|
Dalam hidup bernegara, kita perlu sering bertanya, benarkah
kebijakan pemerintah (negara) senyatanya memang membebaskan atau
menyejahterakan orang miskin, ataukah justru sebaliknya memiskinkan orang
miskin? Atau, benarkah negara ini benar-benar sudah mengamalkan salah satu sila
Pancasila bertajuk 'kemanusiaan yang adil dan beradab'? Tidakkah sila kedua
ideologi negara ini hanya dijadikan aksesoris kultural dan structural kehidupan
kenegaraan?
Ada pepatah berbunyi sesuatu yang buruk terjadi di
masyarakat disebabkan oleh kondisi buruk yang mempengaruhinya (evil causis evil vallacy). Penyakit
sosial tidak akan sampai marak atau tumbuh subur di masyarakat kalau tidak
dipengaruhi oleh kondisi buruk. Berbagai bentuk kejahatan tidak akan sampai
merebak di mana-mana kalau di masyarakat tidak tersedia atau 'disediakan' akar
kriminogen yang menyebabkannya. Mereka tak akan jadi pemarak kriminalisasi
'kemanusiaan yang adil dan beradab' kalau mereka tak sering ditumbalkan oleh
kaum pintar yang hanya suka jadi penghafal sila kedua.
Sikap dan perilaku patologis tidaklah berdiri sendiri,
melainkan ditentukan oleh aspek lainnya. Sikap dan perilaku demikian bukan
disebabkan faktor hereditas, tetapi oleh lingkungan atau keadaan buruk yang
membuatnya atau mendidiknya agar menjatuhkan pilihan-pilihan yang kontra
produktif, irasional, disobjektivitas, dan tidak menghormati harkat manusia
lainnya.
Komunitas akar rumput yang kehilangan pondasi ekonominya
itu masuk dalam babakan baru kehidupan yang menyakitkan atau menafikan
keberdayaannya, yakni kondisi kehidupan serba marjinal, kehilangan pengharapan
kelayakan kesejahteraan, dan terpuruk dalam kemiskinan.
Kondisi itu jelas paradoksal dengan doktrin keadaban dan
pemanusiaan manusia yang digariskan Pancasila. Atmosfer rentan, terpinggirkan,
dan dikalahkan ini membuatnya dan memaksanya melakukan aktivitas nekad,
berbahaya, dan krimialistik. Masalahnya, siapakah yang sejatinya kehilangan
keadaban dan prinsip pemartabatan manusia?
Ketika aparat yang berwajib dan pemerintah berkali-kali
mengajak kita berjihad melawan preman konvensional, kita mesti dihadapkan pada
kesulitan melawan, apalagi mengalahkannya. Pasalnya, problem kemiskinan dan
pengangguran, semakin komplikatif menghegemoni masyarakat negeri ini.
Pilar-pilar negara tidak akan mampu mencegahnya dari
kemungkinan ketersesatan opsi yang dijatuhkannya (orang miskin) ke dalam
wilayah abu-abu atau kriminalitas baru, bilamana mereka terbiarkan terpuruk
dalam ketidakberdayaan sistemik dan berlanjut ini. Realitas ini mengindikasikan
kegagalan negara dalam membumikan kesaktian Pancasila yang berorientasi
membebaskan. Ketidakberdayaan itu dapat dibaca sebagai kondisi buruk yang dapat
menggiring seseorang terjerumus dalam perbuatan kriminalitas. Seseorang bisa
terbentuk dirinya menjadi preman akibat lingkaran sosial laten bercorak defek,
memiskinkan, tidak berkeadilan, dan tidak berkeadaban. Kata Sosiolog A Halim
Mahfudz (2007), orang miskin jadi preman atau pembunuh berdarah dingin bukan
karena kemauannya, tetapi karena 'digiring' oleh kondisi buruk yang bernama
disparitas, ketidak-adilan kebijakan, dan arogansi pemerintah yang lebih
memanjakan kaum kaya.
Langkah khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang dikenal sufis
ini, barangkali perlu dicontoh oleh pemerintah Indonesia. Umar memang tidak
kenal Pancasila, namun ia menunjukkan kepemimpinan Pancasilais. Ia misalnya
selalu melarang anak buahnya hendak memboroskan anggaran belanja negara untuk
kepentingan pembangunan benteng dengan kalimat, "Apalah gunanya membangun
benteng kota, kalau kebutuhan masyarakat belum dipenuhi. Bentengilah kehidupan
masyarakat dengan keadilan (pemenuhan hak-haknya)."
Belajar dari peringatan tersebut, menggencarkan pembangunan
fisik perkotaan atau memboroskan anggaran demi mendisain gedung-gedung
pemerintahan supaya wajahnya menjadi lebih menarik dalam pandangan mata,
apalagi sekedar untuk dijadikan investasi kepentingan politik atau menaikkan
gengsi elite pejabatnya, jelaslah bukan sebagai model pembangunan dan perilaku
elite yang seirama atau sebahasa dengan kepentingan riil masyarakat yang sedang
hidup susah dan bersahabat dengan beragam ketidakberdayaan.
Masyarakat tidak akan sering, terus menerus, atau secara
rutin (sistemik dan terstruktur) menjadi korban dan tumbal hingga menjadi sosok
dan komunitas preman, kalau saja pemerintah menunjukkan kemauan dan
kemampuannya dalam melakukan aksi-aksi cerdas atau menggalakkan pola manajemen
bernegara berbasis sufisme sosial terhadap derita empirik masyarakat.
Selama pemerintah belum juga memperkaya pola praksis
sufisme (penyucian diri) kenegaraan atau masih meliberalismekan kedurjanaan
dalam pengambilan kebijakan, niscaya sulit problem riil masyarakat berhasil
diatasinya, termasuk mengakomodsi macam derita orang miskin. Memberi solusi
tepat sararan kepada masyarakat yang terhimpit masalah penderitaan dan
ketidakberdayaan haruslah diawali dengan pembacaan dan pembedahan objek secara
adil dan berkeadaban.
Kalau negara (pemerintah) memang punya political will mempancasilaisasi secara empirik ke ranah
masyarakat, negara tidak akan kesulitan mencari dan menemukan orang miskin.
Sayangnya, selama ini masyarakat miskin lebih sering berada dalam atmosfer
'horor' dan penindasan berlapis yang diproduksi sang rezim yang kehilangan
nilai-nilai kemanusiaan, keadaban, dan keadilan yang sudah digariskan
Pancasila.
Masyarakat miskin itu telah jadi korban kebijakan dan
elemen rezim yang sudah lama mematikan ruh Pancasila. Mereka tidak memerintah
dengan jiwa populis dan mental akuntabel, dan sebaliknya bangga mengidap
penyakit malversasi, yang mengakibatkan masyarakat miskin menjalani kehidupan
keseharian dalam ketidakberdayaan dan keterpurukan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar