|
Mengingat sejarah kelam bangsa ini bukan hanya terfokus pada
imprealisme kaum penjajah yang telah menyengserakan rakyat jelata, melainkan
ada satu peristiwa memilukan yang lebih dahsyat karena melibatkan bangsa
sendiri dalam kasus pembunuhan perwira tinggi dan pembunuhan massal yang
menelan banyak korban dari warga sipil.
Salah satu lembaran paling hitam dalam sejarah Indonesia, yakni tragedi kemanusiaan 1965. Tulisan ini bukan bermaksud untuk mengecam keras, meratapi, dan menyesali tindakan sadis Partai Komunis Indonesia (PKI), melainkan berupaya mengajak kaum muda agar tidak terjebak pada politisasi ingatan yang seolah-olah membenarkan fakta tentang sejarah kelam bangsa ini.
Kita juga harus bersikap kritis atas tragedi kemanusiaan dan merefleksikannya menjadi sebuah gagasan untuk menyembuhkan luka sejarah bangsa dan membangkitkan optimisme kaum muda. Jika ingatan kaum muda dikibuli dan diproduksi menjadi sebuah kebenaran yang otentik, saya khawatir kaum muda tidak memiliki hati nurani untuk menyembuhkan luka sejarah dan berusaha terus menerus melakukan perjuangan melawan lupa yang telah didekonstruksi oleh penguasa sendiri.
Sebagai kaum muda, kita tidak boleh terjebak dengan fakta sejarah yang berbicara demikian. Namun, kita harus merekonstruksi ingatan sejarah kelam itu pada satu pembuktian yang benar menuju keadilan sejati sebagaimana cita-cita kaum muda yang menghendaki kejujuran penguasanya sendiri.
Tragedi Kemanusiaan
Tragedi kemanusiaan itu terkesan seolah sebuah kecelakaan dan seolah tak ada kesengajaan di dalamnya, sehingga membutuhkan nalar pikir yang lebih arif dalam menelusuri jejak-jejak pembantaian tersebut. Sebagai kaum muda, saya memahami bahwa tragedi kemanusiaan 1965 adalah suatu peristiwa yang merobek-robek bangsa ini sehingga terkapar dalam ketidakpastian dan berada di ujung nestapa yang memilukan.
Dalam kasus pembantaian 1965, misalnya, pembunuhan dan teror ternyata dijalankan sepenuhnya dengan sengaja dan ada rekayasa sekalipun. Harus dicatat, dari 500.000 orang lebih yang tewas, hanya tujuh di antaranya yang dikategorikan anti-komunis, yaitu para perwira yang mati dalam aksi keblinger yang dilakukan oleh kelompok Gerakan 30 September (G 30 S).
Barangkali ingatan sejarah kelam bangsa ini telah didoktrin oleh fakta sejarah yang sengaja menutup-nutupi kebenaran atas tragedi kemanusiaan yang memilukan dan mengiris hati nurani kaum muda yang kelak akan meneruskan perjuangan bangsa ini. Jika peristiwa pembantaian 1965 disebut sebagai sebuah tragedi, lalu kenapa terkesan ada kesengajaan untuk membantai warga sipil yang tak bersalah itu?
Istilah tragedi ternyata menjadi bagian dari operasi militer guna membungkam warga sipil agar tidak melawan terhadap setiap kebijakan yang diambil oleh penguasa. Tragedi kemanusiaan itu sama artinya dengan menutupi kenyataan sejarah atau ingatan kita telah dipolitisasi oleh pihak yang tidak punya hati nurani terhadap penderitaan rakyat jelata. Padahal, kalau kita cermati lebih mendalam bahwa sebuah tragedi sebenarnya harus ditangisi dan disesali karena telah menimbulkan korban jiwa.
Penyelewengan Sejarah
Menyembuhkan luka sejarah bangsa tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena harus dilalui dengan kerja keras dan tidak gampang menyerah. Bukan sekadar kerja satu dua tahun, tetapi mungkin puluhan tahun. Betapa pun, sebuah langkah kecil tetap harus dimulai. Sejarah kelam yang menimpa bangsa ini tak perlu diratapi dengan isak tangis berlebihan, melainkan harus disikapi dengan arif dan bijaksana.
Kendati peristiwa pembantaian 1965 begitu melukai hati bangsa, namun tidak ada salahnya kalau kita mengambilk hikmah dibalik peristiwa tersebut. Kita perlu menyadari bahwa sejarah kelam yang berkaitan dengan masa depan bangsa tidak lepas dari kekejaman sejarah yang seringkali menyalahgunakan wewenang untuk menghancurkan bangsa sendiri.
Kita tidak bisa menyangkal bahwa pembantaian 1965 tidak saja merupakan malapetaka bangsa yang memilukan, melainkan juga sebuah kejahatan HAM yang mesti ditindaklanjuti secara hukum. Bahkan, pembantaian tersebut masih tetap menyimpan luka yang sangat mendalam dan begitu sulit dilupakan dalam geliat sejarah bangsa ini. Tidak heran bila banyak kalangan menilai bahwa tragedi kemanusiaan yang menewaskan banyak korban itu tidak saja merupakan sebuah kecelakaan alam yang jatuh dari langit, tetapi suatu kesengajaan oleh pihak kekuasaan yang dilangsungkan secara sistematik selama hampir dua tahun berturut-turut.
Sebaiknya kita tidak pantas menyebut istilah “tragedi”, melainkan yang lebih arif adalah istilah “malapetaka anti-kemanusiaan”. S ebagai kaum muda, kita pun sering bertanya-tanya, kenapa sejarah bangsa ini dapat dengan mudah ditutup-tupi, bahkan sengaja dihilangkan sesuai fakta yang sebenarnya. Barangkali saatnya kaum muda bergerak untuk tidak sekadar merefleksikan diri atau meratapi tragedi kemanusiaan itu, tetapi juga harus berani memberikan solusi atas setiap persoalan yang menimpa bangsa ini.
Di titik ini, kaum muda memiliki peran penting dalam menyembuhkan luka sejarah bangsa, kendati tidak menjamin bahwa tragedi itu akan terlupakan begitu saja. Bagi kaum muda, cita-cita rekonsiliasi untuk merekonstruki tragedi kemanusiaan 1965 menjadi suatu langkah awal untuk memahami sejarah kelam bangsa ini. Rekonsiliasi menjadi sangat penting dalam merefleksikan tragedi kemanusiaan itu, karena akan berimplikasi pada pulihnya citra dan martabat bangsa.
Itulah sebabnya, pelaku dan saksi sejarah harus berani membongkar kebohongan, konspirasi, rekayasa, dan penyelewengan sejarah yang telah menyayat hati nurani masyarakat agar pada gilirannya luka sejarah itu dapat disembuhkan. Ini karena, penyelewengan sejarah itu berdampak pada hancurnya nilainilai luhur bangsa. Pada akhirnya, kalau sejarah dianggap mengajarkan semua hal pada kita, berarti ada makna yang yang terkandung di setiap peristiwa itu.
Empat puluh enam tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk melakukan kontemplasi dan internalisasi. Oleh sebab itu, momentum ini patut dijadikan bahan evaluasi bagi kita semuanya guna menciptakan kondisi yang aman, nyaman, tertib dan terjaminnya kesejahteraan rakyat sehingga tragedi kemanusiaan yang memilukan seperti G 30 S 1965 takkan terulang lagi. ●
Salah satu lembaran paling hitam dalam sejarah Indonesia, yakni tragedi kemanusiaan 1965. Tulisan ini bukan bermaksud untuk mengecam keras, meratapi, dan menyesali tindakan sadis Partai Komunis Indonesia (PKI), melainkan berupaya mengajak kaum muda agar tidak terjebak pada politisasi ingatan yang seolah-olah membenarkan fakta tentang sejarah kelam bangsa ini.
Kita juga harus bersikap kritis atas tragedi kemanusiaan dan merefleksikannya menjadi sebuah gagasan untuk menyembuhkan luka sejarah bangsa dan membangkitkan optimisme kaum muda. Jika ingatan kaum muda dikibuli dan diproduksi menjadi sebuah kebenaran yang otentik, saya khawatir kaum muda tidak memiliki hati nurani untuk menyembuhkan luka sejarah dan berusaha terus menerus melakukan perjuangan melawan lupa yang telah didekonstruksi oleh penguasa sendiri.
Sebagai kaum muda, kita tidak boleh terjebak dengan fakta sejarah yang berbicara demikian. Namun, kita harus merekonstruksi ingatan sejarah kelam itu pada satu pembuktian yang benar menuju keadilan sejati sebagaimana cita-cita kaum muda yang menghendaki kejujuran penguasanya sendiri.
Tragedi Kemanusiaan
Tragedi kemanusiaan itu terkesan seolah sebuah kecelakaan dan seolah tak ada kesengajaan di dalamnya, sehingga membutuhkan nalar pikir yang lebih arif dalam menelusuri jejak-jejak pembantaian tersebut. Sebagai kaum muda, saya memahami bahwa tragedi kemanusiaan 1965 adalah suatu peristiwa yang merobek-robek bangsa ini sehingga terkapar dalam ketidakpastian dan berada di ujung nestapa yang memilukan.
Dalam kasus pembantaian 1965, misalnya, pembunuhan dan teror ternyata dijalankan sepenuhnya dengan sengaja dan ada rekayasa sekalipun. Harus dicatat, dari 500.000 orang lebih yang tewas, hanya tujuh di antaranya yang dikategorikan anti-komunis, yaitu para perwira yang mati dalam aksi keblinger yang dilakukan oleh kelompok Gerakan 30 September (G 30 S).
Barangkali ingatan sejarah kelam bangsa ini telah didoktrin oleh fakta sejarah yang sengaja menutup-nutupi kebenaran atas tragedi kemanusiaan yang memilukan dan mengiris hati nurani kaum muda yang kelak akan meneruskan perjuangan bangsa ini. Jika peristiwa pembantaian 1965 disebut sebagai sebuah tragedi, lalu kenapa terkesan ada kesengajaan untuk membantai warga sipil yang tak bersalah itu?
Istilah tragedi ternyata menjadi bagian dari operasi militer guna membungkam warga sipil agar tidak melawan terhadap setiap kebijakan yang diambil oleh penguasa. Tragedi kemanusiaan itu sama artinya dengan menutupi kenyataan sejarah atau ingatan kita telah dipolitisasi oleh pihak yang tidak punya hati nurani terhadap penderitaan rakyat jelata. Padahal, kalau kita cermati lebih mendalam bahwa sebuah tragedi sebenarnya harus ditangisi dan disesali karena telah menimbulkan korban jiwa.
Penyelewengan Sejarah
Menyembuhkan luka sejarah bangsa tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena harus dilalui dengan kerja keras dan tidak gampang menyerah. Bukan sekadar kerja satu dua tahun, tetapi mungkin puluhan tahun. Betapa pun, sebuah langkah kecil tetap harus dimulai. Sejarah kelam yang menimpa bangsa ini tak perlu diratapi dengan isak tangis berlebihan, melainkan harus disikapi dengan arif dan bijaksana.
Kendati peristiwa pembantaian 1965 begitu melukai hati bangsa, namun tidak ada salahnya kalau kita mengambilk hikmah dibalik peristiwa tersebut. Kita perlu menyadari bahwa sejarah kelam yang berkaitan dengan masa depan bangsa tidak lepas dari kekejaman sejarah yang seringkali menyalahgunakan wewenang untuk menghancurkan bangsa sendiri.
Kita tidak bisa menyangkal bahwa pembantaian 1965 tidak saja merupakan malapetaka bangsa yang memilukan, melainkan juga sebuah kejahatan HAM yang mesti ditindaklanjuti secara hukum. Bahkan, pembantaian tersebut masih tetap menyimpan luka yang sangat mendalam dan begitu sulit dilupakan dalam geliat sejarah bangsa ini. Tidak heran bila banyak kalangan menilai bahwa tragedi kemanusiaan yang menewaskan banyak korban itu tidak saja merupakan sebuah kecelakaan alam yang jatuh dari langit, tetapi suatu kesengajaan oleh pihak kekuasaan yang dilangsungkan secara sistematik selama hampir dua tahun berturut-turut.
Sebaiknya kita tidak pantas menyebut istilah “tragedi”, melainkan yang lebih arif adalah istilah “malapetaka anti-kemanusiaan”. S ebagai kaum muda, kita pun sering bertanya-tanya, kenapa sejarah bangsa ini dapat dengan mudah ditutup-tupi, bahkan sengaja dihilangkan sesuai fakta yang sebenarnya. Barangkali saatnya kaum muda bergerak untuk tidak sekadar merefleksikan diri atau meratapi tragedi kemanusiaan itu, tetapi juga harus berani memberikan solusi atas setiap persoalan yang menimpa bangsa ini.
Di titik ini, kaum muda memiliki peran penting dalam menyembuhkan luka sejarah bangsa, kendati tidak menjamin bahwa tragedi itu akan terlupakan begitu saja. Bagi kaum muda, cita-cita rekonsiliasi untuk merekonstruki tragedi kemanusiaan 1965 menjadi suatu langkah awal untuk memahami sejarah kelam bangsa ini. Rekonsiliasi menjadi sangat penting dalam merefleksikan tragedi kemanusiaan itu, karena akan berimplikasi pada pulihnya citra dan martabat bangsa.
Itulah sebabnya, pelaku dan saksi sejarah harus berani membongkar kebohongan, konspirasi, rekayasa, dan penyelewengan sejarah yang telah menyayat hati nurani masyarakat agar pada gilirannya luka sejarah itu dapat disembuhkan. Ini karena, penyelewengan sejarah itu berdampak pada hancurnya nilainilai luhur bangsa. Pada akhirnya, kalau sejarah dianggap mengajarkan semua hal pada kita, berarti ada makna yang yang terkandung di setiap peristiwa itu.
Empat puluh enam tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk melakukan kontemplasi dan internalisasi. Oleh sebab itu, momentum ini patut dijadikan bahan evaluasi bagi kita semuanya guna menciptakan kondisi yang aman, nyaman, tertib dan terjaminnya kesejahteraan rakyat sehingga tragedi kemanusiaan yang memilukan seperti G 30 S 1965 takkan terulang lagi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar