|
Di negeri ini, politik mengalami
penyempitan makna. Politik diartikan semata cara mencapai kekuasaan atau
jabatan. Politik, karena itu, sekadar arena perebutan kewenangan menentukan
kebijakan publik. Politik, dalam bentuk yang paling buruk, adalah perebutan
kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri. Padahal
politik sesungguhnya adalah alat untuk menggapai kondisi sosial yang layak.
Politik adalah usaha mencapai tatanan masyarakat yang baik dan berkeadilan (Peter Merkl, 1967; dikutip dari Miriam
Budiarjo, 2008).
Korupsi adalah milik pemegang kekuasaan. Modus korupsi sesungguhnya satu: manipulasi jabatan publik untuk keuntungan pribadi. Sebagian besar pemilik kekuasaan itu alpa berpikir dan bertindak bagi kepentingan rakyat. Mereka menggunakan kewenangan menentukan kebijakan publik semata demi kepentingan diri sendiri. Mereka menjual jabatan demi setumpuk uang. Etika jabatan publik tak lagi menjadi perhatian. Demos bukan tujuan, melainkan alat memperkaya pribadi. Dari sinilah muncul apa yang biasa disebut korupsi politik.
Bertalian dengan problem korupsi politik, meminjam gagasan Peter Larmour (2011), timbulnya korupsi di bidang politik berakar pada tiga domain area. Pertama, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Para pemilik kekuasaan menggunakan jabatannya untuk keuntungan pribadi atau kelompoknya. Kedua, peminggiran suara rakyat (duplicitous exclusion). Suara rakyat dikecualikan dari pengambilan kebijakan di mana kebijakan tersebut akan berdampak pada masyarakat itu sendiri. Partisipasi publik ditekan. Ketiga, perselingkuhan negara dan bisnis (business and state relation). Yakni, persekongkolan antara pejabat pemerintah (juga, birokrat) dan pebisnis yang berpotensi mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
Persoalan korupsi politik bagaikan benang kusut. Sukar menemukan ujung dan pangkalnya. Namun, bagaimanapun, persoalan korupsi politik tetaplah harus dihentikan. Air keran korupsi politik wajib ditutup, disumbat. Dalam rangka menyumbatnya, haruslah upaya dimulai dari melacak pabrik yang memproduksi politikus: partai politik (parpol). Ini penting karena politikuslah yang nantinya akan banyak mewarnai kebijakan-kebijakan publik, lewat jalur eksekutif maupun legislatif.
Parpol sering dilihat sebagai bagian dari masalah korupsi (Blechinger, 2002). Diskursus korupsi dan strategi-strategi antikorupsi telah mengidentifikasi parpol sebagai aktor kunci yang menyalahgunakan kekuasaannya dalam sistem politik untuk menerima suap, menempatkan anggota-anggotanya pada posisi strategis di sektor publik dan BUMN, merekayasa institusi politik dan ekonomi untuk kepentingan-kepentingan kelompoknya, atau mengendalikan sumber-sumber daya publik ke tangan pimpinan atau anggota parpol.
Parpol amat berkepentingan menempatkan kadernya di birokrasi. Dalam sebuah berita di Kompas, 12 April 2013, tertera judul: "Birokrasi mesin uang untuk kepentingan politik." Dalam berita itu tampak munculnya gejala politisasi birokrasi. Seorang narasumber, misalnya, dalam salah satu riset ICW yang dikutip Kompas, mengatakan bahwa sumber pendapatan parpol antara lain berasal dari penempatan pejabat di eselon 1.
Lebih jauh, parpol di negeri ini bagai teramputasi. Parpol bak pincang dan lumpuh. Parpol hampir kehilangan marwahnya sebagai pencetak politikus-politikus unggul dan bermartabat. Sejumlah pengurus parpol, yang pernah jadi pejabat publik, terjerat kasus korupsi. Kita bisa sebutkan beberapa nama: Andi Alifian Mallarangeng (Partai Demokrat, mantan menteri), Angelina Sondakh (Partai Demokrat, mantan anggota DPR), dan Luthfi Hasan Ishaaq (PKS, anggota DPR).
Mungkin harus diakui, parpol tampak lemah dalam kanalisasi politik. Parpol hampir kehilangan perannya sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan publik. Timbul fenomena tersumbatnya aspirasi rakyat untuk memperoleh akses kepada kebijakan yang berkeadilan.
Belakangan, muncul fenomena: parpol terkesan gamang ketika akan memilih dan mengajukan calon legislator, kandidat presiden, atau bakal kepala daerah. Mencuat kondisi pelik saat parpol akan memajukan kader-kadernya. Ini terlihat dari pola-pola rekrutmen calon yang amat sporadis. Juga, sewaktu parpol mengajukan Daftar Calon Legislator Sementara (DCS) Pemilu 2014 saat tenggat masa pencalonan nyaris usai. Mungkinkah ini karena parpol tak memberi perhatian serius pada pola rekrutmen dan pengkaderan? Terlihat proses pengkaderan yang berjenjang dan rapi bak terabaikan. Pola-pola rekrutmen dan kaderisasi calon legislator yang terlihat saat ini terkesan amat impulsif. Fenomena aktual memperlihatkan bahwa parpol malah mengajukan orang-orang eksternal partai, yang tentu bukan berasal dari rapinya sistem pengkaderan. Parpol menjadi pragmatis dan bersikap instan. Para calon non-kader itu memang punya modal besar: uang dan mungkin popularitas.
Kondisi di atas barangkali juga karena parpol sendiri dikuasai oleh elite-elite parpol yang amat feodal. Mereka mempunyai kewenangan luar biasa untuk menentukan calon-calon legislator yang akan bersaing dalam pemilu. Proses pemilihan calon bukan berdasarkan sistem kepartaian yang rapi, yang dimulai dari mekanisme rekrutmen yang transparan dan proses pengkaderan yang sistematis-berjenjang. Hal ini memperlihatkan bahwa parpol kita belum terinstitusionalisasi dengan baik; belum melembaga sebagai layaknya institusi modern. Apatah lagi kita bicara soal kualitas para calon. Persoalan lain terkait dengan parpol adalah transparansi dan akuntabilitas pendanaan parpol.
Apa yang bisa diajukan sebagai respons atas masalah di atas? Pertama, menciptakan kader partai yang profesional dan berintegritas. Ini berarti parpol mesti menambahkan integritas sebagai salah satu menu penting dalam kriteria calon anggota. Parpol didorong membuat panduan rekrutmen dan seleksi berbasis integritas. Dengan begitu, parpol wajib membuat dan menyediakan perangkat seleksi dengan cara uji integritas terhadap calon anggota. Kedua, menciptakan aturan dan sistem pengelolaan sumber-sumber pendanaan partai politik yang profesional dan akuntabel. Untuk itu, penyumbang harus hanya menyumbang pada satu partai yang memperjuangkan kepentingannya (dengan memperhatikan batas maksimal sumbangan). Lalu, pengelolaan keuangan partai wajib ditangani oleh profesional dengan sistem pengawasan dan pemilihan fungsi yang jelas. Parpol harus pula menyampaikan pertanggungjawaban dan pelaporan penggunaan dana secara menyeluruh, baik bantuan dari APBN dan APBD maupun bantuan dari multy-entry. Juga, pemasukan dan pengeluaran dana partai diatur secara jelas dalam undang-undang untuk kompetisi yang adil antarparpol.
Mungkin usul tersebut terkesan utopis. Namun, sesungguhnya, ini bukan sesuatu yang mustahil. Keberanian bertindaklah yang ditunggu rakyat, demi terbangunnya parpol dan politikus yang berintegritas. ●
Korupsi adalah milik pemegang kekuasaan. Modus korupsi sesungguhnya satu: manipulasi jabatan publik untuk keuntungan pribadi. Sebagian besar pemilik kekuasaan itu alpa berpikir dan bertindak bagi kepentingan rakyat. Mereka menggunakan kewenangan menentukan kebijakan publik semata demi kepentingan diri sendiri. Mereka menjual jabatan demi setumpuk uang. Etika jabatan publik tak lagi menjadi perhatian. Demos bukan tujuan, melainkan alat memperkaya pribadi. Dari sinilah muncul apa yang biasa disebut korupsi politik.
Bertalian dengan problem korupsi politik, meminjam gagasan Peter Larmour (2011), timbulnya korupsi di bidang politik berakar pada tiga domain area. Pertama, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Para pemilik kekuasaan menggunakan jabatannya untuk keuntungan pribadi atau kelompoknya. Kedua, peminggiran suara rakyat (duplicitous exclusion). Suara rakyat dikecualikan dari pengambilan kebijakan di mana kebijakan tersebut akan berdampak pada masyarakat itu sendiri. Partisipasi publik ditekan. Ketiga, perselingkuhan negara dan bisnis (business and state relation). Yakni, persekongkolan antara pejabat pemerintah (juga, birokrat) dan pebisnis yang berpotensi mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
Persoalan korupsi politik bagaikan benang kusut. Sukar menemukan ujung dan pangkalnya. Namun, bagaimanapun, persoalan korupsi politik tetaplah harus dihentikan. Air keran korupsi politik wajib ditutup, disumbat. Dalam rangka menyumbatnya, haruslah upaya dimulai dari melacak pabrik yang memproduksi politikus: partai politik (parpol). Ini penting karena politikuslah yang nantinya akan banyak mewarnai kebijakan-kebijakan publik, lewat jalur eksekutif maupun legislatif.
Parpol sering dilihat sebagai bagian dari masalah korupsi (Blechinger, 2002). Diskursus korupsi dan strategi-strategi antikorupsi telah mengidentifikasi parpol sebagai aktor kunci yang menyalahgunakan kekuasaannya dalam sistem politik untuk menerima suap, menempatkan anggota-anggotanya pada posisi strategis di sektor publik dan BUMN, merekayasa institusi politik dan ekonomi untuk kepentingan-kepentingan kelompoknya, atau mengendalikan sumber-sumber daya publik ke tangan pimpinan atau anggota parpol.
Parpol amat berkepentingan menempatkan kadernya di birokrasi. Dalam sebuah berita di Kompas, 12 April 2013, tertera judul: "Birokrasi mesin uang untuk kepentingan politik." Dalam berita itu tampak munculnya gejala politisasi birokrasi. Seorang narasumber, misalnya, dalam salah satu riset ICW yang dikutip Kompas, mengatakan bahwa sumber pendapatan parpol antara lain berasal dari penempatan pejabat di eselon 1.
Lebih jauh, parpol di negeri ini bagai teramputasi. Parpol bak pincang dan lumpuh. Parpol hampir kehilangan marwahnya sebagai pencetak politikus-politikus unggul dan bermartabat. Sejumlah pengurus parpol, yang pernah jadi pejabat publik, terjerat kasus korupsi. Kita bisa sebutkan beberapa nama: Andi Alifian Mallarangeng (Partai Demokrat, mantan menteri), Angelina Sondakh (Partai Demokrat, mantan anggota DPR), dan Luthfi Hasan Ishaaq (PKS, anggota DPR).
Mungkin harus diakui, parpol tampak lemah dalam kanalisasi politik. Parpol hampir kehilangan perannya sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan publik. Timbul fenomena tersumbatnya aspirasi rakyat untuk memperoleh akses kepada kebijakan yang berkeadilan.
Belakangan, muncul fenomena: parpol terkesan gamang ketika akan memilih dan mengajukan calon legislator, kandidat presiden, atau bakal kepala daerah. Mencuat kondisi pelik saat parpol akan memajukan kader-kadernya. Ini terlihat dari pola-pola rekrutmen calon yang amat sporadis. Juga, sewaktu parpol mengajukan Daftar Calon Legislator Sementara (DCS) Pemilu 2014 saat tenggat masa pencalonan nyaris usai. Mungkinkah ini karena parpol tak memberi perhatian serius pada pola rekrutmen dan pengkaderan? Terlihat proses pengkaderan yang berjenjang dan rapi bak terabaikan. Pola-pola rekrutmen dan kaderisasi calon legislator yang terlihat saat ini terkesan amat impulsif. Fenomena aktual memperlihatkan bahwa parpol malah mengajukan orang-orang eksternal partai, yang tentu bukan berasal dari rapinya sistem pengkaderan. Parpol menjadi pragmatis dan bersikap instan. Para calon non-kader itu memang punya modal besar: uang dan mungkin popularitas.
Kondisi di atas barangkali juga karena parpol sendiri dikuasai oleh elite-elite parpol yang amat feodal. Mereka mempunyai kewenangan luar biasa untuk menentukan calon-calon legislator yang akan bersaing dalam pemilu. Proses pemilihan calon bukan berdasarkan sistem kepartaian yang rapi, yang dimulai dari mekanisme rekrutmen yang transparan dan proses pengkaderan yang sistematis-berjenjang. Hal ini memperlihatkan bahwa parpol kita belum terinstitusionalisasi dengan baik; belum melembaga sebagai layaknya institusi modern. Apatah lagi kita bicara soal kualitas para calon. Persoalan lain terkait dengan parpol adalah transparansi dan akuntabilitas pendanaan parpol.
Apa yang bisa diajukan sebagai respons atas masalah di atas? Pertama, menciptakan kader partai yang profesional dan berintegritas. Ini berarti parpol mesti menambahkan integritas sebagai salah satu menu penting dalam kriteria calon anggota. Parpol didorong membuat panduan rekrutmen dan seleksi berbasis integritas. Dengan begitu, parpol wajib membuat dan menyediakan perangkat seleksi dengan cara uji integritas terhadap calon anggota. Kedua, menciptakan aturan dan sistem pengelolaan sumber-sumber pendanaan partai politik yang profesional dan akuntabel. Untuk itu, penyumbang harus hanya menyumbang pada satu partai yang memperjuangkan kepentingannya (dengan memperhatikan batas maksimal sumbangan). Lalu, pengelolaan keuangan partai wajib ditangani oleh profesional dengan sistem pengawasan dan pemilihan fungsi yang jelas. Parpol harus pula menyampaikan pertanggungjawaban dan pelaporan penggunaan dana secara menyeluruh, baik bantuan dari APBN dan APBD maupun bantuan dari multy-entry. Juga, pemasukan dan pengeluaran dana partai diatur secara jelas dalam undang-undang untuk kompetisi yang adil antarparpol.
Mungkin usul tersebut terkesan utopis. Namun, sesungguhnya, ini bukan sesuatu yang mustahil. Keberanian bertindaklah yang ditunggu rakyat, demi terbangunnya parpol dan politikus yang berintegritas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar