|
APEC (Asia Pacific
Economic Cooperation) Ke-25 akhirnya dilangsungkan di Bali, 1-8 Oktober
2013, dengan tema menantang Towards
Resilience and Growth: Reshaping Priorities for Global Economy. Sebanyak 21
pemimpin negara sudah hadir disertai sekitar 1.200 delegasi bisnis. Sayangnya,
Barack Obama tidak hadir dalam konferensi tingkat tinggi (summit) tersebut
karena negaranya sedang mengalami shutdown lantaran perselisihan anggaran.
Uniknya, meski berkali-kali forum itu diselenggarakan dan delegasi Indonesia diberitakan aktif hadir, sebetulnya Indonesia tidak terlihat maksimal dalam memperoleh benefit dari sisi ekonomi. Sering diberitakan, Indonesia bakal mendapat kredit karbon miliaran dolar, namun faktanya berbeda 360 derajat.
APEC seharusnya segera kembali ke khitahnya dengan berfokus menyuarakan keseimbangan ekonomi sebagaimana tujuan pembentukan forum itu pada 1989. Jika para ekonom dunia sekarang menggeser paradigmanya ke ranah ekonomi lingkungan, sebetulnya itu hanya basa-basi ekonomi belaka. Sebab, telah terbentuk opini bahwa kepentingan ekonomi sering mengabaikan lingkungan. Karena itu, para pakar ekonom kini ''mendekatkan'' knowledge-nya terhadap lingkungan.
Namun, jadinya malah salah kaprah. Para ekonom terlalu berdiskusi lingkungan, padahal para ahli lingkungan mulai berdiskusi masalah ekonomi.
Selama ini yang didengung-dengungkan dalam forum APEC adalah nilai akumulasi potensi ekonomi dari negara-negara partisipan. Kapitalisasi ekonomi tersebut kemudian diadu head-to-head dengan negara kompetitor. Hipotesis kemudian ditarik. Jika seluruh negara yang berpartisipasi dalam APEC melakukan aksi ekonomi bersama, transmisinya akan mengganggu kestabilan ekonomi global. Namun, apakah pernah terjadi kelompok-kelompok ekonomi melakukan gerakan ekonomi? Tampaknya belum pernah terjadi. Kelompok zona Eropa, EPA, ASEAN, dan G-7 bahkan belum pernah mengujinya sekalipun.
Hal-hal seperti itu merupakan kosmetika yang nilai benefitnya tidak substansial. Delegasi negara partisipan pun tidak merasa bangga hadir dalam forum dengan kapitalisasi ekonomi yang konon mencapai 55 persen GDP dunia. Tidak ada manfaatnya bangga dengan label, namun faktanya tidak ada benefit dari sisi ekonomi yang diperoleh.
Malahan, negara host ''defisit'' karena menanggung biaya forum itu. Sebagai ilustrasi, nilai penyelenggaraan forum APEC Ke-19 Australia mencapai AUD 330 juta dan ditanggung pemerintah Australia.
Forum APEC Ke-24 di Vladivostok, Rusia, kabarnya menyedot biaya USD 22 juta dari total belanja tidak langsung sampai USD 23 miliar yang disiapkan pemerintah Putin. Ada 50 tempat dan fasilitas yang dibangun. Yang spektakuler dan mahal adalah pembangunan jembatan kabel 3.100 meter tanpa penyangga yang memiliki empat lajur kendaraan. Jembatan di Pulau Russky tempat forum Vladivostok digelar itu tercatat dalam Guinness Book of Record sebagai jembatan terpanjang di dunia tanpa penyangga.
Di forum APEC Bali 2013, biaya yang dikeluarkan pemerintah Indonesia sebagai negara host konon mendekati Rp 1 triliun, jauh lebih besar daripada biaya di Vladivostok tahun lalu. Itu belum termasuk biaya Rp 2,4 triliun pembuatan jalan tol Bali Mandara yang baru diresmikan pada 23 September 2013. Belum juga termasuk biaya perbaikan fasilitas di Nusa Dua dan Bandara Internasional Ngurah Rai yang dikebut.
Di tengah nilai tukar rupiah yang merosot dengan defisit anggaran yang harus ditutup dengan utang, jumlah uang tersebut tentu sangat signifikan artinya bagi rakyat Indonesia dewasa ini. Meskipun, fasilitas yang disediakan menghadapi APEC tersebut tetap bermanfaat setelah APEC berlalu.
Prioritas bagi delegasi Indonesia sebetulnya adalah kepentingan ekonomi. Sebagai negara yang memiliki transaksi impor lebih tinggi USD 0,5 miliar-USD 1 miliar per bulan dari nilai ekspornya, delegasi Indonesia seharusnya berfokus memperjuangkan kelonggaran isu-isu perdagangan internasional untuk kepentingan Indonesia. Negeri ini masih mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan. Karena itu, perjuangan atau diplomasi Indonesia memiliki lahan ternak di Australia sebagai contoh harus diagendakan. Pandangan para pihak harus dibuat gamblang dalam forum ini.
Beredar kabar bahwa pemerintahan Tony Abbott memutuskan untuk menolak rencana pemerintah Indonesia membeli lahan dan peternakan sapi di Negeri Kanguru itu. Senator Barnaby Joyce asal Partai Nasional sudah menyatakan tidak setuju tentang rencana pembelian ternak dan lahannya seluas satu juta hektar tersebut. Itu tentu saja berita yang tidak menggembirakan bagi Indonesia.
Pesan kepada Amerika Serikat yang bakal hadir juga tidak kalah penting karena kenyataannya kita masih banyak mengandalkan impor kedelai. Diperlukan impor kedelai dari AS hingga 1.847.900 ton, Malaysia (120 ribu ton), Argentina (73 ribu ton), Uruguay (16,9 ribu ton), dan Brasil (13,6 ribu ton) setiap tahun.
Ada tujuh bahan pangan yang masih diimpor Indonesia setiap tahun dan rutin. Bahan utama beras harus impor minimal nilainya USD 503,9 juta; jagung (USD 186,4 juta); kedelai (USD 424,2 juta); kentang (USD 14,9 juta); tepung terigu (USD 84,8 juta); gandum (USD 767 juta); singkong (USD 1,6 juta); sampai garam dengan nilai impor USD 64,4 juta.
Delegasi Indonesia diharapkan tidak malu-malu membicarakan hal-hal kebutuhan dasar dan bagaimana keamanannya bagi Indonesia. Bangsa yang besar tidak harus berdiskusi canggih kredit karbon yang rumit, namun harus berbesar diri mengakui kekurangannya, meski dalam forum internasional. ●
Uniknya, meski berkali-kali forum itu diselenggarakan dan delegasi Indonesia diberitakan aktif hadir, sebetulnya Indonesia tidak terlihat maksimal dalam memperoleh benefit dari sisi ekonomi. Sering diberitakan, Indonesia bakal mendapat kredit karbon miliaran dolar, namun faktanya berbeda 360 derajat.
APEC seharusnya segera kembali ke khitahnya dengan berfokus menyuarakan keseimbangan ekonomi sebagaimana tujuan pembentukan forum itu pada 1989. Jika para ekonom dunia sekarang menggeser paradigmanya ke ranah ekonomi lingkungan, sebetulnya itu hanya basa-basi ekonomi belaka. Sebab, telah terbentuk opini bahwa kepentingan ekonomi sering mengabaikan lingkungan. Karena itu, para pakar ekonom kini ''mendekatkan'' knowledge-nya terhadap lingkungan.
Namun, jadinya malah salah kaprah. Para ekonom terlalu berdiskusi lingkungan, padahal para ahli lingkungan mulai berdiskusi masalah ekonomi.
Selama ini yang didengung-dengungkan dalam forum APEC adalah nilai akumulasi potensi ekonomi dari negara-negara partisipan. Kapitalisasi ekonomi tersebut kemudian diadu head-to-head dengan negara kompetitor. Hipotesis kemudian ditarik. Jika seluruh negara yang berpartisipasi dalam APEC melakukan aksi ekonomi bersama, transmisinya akan mengganggu kestabilan ekonomi global. Namun, apakah pernah terjadi kelompok-kelompok ekonomi melakukan gerakan ekonomi? Tampaknya belum pernah terjadi. Kelompok zona Eropa, EPA, ASEAN, dan G-7 bahkan belum pernah mengujinya sekalipun.
Hal-hal seperti itu merupakan kosmetika yang nilai benefitnya tidak substansial. Delegasi negara partisipan pun tidak merasa bangga hadir dalam forum dengan kapitalisasi ekonomi yang konon mencapai 55 persen GDP dunia. Tidak ada manfaatnya bangga dengan label, namun faktanya tidak ada benefit dari sisi ekonomi yang diperoleh.
Malahan, negara host ''defisit'' karena menanggung biaya forum itu. Sebagai ilustrasi, nilai penyelenggaraan forum APEC Ke-19 Australia mencapai AUD 330 juta dan ditanggung pemerintah Australia.
Forum APEC Ke-24 di Vladivostok, Rusia, kabarnya menyedot biaya USD 22 juta dari total belanja tidak langsung sampai USD 23 miliar yang disiapkan pemerintah Putin. Ada 50 tempat dan fasilitas yang dibangun. Yang spektakuler dan mahal adalah pembangunan jembatan kabel 3.100 meter tanpa penyangga yang memiliki empat lajur kendaraan. Jembatan di Pulau Russky tempat forum Vladivostok digelar itu tercatat dalam Guinness Book of Record sebagai jembatan terpanjang di dunia tanpa penyangga.
Di forum APEC Bali 2013, biaya yang dikeluarkan pemerintah Indonesia sebagai negara host konon mendekati Rp 1 triliun, jauh lebih besar daripada biaya di Vladivostok tahun lalu. Itu belum termasuk biaya Rp 2,4 triliun pembuatan jalan tol Bali Mandara yang baru diresmikan pada 23 September 2013. Belum juga termasuk biaya perbaikan fasilitas di Nusa Dua dan Bandara Internasional Ngurah Rai yang dikebut.
Di tengah nilai tukar rupiah yang merosot dengan defisit anggaran yang harus ditutup dengan utang, jumlah uang tersebut tentu sangat signifikan artinya bagi rakyat Indonesia dewasa ini. Meskipun, fasilitas yang disediakan menghadapi APEC tersebut tetap bermanfaat setelah APEC berlalu.
Prioritas bagi delegasi Indonesia sebetulnya adalah kepentingan ekonomi. Sebagai negara yang memiliki transaksi impor lebih tinggi USD 0,5 miliar-USD 1 miliar per bulan dari nilai ekspornya, delegasi Indonesia seharusnya berfokus memperjuangkan kelonggaran isu-isu perdagangan internasional untuk kepentingan Indonesia. Negeri ini masih mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan. Karena itu, perjuangan atau diplomasi Indonesia memiliki lahan ternak di Australia sebagai contoh harus diagendakan. Pandangan para pihak harus dibuat gamblang dalam forum ini.
Beredar kabar bahwa pemerintahan Tony Abbott memutuskan untuk menolak rencana pemerintah Indonesia membeli lahan dan peternakan sapi di Negeri Kanguru itu. Senator Barnaby Joyce asal Partai Nasional sudah menyatakan tidak setuju tentang rencana pembelian ternak dan lahannya seluas satu juta hektar tersebut. Itu tentu saja berita yang tidak menggembirakan bagi Indonesia.
Pesan kepada Amerika Serikat yang bakal hadir juga tidak kalah penting karena kenyataannya kita masih banyak mengandalkan impor kedelai. Diperlukan impor kedelai dari AS hingga 1.847.900 ton, Malaysia (120 ribu ton), Argentina (73 ribu ton), Uruguay (16,9 ribu ton), dan Brasil (13,6 ribu ton) setiap tahun.
Ada tujuh bahan pangan yang masih diimpor Indonesia setiap tahun dan rutin. Bahan utama beras harus impor minimal nilainya USD 503,9 juta; jagung (USD 186,4 juta); kedelai (USD 424,2 juta); kentang (USD 14,9 juta); tepung terigu (USD 84,8 juta); gandum (USD 767 juta); singkong (USD 1,6 juta); sampai garam dengan nilai impor USD 64,4 juta.
Delegasi Indonesia diharapkan tidak malu-malu membicarakan hal-hal kebutuhan dasar dan bagaimana keamanannya bagi Indonesia. Bangsa yang besar tidak harus berdiskusi canggih kredit karbon yang rumit, namun harus berbesar diri mengakui kekurangannya, meski dalam forum internasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar