|
Memandang
manuver politik Perdana Menteri Australia Tony Abbott terkait kebijakan
pelarangan imigran gelap ke Australia, para pemangku kebijakan luar negeri RI
harus bersikap dingin dan analitis untuk tidak terpancing pada isu yang ditebar
oleh pihak Canberra. Sebab meskipun isu kebijakan pelarangan imigran gelap ke
Australia merupakan isu strategis yang diangkat tim sukses Tonny Abbot untuk
menggalang simpati para pendukung partai liberal, namun itu merupakan isu
hilir.
Manuver Abbot harus dibaca dalam konteks yang lebih luas dan strategis. Dalam proyeksi konstalasi global antara 2015-2017, pergeseran konflik global antara Amerika Serikat dan sekutu-sekutu blok barat yang tergabung dalam NATO versus China dan Rusia, nampaknya akan bergeser secara geopolitik dari kawasan Timur Tengah ke Asia Pasifik.
Hal ini ditandai dengan perkembangan aktual perpolitikan internasional saat ini yang mengisyaratkan terjadinya pergeseran sentral geopolitik dari Kawasan Timur Tengah menuju ke Asia Tenggara, khususnya Laut China Selatan. Isyarat peralihan tersebut terlihat dari beberapa indikasi, di antaranya AS ingin secepatnya membangun sistem pertahanan rudal di Asia guna melawan manuver Korea Utara. AS juga menyatakan akan memperluas pengaturan militernya di Asia Tenggara dan Samudera Hindia, termasuk peningkatan kerja sama dengan Australia dan penempatan kapal-kapal perang di Singapura.
Indikasi lain, sejak 2009 lalu, Departemen Pertahanan Australia merilis buku putih pertahanan Australia bertajuk Defending Australia in the Asia-Pasific Century Force 2030. Dari fakta ini jelas, Australia sudah menyatakan kesiapannya untuk menghadapi China ketika pergeseran konflik global AS versus China akan semakin menajam dalam periode 2015-2017.
Dalam buku putih tersebut terungkap, negara kanguru tersebut siap mengalokasikan anggaran untuk modernisasi dan pengembangan angkatan bersenjatanya sebesar Rp 720 triliun atau US$ 72 miliar. Suatu jumlah yang cukup fantastis. Dan ironisnya, pada 2009 ketika buku putih tersebut dirilis, ketika itu Australia di bawah pemerintahan partai buruh yang biasanya tidak terlalu mengedepankan aspeke Hankam dalam prioritas kebijakan-kebijakan strategis maupun program-programnya.
Kesiapsiagaan Australia menghadapi pergeseran geopolitik dalam konflik global AS versus China di Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara, dengan jelas tergambar melalui buku putih tersebut.
Sebagai misal, dengan anggaran sebesar itu, Australia siap membeli sistem persenjataan baru seperti 100 pesawat tempur F-35, yang dilengkapi dengan radar canggih, senjata dan sistem rudal yang tersembunyi. Serta dilengkapi persenjataan dua bom GBU-31, dua rudal udara AIM-12 dan senjata cannon 27 mm, 12 kapal selam, 8 kapal perang, 24 helikopter, dan pengembangan pasukan profesional.
Manuver Abbot harus dibaca dalam konteks yang lebih luas dan strategis. Dalam proyeksi konstalasi global antara 2015-2017, pergeseran konflik global antara Amerika Serikat dan sekutu-sekutu blok barat yang tergabung dalam NATO versus China dan Rusia, nampaknya akan bergeser secara geopolitik dari kawasan Timur Tengah ke Asia Pasifik.
Hal ini ditandai dengan perkembangan aktual perpolitikan internasional saat ini yang mengisyaratkan terjadinya pergeseran sentral geopolitik dari Kawasan Timur Tengah menuju ke Asia Tenggara, khususnya Laut China Selatan. Isyarat peralihan tersebut terlihat dari beberapa indikasi, di antaranya AS ingin secepatnya membangun sistem pertahanan rudal di Asia guna melawan manuver Korea Utara. AS juga menyatakan akan memperluas pengaturan militernya di Asia Tenggara dan Samudera Hindia, termasuk peningkatan kerja sama dengan Australia dan penempatan kapal-kapal perang di Singapura.
Indikasi lain, sejak 2009 lalu, Departemen Pertahanan Australia merilis buku putih pertahanan Australia bertajuk Defending Australia in the Asia-Pasific Century Force 2030. Dari fakta ini jelas, Australia sudah menyatakan kesiapannya untuk menghadapi China ketika pergeseran konflik global AS versus China akan semakin menajam dalam periode 2015-2017.
Dalam buku putih tersebut terungkap, negara kanguru tersebut siap mengalokasikan anggaran untuk modernisasi dan pengembangan angkatan bersenjatanya sebesar Rp 720 triliun atau US$ 72 miliar. Suatu jumlah yang cukup fantastis. Dan ironisnya, pada 2009 ketika buku putih tersebut dirilis, ketika itu Australia di bawah pemerintahan partai buruh yang biasanya tidak terlalu mengedepankan aspeke Hankam dalam prioritas kebijakan-kebijakan strategis maupun program-programnya.
Kesiapsiagaan Australia menghadapi pergeseran geopolitik dalam konflik global AS versus China di Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara, dengan jelas tergambar melalui buku putih tersebut.
Sebagai misal, dengan anggaran sebesar itu, Australia siap membeli sistem persenjataan baru seperti 100 pesawat tempur F-35, yang dilengkapi dengan radar canggih, senjata dan sistem rudal yang tersembunyi. Serta dilengkapi persenjataan dua bom GBU-31, dua rudal udara AIM-12 dan senjata cannon 27 mm, 12 kapal selam, 8 kapal perang, 24 helikopter, dan pengembangan pasukan profesional.
Dengan dikeluarkannya buku putih pertahanan Australia mengisyaratkan
bahwa kelompok garis keras di Departemen Pertahanan dan Angkatan Bersenjata
Australia mampu memberikan tekanan yang cukup efektif baik kepada pemerintahan
partai buruh pimpinan Kevin Rudd dan Julian Gillard, maupun Perdana Menteri
Tonny Abbot dari Partai Konservatif-Liberal. Berarti, ada skema bersama yang
memandu kebijakan luar negeri maupun pertahanan Australia baik ketika
pemerintahan Australia berada di bawah kekuasaan Partai Buruh ataupun koalisi
Partai Konservatif-Liberal.
Melalui buku putih tersebut, merupakan bukti nyata bahwa sasaran strategis penguasaan Geopolitik dan Geostrategi merupakan prioritas nasional yang menyatukan Partai Buruh dan Partai Konservatif-Liberal. Buku Putih tersebut mengindikasikan bahwa Australia sedang memprioritaskan kesiagaan militernya untuk menghadapi kedigdayaan China di kawasan Asia Pasifik.
Rekomendasi
Dengan merujuk pada peta permasalahan di atas, para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri tidak terpancing pada pro kontra isu pelarangan imigran gelap yang ditebar pihak Australia. Stakeholders Kebijakan Luar Negeri RI harus melakukan kontra isu.
Misalnya dengan menggulirkan kembali isu agenda tersembunyi AS-Australia di Port Darwin. Seperti kita ketahui, Amerika membangun pangkalan militer di Port Darwin, Australia. Dengan kekuatan militer sekitar 2500 orang. Pertanyaannya adalah, apa benar memang membangun pangkalan militer memang tujuan sesungguhnya Amerika dan Australia?
Kita bisa mengangkat sebuah kontra isu: tentang efek-efek sosial yang berpotensi timbul menyusul adanya pangkalan militer AS di Darwin. Sebab bisa jadi justru itulah yang jadi agenda AS dan Australia sesungguhnya.
Efek sosial yang dimaksud, jika benar AS dan Australia bersepakat menghadirkan personel militer besar-besaran ataupun dalam jumlah terbatas, maka akan tercipta sebuah lingkungan sosial baru di daerah Port Darwin, yang saat ini praktis masih merupakan daerah yang relatif terpencil dan sedikit jumlah penduduknya. Sehingga dirasa perlu untuk menambah jumlah penduduk, untuk dapat membentuk sebuah unit masyarakat baru yang berjalan secara efisien dan terorganisasi.
Melalui buku putih tersebut, merupakan bukti nyata bahwa sasaran strategis penguasaan Geopolitik dan Geostrategi merupakan prioritas nasional yang menyatukan Partai Buruh dan Partai Konservatif-Liberal. Buku Putih tersebut mengindikasikan bahwa Australia sedang memprioritaskan kesiagaan militernya untuk menghadapi kedigdayaan China di kawasan Asia Pasifik.
Rekomendasi
Dengan merujuk pada peta permasalahan di atas, para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri tidak terpancing pada pro kontra isu pelarangan imigran gelap yang ditebar pihak Australia. Stakeholders Kebijakan Luar Negeri RI harus melakukan kontra isu.
Misalnya dengan menggulirkan kembali isu agenda tersembunyi AS-Australia di Port Darwin. Seperti kita ketahui, Amerika membangun pangkalan militer di Port Darwin, Australia. Dengan kekuatan militer sekitar 2500 orang. Pertanyaannya adalah, apa benar memang membangun pangkalan militer memang tujuan sesungguhnya Amerika dan Australia?
Kita bisa mengangkat sebuah kontra isu: tentang efek-efek sosial yang berpotensi timbul menyusul adanya pangkalan militer AS di Darwin. Sebab bisa jadi justru itulah yang jadi agenda AS dan Australia sesungguhnya.
Efek sosial yang dimaksud, jika benar AS dan Australia bersepakat menghadirkan personel militer besar-besaran ataupun dalam jumlah terbatas, maka akan tercipta sebuah lingkungan sosial baru di daerah Port Darwin, yang saat ini praktis masih merupakan daerah yang relatif terpencil dan sedikit jumlah penduduknya. Sehingga dirasa perlu untuk menambah jumlah penduduk, untuk dapat membentuk sebuah unit masyarakat baru yang berjalan secara efisien dan terorganisasi.
Darimana manpower tersebut akan diambil? Besar kemungkinan adalah dari
Indonesia. Yang berbahaya bagi Indonesia dari segi keamanan nasional jika
skenario ini benar-benar ada di benak para perancang kebijakan pertahanan dan
keamanan nasional AS dan Australia, maka daerah Port Darwin akan mempunyai daya
hisap yang sangat besar terhadap penduduk Indonesia. Utamanya dari sektor
tenaga kerjanya.
Maka kontra isu yang bisa kita angkat: Ini merupakan aksi subversif sosial-ekonomi yang dilakukan Washington dan Canberra, untuk menjadikan daerah Northern Territory Australia itu sebagai tempat pemusatan dan pelaksanaan pembangunan besar-besaran. Sementara Indonesia akan kehilangan tenaga-tenaga kerja produktifnya dalam jangka pendek dan menengah.
Seraya mengingatkan Australia: Fakta bahwa di daerah Northern Territory Australia, bermukim sekitar 30 persen warga asli Aborigin, bisa bisa akan memicu konflik horizontal dengan warga negara Indonesia yang jadi tenaga kerja pendatang. Sehingga masuk dalam skenario politik adu domba AS dan Australia. Sehingga sama-sama dilemahkan sebagai potensi kekuatan baru di masa depan.
Termasuk potensi menuju persekutuan baru Indonesia dengan ras Melanesia atau Melanesian Brotherhood yang sesungguhnya menguntungkan buat Indonesia dan ancaman bagi Amerika, Inggris dan Australia di kawasan Asia Pasifik. ●
Maka kontra isu yang bisa kita angkat: Ini merupakan aksi subversif sosial-ekonomi yang dilakukan Washington dan Canberra, untuk menjadikan daerah Northern Territory Australia itu sebagai tempat pemusatan dan pelaksanaan pembangunan besar-besaran. Sementara Indonesia akan kehilangan tenaga-tenaga kerja produktifnya dalam jangka pendek dan menengah.
Seraya mengingatkan Australia: Fakta bahwa di daerah Northern Territory Australia, bermukim sekitar 30 persen warga asli Aborigin, bisa bisa akan memicu konflik horizontal dengan warga negara Indonesia yang jadi tenaga kerja pendatang. Sehingga masuk dalam skenario politik adu domba AS dan Australia. Sehingga sama-sama dilemahkan sebagai potensi kekuatan baru di masa depan.
Termasuk potensi menuju persekutuan baru Indonesia dengan ras Melanesia atau Melanesian Brotherhood yang sesungguhnya menguntungkan buat Indonesia dan ancaman bagi Amerika, Inggris dan Australia di kawasan Asia Pasifik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar