Kamis, 17 Oktober 2013

Revisi UU Pemda Minus Reformasi

Revisi UU Pemda Minus Reformasi
Laode Ida  ;   Wakil Ketua DPD RI
KOMPAS, 17 Oktober 2013


PEMBAHASAN RUU Pemerintahan Daerah—revisi UU No 32/2004, khususnya terkait dengan pemerintahan daerah dan pemilihan kepala daerah—tampaknya sudah hampir rampung.
Tinggal beberapa materi yang tersisa. Di antaranya terkait dengan pemilihan umum kepala daerah (langsung atau melalui DPRD) serta penanganan sengketa pilkada antara usulan untuk tetap berada di Mahkamah Konstitusi dan ditangani Mahkamah Agung (Kompas, 28/9/2013). Kendati demikian, jika kita secara saksama mencermati materi perubahannya, tampak masih belum menyentuh atau menghindar dari problem dasar pengelolaan pemerintahan daerah saat ini dan masa datang.

Kepentingan pragmatis

Setidaknya, baik pihak pemerintah maupun parlemen, agaknya kurang berdasarkan grand design berparadigma konstruktif untuk menjadikan pengelolaan daerah lebih baik-bersih dan berorientasi kepada rakyat. Bahkan pada tingkat tertentu, penekanan pada pilkada tidak saja akan ”memutar balik jarum demokrasi”, juga potensial melanggar hak asasi manusia (HAM), terutama terkait dengan hak calon kepala daerah dari unsur perseorangan apabila dipilih melalui lembaga DPRD. Mengapa?

Pertama, terkait dengan marak atau mengguritanya korupsi di daerah. Hal ini sama sekali tidak tampak muncul konsep brilian-strategis untuk mencegahnya melalui pasal-pasal tertentu. Pihak pemerintah agaknya menyederhanakan persoalan, dengan beranggapan, maraknya korupsi di daerah sebagai akibat dari biaya politik tinggi dalam proses pilkada. Ditonjolkanlah data tentang banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi dan, oleh karena itu, pihak pemerintah ”terus memaksakan” dikembalikannya pilkada oleh DPRD.

Padahal, jika ditelusuri lebih saksama pohon masalah korupsi di daerah berakar dari besar dan luasnya kewenangan kepala daerah. Kepala daerah, kalau mau jujur diakui, mengendalikan dan sangat leluasa memanfaatkan isi ”brankas daerah” dan proyek-proyek pembangunan fisik dan nonfisik berupa kick back fee dalam persentase tertentu secara paksa. Para pejabat yang ditempatkan di setiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD) pun merupakan ”figur-figur pelayan atasan” yang lazim jadi bagian dari ”ATM”, termasuk untuk para tim sukses, sehingga tak heran kalau derajat profesionalisme birokrasi lokal sangat rendah.

Kepala daerah juga memiliki good will yang menjadi sumber pendapatan tambahan ”menggiurkan”, terutama jika digunakan memberi suatu izin atau konsesi tertentu, utamanya kepada pihak pebisnis (apalagi di daerah yang kaya sumber daya alamnya). Jadi, tak heran jika umumnya kepala daerah pada era reformasi ini memiliki harta berlimpah, yang sama sekali tak masuk akal jika dibandingkan dengan akumulasi gaji dan honor-honor resmi mereka.

Posisi strategis dan kewenangan kepala daerah seperti itulah sebenarnya penyebab biaya politik sangat mahal. Para calon kepala daerah mau berkorban berapa saja (mulai dari membeli kendaraan politik, membiayai sejumlah keperluan teknis lainnya, sampai menyuap rakyat secara langsung) hanya untuk bisa jadi kontestan dan menduduki jabatan kursi nomor satu di daerah itu. Para cukong atau ”pebisnis hitam” pun tak segan-segan mendukung pendanaan. Singkatnya, mereka bagai ”pedagang” dan atau ”penjudi”, yang tidak saja berharap kembali uang digunakan dalam proses pilkada, tetapi ”harus dapat untung” dengan memanfaatkan kewenangan besar yang melekat pada jabatan kepala daerah itu.

Apa yang mau dikatakan di sini bahwa sebenarnya revisi UU Pemda harus fokus pada upaya pencegahan korupsi dengan membatasi kewenangan kepala daerah dan aturan-aturan terkait lainnya. Misalnya, memberi gaji dan honor tetap dalam besaran tertentu secara layak kepada kepala daerah seraya mengontrol secara ketat pertambahan kekayaannya, memastikan aparat birokrasi yang profesional tanpa terdikte oleh kepentingan politik pragmatis kepala daerah, dan memberi sanksi hukum kepada kalangan pendana dalam proses-proses politik pilkada.

Kedua, revisi UU No 32/2004 terkesan tiada kesadaran tentang perlunya menjadikan pemerintahan daerah sebagai ujung tombak penciptaan kesejahteraan rakyat melalui strategi efisiensi penggunaan dan ketepatan sasaran anggaran negara/daerah. Ini ditandai dengan ketiadaan konsep dan atau perdebatan mengenai reformasi struktur otonomi daerah berikut kelembagaannya. Padahal, hal itu menjadi bagian dari penyedot anggaran yang begitu besar, sekaligus mengambil porsi yang seharusnya jadi hak rakyat di daerah.

Otonomi daerah yang berada di dua tingkat (provinsi dan kabupaten/kota) sebenarnya sudah mesti dikoreksi secara mendasar. Kerumitannya bukan sekadar kerap terjadi kendala koordinasi pihak otoritas provinsi terhadap kabupaten/kota yang ada di dalamnya, juga secara nasional amat membingungkan.
Soalnya, lebih dari 500 daerah otonom sekarang ini masing-masing berurusan langsung dengan pihak dan atau ke pihak otoritas terkait di Jakarta. Semua cari uang sekaligus ”buang uang dan tenaga” di Ibu Kota. Sementara di tingkat kabupaten/kota, masih terus terjadi pertempuran di antara sesama elite/kelompok kepentingan politik, terutama antara eksekutif dan legislatif, yang semuanya terkait dan berujung pada soal-soal pragmatis materi.

Sumber kenikmatan

Tiada keinginan untuk mengubah kondisi seperti itu barangkali tidak saja menunjukkan ketiadaan konsep untuk melakukan perbaikan sesuai dengan tujuan negara dan amanah substansi reformasi, juga karena sudah jadi ”sumber kenikmatan”, baik oleh elite di daerah maupun para oknum pejabat atau pihak terkait lain di Jakarta. Di sinilah kesulitan utama bagi siapa pun yang menghendaki perbaikan pengelolaan daerah kita, yakni bersumber dari sejumlah aktor pengambil kebijakannya.

Dalam kaitan itu, jika pemerintah atau parlemen menjadi pelapor penciptaan daerah yang mengedepankan pelayanan, setidaknya ada dua hal yang perlu diubah. Pertama, menjadikan koordinasi otonomi pada pemerintahan provinsi sehingga akan lebih mengefektifkan koordinasi secara nasional. Kedua, menjadikan kabupaten/kota sebagai ujung tombak pelayanan masyarakat.

Konsep ini, jika diwujudkan, sekaligus akan merampingkan kelembagaan di pemerintahan daerah, termasuk barangkali kewenangan dan jumlah anggota DPRD kabupaten/kota harus dikaji ulang. Itu karena, prinsipnya, penyelenggaraan daerah otonom yang fokus pada pelayanan tak boleh terus dikacaukan oleh pertempuran kelompok-kelompok politik kepentingan yang berbasis di DPRD.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar