Selasa, 08 Oktober 2013

Orang Tua, Guru dan Superego

Orang Tua, Guru dan Superego
Mohamad Sobary  ;  Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 07 Oktober 2013


Tiap orang punya orang tua—atau pernah punya orang tua—yang membimbing kita selangkah demi selangkah, untuk menempuh hidup yang keras dan penuh tantangan ini. 

Peran ayah sangat jelas. Agar kita ”survive” di dalam suasana kehidupan yang keras, dan serbapenuh tantangan seperti itu, ayah mengajarkan cara-cara hidup yang sering tak mengenal kompromi tadi dengan cara yang cerdik. Ayah yang mengajarkan agar kalau kita dipukul oleh anak yang lebih besar,kita harus membalasnya. Ibaratnya, kalau kesabaran sudah makin terbatas, kita disuruh melawan. 

Memang ada kalanya kita diajar bersabar, dan mengalah. Ada rumus etis dalam pergaulan. Kalau kita sudah mencoba ”ngalah”, atau mengalah, tetapi orang masih mengganggu kita, maka kita diminta ”ngalih”, ganti tempat, atau menjauhinya sementara. Dan jika sudah begitu kita masih terus diganggunya, maka kita boleh ”ngamuk”. Kata ”ngamuk” ini maksudnya mengamuk. Tapi pengertiannya bukan melakukan kekerasan dengan sikap orang kalap, yang sudah kehilangan kejernihan hati, jiwa dan pikiran. 

Mengamuk di situ hanya untuk memperlihatkan bahwa bila keadaan sangat memaksa, kita harus bertindak agar kita tak menjadi bulan-bulanan terus menerus. Siapa mau diperlakukan begitu? Kekerasan harus dihindari. Ada sikap ksatria utama, yang memiliki segenap keluhuran dan budi pekerti mulia, yang patut—mungkin wajib— menjadi suri teladan kita. Mungkin bahkan menjadi sejenis ”role-model” yang bisa membuat kita memiliki sikap hidup yang jelas, dan ”self confident” yang memadai. 

Apa keluhuran seorang ksatria tadi?” Pertama, jangan bertingkah sok jagoan. Kedua, jangan sengaja menantang orang, atau mencari perkara. Ketiga, jangan layani tantangan yang bakal membawa kerugian bagi pihak manapun. Keempat, melindungi mereka yang lemah. Ini pendidikan karakter, dan strategi membentuk kepribadian dan watak mulia. ”Character building” dimulai dari rumah, dengan bimbingan ayah, untuk hal-hal yang sudah disebutkan di atas. 

Di sini ayah menjadi guru, yang mengajar sangat banyak hal. Mungkin dengan disiplin ketat, mungkin pula di sana sini ada kompromi. Tapi jelas,ini semua bukan main-main. Namun demikian, jangan lupa, ayah pun sering bermain-main dengan kita. Ayah juga mengajari sikap humor. Ketawa-ketawa yang sehat, yang membuat kita merasa bahwa hidup ini menyenangkan. 

Sering kita diajari untuk menertawakan diri sendiri, dan ini sehat secara kejiwaan. Kesehatan ini yang membuat kita merasa bahagia. Ibu mewakili kelembutan, dan membukakan mata— tentu saja juga mata hati kita— untuk melihat hidup dari segisegi yang santun, ramah dan serba menawarkan senyum. Seolah ibu mengatakan: senyumlah, maka seluruh dunia akan ikut tersenyum. 

Ibu berbicara mengenai ”dunia dalam”, yang digerakkannya dengan kelembutan, untuk membentuk dunia di luar diri kita menjadi tempat yang damai, dan aman. Kelembutan energi dari dalam diri ibu membuat kita ikut menjaga kedamaian di lingkungan kecil kita, tapi jika mungkin, kita juga memberi kontribusi untuk membikin damai di dalam lingkungan yang lebih luas, dan menyenangkan lebih banyak orang. Energi dari dalam jiwa ibu juga menimbulkan rasa aman bagi orang lain. 

Kita menjaga agar milik orang lain tidak hilang. Kita memastikan, dengan tindakan dan segenap tanggung jawab, bahwa di sekitar kita rasa aman terpelihara. Ibu sumber inspirasi, sumber etika, tapi beliau sendiri juga pelaksana. Apa yang dikatakan ibu dilakukan, dan apa yang beliau lakukan, yang mulia dan agung itu, disampaikan pada kita. Dengan kata lain, kita ini operator dari suatu ”mesin rohani”, yang mewujud di dalam diri ibu kita. 

Tentu saja harus disebut ayah, kakek, nenek, dan segenap pihak yang ada di dalam lingkungan rumah tangga kita. Guru? Beliau meneguhkan semua itu. Apa yang diajarkan di rumah, diajarkan lagi secara lebih resmi di sekolah. Mungkin guru memiliki cara tersendiri, metode tersendiri, dan berbagai tambahan pelajaran. Guru juga ”pusat”rohani,yang membuatnya layak menjadi panutan. 

Ungkapan Jawa: guru, artinya ”digugu”,dipercayai, dijadikan andalan, dan tak pernah diragukan kebenaran ajarannya. ”Ditiru” maksudnya diteladani, dan semua jenis perilakunya kita jadikan teladan. Para pejabat kita, orang-orang yang sudah dewasa, bahkan beberapa sudah tua, juga mempunyai guru. Mungkin namanya ”guru rohani”. 

Mungkin ”dukun”, mungkin ahli supranatural, dan ahli-ahli lain mengenai kehidupan yang serbamisterius, untuk diungkapkan sebagai bagian dari hidup keseharian kita. Guru rohani bisa kiai, bisa pastur, bisa pendeta, bisa resi, bisa biku, atau biksu, pedande, dan banyak istilah lain. Mereka membimbing murid-murid masing-masing ke jalan yang benar, menuju etika lokal, wisdom lokal, atau segala yang universal, untuk diamalkan. 

Guru membuat ajaran, yang ideal, abstrak dan berada di dunia yang tak tampak, menjadi bumbu amalan. Guru mengubah kata, doa, dan mantra, menjadi wujud kehidupan yang serba enak, aman, nyaman, di mana setiap orang saling menjaga, dan saling melindungi, dari kemungkinan buruk yang dibuat orang lain. 

Guru bahkan melawan agar semua kemungkinan buruk tidak terwujud di dalam hidup kita. Tiap orang punya orang tua. Tiap orang punya ayah, punya ibu, punya guru di sekolah, dan juga punya guru lain: guru rohani, yang bukan di sekolah-sekolah resmi. Ayah, ibu, guru di sekolah dan semua guru rohani itu cermin superego di dalam diri kita. Apakah para koruptor tidak punya ayah, tidak punya ibu, dan guru, atau guru rohani? 

Apakah koruptor tidak memiliki superego di dalam hidup keseharian mereka? Apakah para koruptor hanya hidup dengan ego, lalu menjadi egois, dan serakah? Apakah para koruptor tak pernah diajar mengenai cara menjaga rasa aman bagi orang lain? Apakah ajaran agar kita tak merugikan orang lain, belum datang pada mereka? Apakah ibu seorang koruptor tidak menegur anaknya yang korup, agar mereka tidak korup? 

Bagaimana sikap ksatria yang diajarkan sang ayah? Guru jelas akan sangat marah, dan menjadi sangat kecewa, melihat muridnya menyimpang. Apakah guru rohani diam seribu bahasa melihat muridnya, seorang pejabat, atau anggota DPR, atau anggota partai, korup, dan menggelapkan uang negara, yang berarti uang rakyat? Mengapa guru rohani, atau para rohaniwan bersedia menjadi pembimbing para pejabat korup? 

Apakah guru rohani dikasih uang banyak, dan mereka gembira? Mengapa guru rohani mau makan hasil korupsi yang dipersembahkan muridnya yang menjadi pejabat, menjadi anggota DPR atau menjadi orang partai? Mengapa dunia rohani merestui penyimpangan dan kebejatan moral yang dilakukan para murid,yang menjadi pejabat dan berkedudukan penting, tapi membuat kerusakan terhadap semua perkara penting? Apakah guru tidak punya guru? 

Apakah guru juga tidak punya superego? Bagi koruptor yang begitu banyak di negeri kita ini, apakah orang tua, guru dan superego, tidak penting? Di mana orang tua? Apa yang dilakukan para guru? Dan apa gunanya superego, bagi bangsa yang bangkrut karena harta kekayaan negara, dijarah rayah oleh pejabat negara sendiri?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar