungan Rudd itu konon berhasil mendorong Indonesia mengeluarkan kebijakan membatalkan visa-on-arrivalwarganegara Iran. Kedua negara juga memiliki forum Indonesia-Australia Dialogue (IAD). Berbeda dari ALM sebagai forum antarpemerintah, IAD merupakan forum yang dibentuk oleh masyarakat sipil Australia dan Indonesia untuk menghilangkan kesalahpahaman di antara kedua negara. Anggota IAD adalah editor senior media, politikus senior dan anggota parlemen, kelompok pengusaha, serta ilmuwan baik dari kampus maupun lembaga penelitian..

Bagi Indonesia, isu pencari suaka adalah masalah domestik Australia. Indonesia tetap menolak keras pengungsi/pencari suaka itu dikembalikan walaupun mereka melalui Indonesia sebagai negara transit.
Jika Australia menyalahkan, kita pun bisa meminta pertanggungjawaban negara-negara yang membiarkan warganegaranya bertransit di Indonesia menuju Australia. Situasi ini hanya membuat persoalan penyelundupan manusia tidak segera memperoleh penyelesaian. Kunjungan Abbott ke Jakarta harus dapat meredakan sensitivitas masalah penyelundupan manusia ini bagi kedaulatan nasional Indonesia.

Australia perlu kembali menggunakan forum-forum bilateral dan multilateral untuk menyelesaikan masalah ini ketimbang menjalankan kebijakan sepihak. Hubungan baik bilateral Indonesia dan Australia terlalu berharga untuk dirusak oleh masalah penyelundupan manusia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar