|
PEMBAHASAN RUU Pemerintahan
Daerah—revisi UU No 32/2004, khususnya terkait dengan pemerintahan daerah dan
pemilihan kepala daerah—tampaknya sudah hampir rampung.
Tinggal beberapa materi yang tersisa. Di antaranya terkait
dengan pemilihan umum kepala daerah (langsung atau melalui DPRD) serta
penanganan sengketa pilkada antara usulan untuk tetap berada di Mahkamah
Konstitusi dan ditangani Mahkamah Agung (Kompas, 28/9/2013). Kendati demikian,
jika kita secara saksama mencermati materi perubahannya, tampak masih belum
menyentuh atau menghindar dari problem dasar pengelolaan pemerintahan daerah
saat ini dan masa datang.
Kepentingan pragmatis
Setidaknya, baik pihak pemerintah maupun parlemen, agaknya
kurang berdasarkan grand design berparadigma konstruktif untuk
menjadikan pengelolaan daerah lebih baik-bersih dan berorientasi kepada rakyat.
Bahkan pada tingkat tertentu, penekanan pada pilkada tidak saja akan ”memutar
balik jarum demokrasi”, juga potensial melanggar hak asasi manusia (HAM),
terutama terkait dengan hak calon kepala daerah dari unsur perseorangan apabila
dipilih melalui lembaga DPRD. Mengapa?
Pertama, terkait dengan marak atau mengguritanya korupsi di
daerah. Hal ini sama sekali tidak tampak muncul konsep brilian-strategis untuk
mencegahnya melalui pasal-pasal tertentu. Pihak pemerintah agaknya
menyederhanakan persoalan, dengan beranggapan, maraknya korupsi di daerah
sebagai akibat dari biaya politik tinggi dalam proses pilkada. Ditonjolkanlah
data tentang banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi dan, oleh
karena itu, pihak pemerintah ”terus memaksakan” dikembalikannya pilkada oleh
DPRD.
Padahal, jika ditelusuri lebih saksama pohon masalah korupsi
di daerah berakar dari besar dan luasnya kewenangan kepala daerah. Kepala
daerah, kalau mau jujur diakui, mengendalikan dan sangat leluasa memanfaatkan
isi ”brankas daerah” dan proyek-proyek pembangunan fisik dan nonfisik
berupa kick back fee dalam persentase tertentu secara paksa. Para
pejabat yang ditempatkan di setiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD) pun
merupakan ”figur-figur pelayan atasan” yang lazim jadi bagian dari ”ATM”,
termasuk untuk para tim sukses, sehingga tak heran kalau derajat
profesionalisme birokrasi lokal sangat rendah.
Kepala daerah juga memiliki good will yang menjadi
sumber pendapatan tambahan ”menggiurkan”, terutama jika digunakan memberi suatu
izin atau konsesi tertentu, utamanya kepada pihak pebisnis (apalagi di daerah
yang kaya sumber daya alamnya). Jadi, tak heran jika umumnya kepala daerah pada
era reformasi ini memiliki harta berlimpah, yang sama sekali tak masuk akal
jika dibandingkan dengan akumulasi gaji dan honor-honor resmi mereka.
Posisi strategis dan kewenangan kepala daerah seperti itulah
sebenarnya penyebab biaya politik sangat mahal. Para calon kepala daerah mau
berkorban berapa saja (mulai dari membeli kendaraan politik, membiayai sejumlah
keperluan teknis lainnya, sampai menyuap rakyat secara langsung) hanya untuk
bisa jadi kontestan dan menduduki jabatan kursi nomor satu di daerah itu. Para
cukong atau ”pebisnis hitam” pun tak segan-segan mendukung pendanaan.
Singkatnya, mereka bagai ”pedagang” dan atau ”penjudi”, yang tidak saja
berharap kembali uang digunakan dalam proses pilkada, tetapi ”harus dapat
untung” dengan memanfaatkan kewenangan besar yang melekat pada jabatan kepala
daerah itu.
Apa yang mau dikatakan di sini bahwa sebenarnya revisi UU
Pemda harus fokus pada upaya pencegahan korupsi dengan membatasi kewenangan
kepala daerah dan aturan-aturan terkait lainnya. Misalnya, memberi gaji dan
honor tetap dalam besaran tertentu secara layak kepada kepala daerah seraya
mengontrol secara ketat pertambahan kekayaannya, memastikan aparat birokrasi
yang profesional tanpa terdikte oleh kepentingan politik pragmatis kepala
daerah, dan memberi sanksi hukum kepada kalangan pendana dalam proses-proses
politik pilkada.
Kedua, revisi UU No 32/2004 terkesan tiada kesadaran tentang
perlunya menjadikan pemerintahan daerah sebagai ujung tombak penciptaan
kesejahteraan rakyat melalui strategi efisiensi penggunaan dan ketepatan
sasaran anggaran negara/daerah. Ini ditandai dengan ketiadaan konsep dan atau
perdebatan mengenai reformasi struktur otonomi daerah berikut kelembagaannya.
Padahal, hal itu menjadi bagian dari penyedot anggaran yang begitu besar,
sekaligus mengambil porsi yang seharusnya jadi hak rakyat di daerah.
Otonomi daerah yang berada di dua tingkat (provinsi dan
kabupaten/kota) sebenarnya sudah mesti dikoreksi secara mendasar. Kerumitannya
bukan sekadar kerap terjadi kendala koordinasi pihak otoritas provinsi terhadap
kabupaten/kota yang ada di dalamnya, juga secara nasional amat membingungkan.
Soalnya, lebih dari 500 daerah otonom sekarang ini
masing-masing berurusan langsung dengan pihak dan atau ke pihak otoritas
terkait di Jakarta. Semua cari uang sekaligus ”buang uang dan tenaga” di Ibu
Kota. Sementara di tingkat kabupaten/kota, masih terus terjadi pertempuran di
antara sesama elite/kelompok kepentingan politik, terutama antara eksekutif dan
legislatif, yang semuanya terkait dan berujung pada soal-soal pragmatis materi.
Sumber kenikmatan
Tiada keinginan untuk mengubah kondisi seperti itu barangkali
tidak saja menunjukkan ketiadaan konsep untuk melakukan perbaikan sesuai dengan
tujuan negara dan amanah substansi reformasi, juga karena sudah jadi ”sumber
kenikmatan”, baik oleh elite di daerah maupun para oknum pejabat atau pihak
terkait lain di Jakarta. Di sinilah kesulitan utama bagi siapa pun yang
menghendaki perbaikan pengelolaan daerah kita, yakni bersumber dari sejumlah
aktor pengambil kebijakannya.
Dalam kaitan itu, jika pemerintah atau parlemen menjadi
pelapor penciptaan daerah yang mengedepankan pelayanan, setidaknya ada dua hal
yang perlu diubah. Pertama, menjadikan koordinasi otonomi pada pemerintahan
provinsi sehingga akan lebih mengefektifkan koordinasi secara nasional. Kedua,
menjadikan kabupaten/kota sebagai ujung tombak pelayanan masyarakat.
Konsep ini, jika diwujudkan, sekaligus akan merampingkan
kelembagaan di pemerintahan daerah, termasuk barangkali kewenangan dan jumlah
anggota DPRD kabupaten/kota harus dikaji ulang. Itu karena, prinsipnya,
penyelenggaraan daerah otonom yang fokus pada pelayanan tak boleh terus
dikacaukan oleh pertempuran kelompok-kelompok politik kepentingan yang berbasis
di DPRD. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar