|
Salah satu keunikan bangsa kita adalah birokrasi yang
“Indonesia banget”. Panjang, lambat, kurang koordinasi, dan seringkali
inefisien. Salah satu biang keladinya adalah birokrasi kita dipunggawai oleh
korps pegawai negeri sipil (PNS) yang mengalami obesitas akut.
Obesitas birokrasi tersebut antara lain tersebab oleh membengkaknya jumlah PNS yang tidak terkendali sejak 2005. Tercatat hanya pada 2004 pertumbuhan PNS negatif (-1,66). Selanjutnya sejak 2005 angka pertumbuhan terus naik, bahkan pada 2007 mencapai 9,18%, dan 2009 tembus dua digit 10,8%. Republik ini memang pernah “sungguh terlalu”. Apabila kita mencermati perhitungan Koalisi APBN untuk Kesejahteraan Rakyat (2011) terhadap RAPBN 2012, dana Rp215,7 triliun dialokasikan untuk membiayai 4,7 juta pegawai negeri dan 31 juta rakyat miskin hanya mendapat jatah Rp50 triliun.
Sementara di ranah pemerintahan lokal lebih dahsyat lagi. Banyak pemerintah daerah yang beberapa tahun lalu menghabiskan APBD-nya untuk belanja pegawai hingga di atas 60%, bahkan ada yang mencapai 83%. Sebuah angka fantastis yang menggambarkan kejumudan birokrasi dan tata kelola pemerintahan kita. Kooptasi kekuatan politik para “raja kecil” daerah pascaotonomi yang sangat besar membuat rekrutmen CPNS seakan menjadi komoditas yang sah dibisniskan, tanpa mempertimbangkan kaidah manajemen sumber daya manusia.
Di level pusat, instruksi politik dan transaksi kolusi-nepotisme juga mengangkangi perekrutan pegawai negeri. Beruntung, kita segera “belajar” terjaga dari kejumudan ini dengan menggagas moratorium penerimaan CPNS terhitung 1 September 2011 sampai 31 Desember 2012. Meskipun sempat mengecewakan jutaan pencari kerja, setidaknya ini langkah awal yang baik bagi reformasi birokrasi yang dirindukan negeri ini.
Bentukan Budaya
Seiring berakhirnya moratorium, ritual rekrutmen pegawai negeri di kementrian, departemen, lembaga, maupun daerah pada 2013 dibuka kembali. Ibarat oase bagi jutaan pencari kerja, animo untuk mengadu nasib menjadi abdi negara terlihat sangat tinggi. Menpan dan RB Azwar Abubakar menyatakan, setidaknya dua juta orang diperkirakan akan mengikuti seleksi PNS (KORAN SINDO, 25/9).
Di banyak negara maju, menjadi pegawai pemerintahan bukanlah profesi yang diminati. Namun, di Indonesia, menilik ruang batin dan kultur masyarakat kita yang cenderung masih konservatif, tampaknya sebagian masyarakat kita masih terjangkiti semacam “sindrom pegawai negeri minded”. Seseorang baru dianggap benar-benar “bekerja” apabila telah memiliki NIP.
Menjadi wajar apabila masyarakat berlomba mengejar status sebagai PNS yang “adem-ayem”, relatif santai, minim risiko, anti-PHK, namun kesejahteraannya terus meningkat, plus dapat pensiun. Menilik tingginya animo dan terbatasnya kursi PNS, persaingan sengit sudah pasti akan terjadi. Tarik ulur kepentingan tidak mungkin terhindarkan. Sebagian kalangan menempuhnya melalui perjuangan wiyata bakti, mengabdi selama bertahun-tahun dengan gaji yang minim,
sebagai tenaga honorer, harian lepas, guru bantu, atau apa pun namanya, yang terkadang bahkan tanpa kepastian status. Sementara kalangan yang memandang pegawai negeri adalah “segalanya”, bahkan menghalalkan segala cara. Termasuk menempuh jalan yang cacat moral, etika, dan hukum, guna mendapatkan NIP. Akibatnya, maraklah kasus kolusi, nepotisme, manipulasi data, percaloan, suap, hingga uang pelicin yang merupakan simbiosis mutualisma bagi “penggantang asap” SK CPNS dan para pejabat penyalahgunaan jabatan.
Realitas buram tersebut jalin berkelindan dengan mandulnya sistem manajemen SDM di banyak instansi pemerintahan. Pentingnya analisis jabatan (job analysis), yang menghasilkan uraian jabatan (job description) dan spesifikasi jabatan (job specification), sebagai dasar pelaksanaan seleksi karyawan pun dinafikan. Jadi, yang jamak kita dengar adalah guyonan parikena masyarakat tentang PNS sebagai “Brigade 804”.
Datang apel pagi jam 8 dan pulang jam 4, sementara rentang waktu di antaranya diberi label 0 (baca : nol), alias tidak mengerjakan apa-apa. Para pegawai kita masih sempat membaca koran, bermain catur, atau bahkan tertangkap sedang berbelanja ketika jam kerja dan melupakan tupoksi mereka. Tentu saja kita tidak dapat meng-overgeneralisasi bahwa semua pegawai pemerintah kita berlaku sedemikian. Namun, sebagian masyarakat telanjur telah melekatkan stigma tersebut pada korps abdi negara kita.
Agenda Kritis
Dalam UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Negara disebutkan bahwa pegawai negeri adalah setiap warga negara republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang, dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan perundangundangan yang berlaku.
Dalam konteks inilah reformasi birokrasi dan perbaikan korps PNS semestinya harus dimulai. Seleksi CPNS harus ditegakkan dengan paradigma kompetisi yang sehat guna memilih putra-puteri terbaik untuk mengabdi pada bangsa dan masyarakat, dengan kapabilitas, kompetensi, dan integritas yang memadai untuk mengampu pekerjaan sebagaimana tertuang dalam deskripsi kerjanya.
Secara makro kita harus juga harus memulai dari menata budaya masyarakat. Sejatinya, masyarakat adalah penyedia (provider) bahan baku CPNS, pelaku aktif sebagai pelamar maupun penyeleksi CPNS, dan sekaligus sebagai pengguna (user) atas jasa pegawai negeri. Alangkah naif apabila kita berharap PNS kita bersih dan cakap integritasnya apabila kita masih gemar melakukan KKN untuk menjadikan diri kita, sahabat, saudara, kerabat, atau siapa saja yang bersedia memberikan penawaran tertinggi menjadi PNS.
Good government dan clean governance juga sulit terwujud apabila kita masih saja suka memberi komisi dan upeti untuk memperlancar urusan birokrasi kita. Apabila berkenan jujur mengakui, stigma yang dilekatkan atas kultur PNS ini sesungguhnya cerminan kultur masyarakat kita. Semakin baik kultur masyarakat kita, semakin baik PNS yang akan terangkat. Sebaliknya, apabila budaya masyarakat cenderung korup, abdi negara kita juga cenderung korup.
Sejatinya, kultur PNS terlahir dari kultur masyarakat dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kultur masyarakat itu. Dari hasil rekrutmen yang bersih, transparan, dan akuntabel, ditunjang dengan sistem tata kerja kepegawaian yang mumpuni, kita baru bisa berharap terbentuknya budaya organisasi (organizational culture) korps pegawai yang bersih, sehat, dan beradab.
Dari sana pula kita bisa berharap birokrasi kita dilayani secara prima oleh abdi negara terbaik yang cakap, kompeten, menjaga integritas, dan profesionalitas. Pribadi-pribadi hebat dan terhormat yang berkenan berkompetisi secara sehat, dan fair, tanpa dosa bawaan berupa kecurangan, penyuapan, kolusi, apalagi nepotisme selama proses seleksi CPNS. Kapan? Semua jawab terpulang pada kita, Indonesia. ●
Obesitas birokrasi tersebut antara lain tersebab oleh membengkaknya jumlah PNS yang tidak terkendali sejak 2005. Tercatat hanya pada 2004 pertumbuhan PNS negatif (-1,66). Selanjutnya sejak 2005 angka pertumbuhan terus naik, bahkan pada 2007 mencapai 9,18%, dan 2009 tembus dua digit 10,8%. Republik ini memang pernah “sungguh terlalu”. Apabila kita mencermati perhitungan Koalisi APBN untuk Kesejahteraan Rakyat (2011) terhadap RAPBN 2012, dana Rp215,7 triliun dialokasikan untuk membiayai 4,7 juta pegawai negeri dan 31 juta rakyat miskin hanya mendapat jatah Rp50 triliun.
Sementara di ranah pemerintahan lokal lebih dahsyat lagi. Banyak pemerintah daerah yang beberapa tahun lalu menghabiskan APBD-nya untuk belanja pegawai hingga di atas 60%, bahkan ada yang mencapai 83%. Sebuah angka fantastis yang menggambarkan kejumudan birokrasi dan tata kelola pemerintahan kita. Kooptasi kekuatan politik para “raja kecil” daerah pascaotonomi yang sangat besar membuat rekrutmen CPNS seakan menjadi komoditas yang sah dibisniskan, tanpa mempertimbangkan kaidah manajemen sumber daya manusia.
Di level pusat, instruksi politik dan transaksi kolusi-nepotisme juga mengangkangi perekrutan pegawai negeri. Beruntung, kita segera “belajar” terjaga dari kejumudan ini dengan menggagas moratorium penerimaan CPNS terhitung 1 September 2011 sampai 31 Desember 2012. Meskipun sempat mengecewakan jutaan pencari kerja, setidaknya ini langkah awal yang baik bagi reformasi birokrasi yang dirindukan negeri ini.
Bentukan Budaya
Seiring berakhirnya moratorium, ritual rekrutmen pegawai negeri di kementrian, departemen, lembaga, maupun daerah pada 2013 dibuka kembali. Ibarat oase bagi jutaan pencari kerja, animo untuk mengadu nasib menjadi abdi negara terlihat sangat tinggi. Menpan dan RB Azwar Abubakar menyatakan, setidaknya dua juta orang diperkirakan akan mengikuti seleksi PNS (KORAN SINDO, 25/9).
Di banyak negara maju, menjadi pegawai pemerintahan bukanlah profesi yang diminati. Namun, di Indonesia, menilik ruang batin dan kultur masyarakat kita yang cenderung masih konservatif, tampaknya sebagian masyarakat kita masih terjangkiti semacam “sindrom pegawai negeri minded”. Seseorang baru dianggap benar-benar “bekerja” apabila telah memiliki NIP.
Menjadi wajar apabila masyarakat berlomba mengejar status sebagai PNS yang “adem-ayem”, relatif santai, minim risiko, anti-PHK, namun kesejahteraannya terus meningkat, plus dapat pensiun. Menilik tingginya animo dan terbatasnya kursi PNS, persaingan sengit sudah pasti akan terjadi. Tarik ulur kepentingan tidak mungkin terhindarkan. Sebagian kalangan menempuhnya melalui perjuangan wiyata bakti, mengabdi selama bertahun-tahun dengan gaji yang minim,
sebagai tenaga honorer, harian lepas, guru bantu, atau apa pun namanya, yang terkadang bahkan tanpa kepastian status. Sementara kalangan yang memandang pegawai negeri adalah “segalanya”, bahkan menghalalkan segala cara. Termasuk menempuh jalan yang cacat moral, etika, dan hukum, guna mendapatkan NIP. Akibatnya, maraklah kasus kolusi, nepotisme, manipulasi data, percaloan, suap, hingga uang pelicin yang merupakan simbiosis mutualisma bagi “penggantang asap” SK CPNS dan para pejabat penyalahgunaan jabatan.
Realitas buram tersebut jalin berkelindan dengan mandulnya sistem manajemen SDM di banyak instansi pemerintahan. Pentingnya analisis jabatan (job analysis), yang menghasilkan uraian jabatan (job description) dan spesifikasi jabatan (job specification), sebagai dasar pelaksanaan seleksi karyawan pun dinafikan. Jadi, yang jamak kita dengar adalah guyonan parikena masyarakat tentang PNS sebagai “Brigade 804”.
Datang apel pagi jam 8 dan pulang jam 4, sementara rentang waktu di antaranya diberi label 0 (baca : nol), alias tidak mengerjakan apa-apa. Para pegawai kita masih sempat membaca koran, bermain catur, atau bahkan tertangkap sedang berbelanja ketika jam kerja dan melupakan tupoksi mereka. Tentu saja kita tidak dapat meng-overgeneralisasi bahwa semua pegawai pemerintah kita berlaku sedemikian. Namun, sebagian masyarakat telanjur telah melekatkan stigma tersebut pada korps abdi negara kita.
Agenda Kritis
Dalam UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Negara disebutkan bahwa pegawai negeri adalah setiap warga negara republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang, dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan perundangundangan yang berlaku.
Dalam konteks inilah reformasi birokrasi dan perbaikan korps PNS semestinya harus dimulai. Seleksi CPNS harus ditegakkan dengan paradigma kompetisi yang sehat guna memilih putra-puteri terbaik untuk mengabdi pada bangsa dan masyarakat, dengan kapabilitas, kompetensi, dan integritas yang memadai untuk mengampu pekerjaan sebagaimana tertuang dalam deskripsi kerjanya.
Secara makro kita harus juga harus memulai dari menata budaya masyarakat. Sejatinya, masyarakat adalah penyedia (provider) bahan baku CPNS, pelaku aktif sebagai pelamar maupun penyeleksi CPNS, dan sekaligus sebagai pengguna (user) atas jasa pegawai negeri. Alangkah naif apabila kita berharap PNS kita bersih dan cakap integritasnya apabila kita masih gemar melakukan KKN untuk menjadikan diri kita, sahabat, saudara, kerabat, atau siapa saja yang bersedia memberikan penawaran tertinggi menjadi PNS.
Good government dan clean governance juga sulit terwujud apabila kita masih saja suka memberi komisi dan upeti untuk memperlancar urusan birokrasi kita. Apabila berkenan jujur mengakui, stigma yang dilekatkan atas kultur PNS ini sesungguhnya cerminan kultur masyarakat kita. Semakin baik kultur masyarakat kita, semakin baik PNS yang akan terangkat. Sebaliknya, apabila budaya masyarakat cenderung korup, abdi negara kita juga cenderung korup.
Sejatinya, kultur PNS terlahir dari kultur masyarakat dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kultur masyarakat itu. Dari hasil rekrutmen yang bersih, transparan, dan akuntabel, ditunjang dengan sistem tata kerja kepegawaian yang mumpuni, kita baru bisa berharap terbentuknya budaya organisasi (organizational culture) korps pegawai yang bersih, sehat, dan beradab.
Dari sana pula kita bisa berharap birokrasi kita dilayani secara prima oleh abdi negara terbaik yang cakap, kompeten, menjaga integritas, dan profesionalitas. Pribadi-pribadi hebat dan terhormat yang berkenan berkompetisi secara sehat, dan fair, tanpa dosa bawaan berupa kecurangan, penyuapan, kolusi, apalagi nepotisme selama proses seleksi CPNS. Kapan? Semua jawab terpulang pada kita, Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar