Selasa, 08 Oktober 2013

Independensi YES, Korupsi NO

Independensi YES, Korupsi NO
Denny Indrayana  ;  Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, 
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
KORAN SINDO, 08 Oktober 2013



Independensi dan pengawasan adalah dua hal yang tidak selalu seiring-sejalan. Membuat adonan, dari ramuan keduanya, bukanlah pekerjaan mudah. Lembaga independen yang surplus pengawasan akan mudah diintervensi, sedangkan lembaga independen yang minus pengawasan anggotanya akan mudah tergoda korupsi. 

Maka takaran antara independensi dan pengawasan harus pas, saling menguatkan, bukan melemahkan. Diskusi tentang pengawasan terhadap lembaga yang merdeka itulah, yang kembali mengemuka seiring dengan kasus hukum yang menjerat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Sabtu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) setelah bertemu dengan pimpinan lembaga negara menyatakan akan menerbitkan Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). 

Saya sendiri berpandangan, cukup alasan konstitusional “kegentingan yang memaksa” untuk rencana penerbitan tersebut. Pertaruhan nama baik lembaga yang sangat penting, dan sangat strategis, seperti Mahkamah Konstitusi adalah jawabannya. Lebih dari itu, putusan MK sendiri terkait dengan perppu mengatakan, syarat konstitusional “kegentingan yang memaksa” merupakan subjektivitas presiden untuk menentukan, yang objektivitas politiknya dinilai oleh DPR. 

Tentang perppu, selain perdebatan terpenuhinya syarat “kegentingan yang memaksa” atau tidak, ruang diskusi publik— utamanya di antara ahli tata negara—juga membicarakan apa saja sebaiknya isi perppu tersebut. Izinkan saya menyampaikan beberapa pandangan tentang hal tersebut. Paling tidak ada tiga substansi penting yang diusulkan masuk ke perppu. Pertama, memindahkan kembali sengketa pemilihan kepala daerah dari MK ke MA. 

Saya katakan memindahkan kembali, karena awalnya, sengketa pilkada pernah dilakukan di MA, lalu dipindahkan ke MK. Alasan dari usulan ini adalah, karena pilkada telah merusak institusi MK, menyebabkan praktik mafia hukum merebak di MK. Atas usulan demikian, saya berbeda pandangan dengan berbagai alasan. Kalau pemilihan kepala daerah tetap dilakukan secara langsung, maka saya berpandangan peradilan yang paling tepat untuk mengujinya tetaplah MK. 

Bagaimana pun bahasa UUD 1945 terlalu jelas, bahwa sengketa hasil pemilu adalah kewenangan MK untuk memutusnya. Padahal, pemilihan langsung kepala daerah jelasjelas merupakan “rezim pemilu”, dengan seluruh ciri-ciri kepemiluan yang melekat kuat di dalamnya. Kecuali pembahasan RUU Pilkada saat ini memutuskan bahwa pemilihan kepala daerah menjadi tidak langsung, dengan dikembalikan dipilih oleh DPRD, sebagaimana dulu juga pernah demikian, maka kewenangan sengketa hasilnya tetap lebih tepat berada di MK daripada di MA. 

Alasan lain, kalau argumentasi pemindahan kewenangan adalah untuk menghilangkan mafia peradilan, maka sama sekali tidak ada jaminan bahwa pemindahan sengketa pilkada ke MA otomatis menghilangkan praktik haram tersebut. Sangat boleh jadi, pemindahan kewenangan dari MK ke MA tersebut juga diikuti dengan pemindahan praktik haram mafia peradilan itu sendiri. 

Oleh karenanya, saya berpandangan, soal sengketa pilkada tersebut, untuk saat ini biarlah tetap berada di MK, dan tidak masuk menjadi materi perppu. Kalaupun akan dibahas, biarkan substansi itu didiskusikan secara lebih intens dan mendalam di RUU Pilkada yang saat ini juga sedang berproses pembahasannya di DPR. Usulan kedua materi perppu adalah soal rekrutmen hakim konstitusi. Pasal 19 Undang- Undang MK secara umum mengatakan, “Pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif”. 

Soal ini saya setuju diperjelas di dalam perppu yang akan terbit. Bagaimanapun belajar dari kasus yang menimpa Pak Akil Mochtar, dengan tetap menjaga prinsip dasar presumption of innocent, saya berpandangan, rekrutmen adalah salah satu kunci penting untuk menyaring hakim-hakim konstitusi yang berintegritas dan berkapasitas terbaik, dengan klasifikasi “Negarawan”. 

Syarat negarawan itu secara jelas hanya disematkan ke jabatan hakim konstitusi, dan secara tegas disebutkan eksplisit di dalam UUD 1945, tanpa ada jabatan lain yang mengemban kehormatan persyaratan yang sama. Tentu saja itu menunjukkan betapa terhormatnya seorang hakim konstitusi di mata konstitusi kita. Proses yang transparan dan partisipatif harus dilembagakan melalui suatu panel ahli yang membantu Presiden, DPR, dan MA untuk memilih calon hakim konstitusi. 

Menarik untuk menimbang memberi peran kepada Komisi Yudisial untuk menjadi penjuru utama pembentukan panel ahli tersebut, yang unsurnya terdiri atas para ahli dan tokoh masyarakat yang kredibel dan tidak diragukan integritasnya. Panel ahli inilah yang menyaring dan melakukan proses seleksi tentang kelayakan setiap kandidat hakim konstitusi, sebelum akhirnya diajukan sebagai hakim konstitusi definitif oleh Presiden, DPR, dan MA. 

Tidak kalah pentingnya, calon hakim konstitusi yang harus imparsial sebaiknya dijamin betul independensinya, dan dipastikan tidak ada potensi benturan kepentingan sekecil apa pun. Karena itu, saya setuju jika kandidat yang pernah menjadi kader partai politik sebaiknya diberikan jeda waktu sebelum diangkat menjadi hakim konstitusi. Jeda itu misalnya, ada jarak minimal lima tahun telah berhenti menjadi kader suatu partai politik, sebelum berhak diajukan menjadi hakim konstitusi. 

Syarat ini tentu saja akan mendapatkan tentangan dari para kader parpol, tetapi tetap saya usulkan, sekali lagi justru untuk menjaga betul-betul imparsialitas, independensi, kehormatan dan ciri “negarawan” yang merupakan syarat unik kon-stitusionalitas hakim konstitusi. Selanjutnya, usulan ketiga adalah terkait pengawasan terhadap hakim konstitusi. Saya setuju hal itu dipertegas di dalam perppu. Perlu diperjelas dulu, bahwa yang dimaksud pengawasan ini adalah pada perilaku hakim konstitusi. 

Karena kalau kepada kewenangan lembaga MK, pengawasan yang sifatnya saling kontrol dan saling imbang (checks and balances) sudah ada melalui pengawasan di DPR, pengawasan ketersediaan anggaran melalui APBN yang disusun Presiden dan DPR, pengawasan keuangan oleh BPK. Di sisi lain, kalau terkait persoalan pelanggaran hukum, hakim MK tetap merupakan subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawabannya secara pidana dan perdata di hadapan hukum, sebagaimana Akil Mochtar dapat diproses hukum oleh KPK, ataupun aparat penegak hukum lainnya. 

Maka pengawasan di sini tentunya adalah pengawasan atas perilaku hakim. Benar, sebagaimana ditulis di awal kolom ini, pengawasan jangan sampai mengganggu independensi hakim MK, namun bukan berarti hakim MK tidak boleh diawasi. Saya berpandangan sebenarnya, UUD 1945 memberikan fungsi pengawasan perilaku hakim itu kepada KY. Namun, kita sama-sama paham bahwa aturan dalam UU KY itu telah dibatalkan oleh putusan MK di tahun 2006. 

Tentu jika aturan yang sama masuk ke dalam materi perppu berpotensi untuk diuji dan dibatalkan kembali oleh MK. Terlepas dari potensi demikian, saya tetap berpandangan pengawasan perilaku hakim MK itu tetap penting dilembagakan, bukan dengan Majelis Kehormatan Hakim yang sifatnya ad hoc. Sekali lagi saya berpandangan, institusi negara yang diberi mandat mengawasi perilaku hakim adalah KY. 

Maka perppu, dengan rumusan yang pas, tanpa mengganggu independensi MK, layak untuk diberi mandat pengawasan tersebut. Akhirnya, perppu insya allah akan terbit, dengan maksud menyelamatkan MK dari keterpurukan yang makin dalam. Maka, DPR tentu saja perlu diberi pemahaman agar menyetujui usulan perppu itu menjadi UU. Demikian pula MK, yang menyatakan berwenang menguji konstitusionalitas perppu, ataupun UU-nya nantinya, tentu juga harus membangun satu pemahaman, 

bahwa semuanya untuk maksud baik bersama: Menyelamatkan MK, dengan menguatkan pengawasan, tanpa mengganggu independensinya. Bagaimanapun, prinsipnya adalah: Independensi Yes, Korupsi No. Demi MK yang bersih dari mafia hukum. Demi Indonesia yang lebih baik. Keep on fighting for the better Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar