Minggu, 06 Oktober 2013

Deviasi Penegakan Hukum dalam Sistem Demokrasi Lokal

Deviasi Penegakan Hukum
dalam Sistem Demokrasi Lokal
Saharuddin Daming  ;  Doktor Hukum dan Dosen FH UIKA Bogor
TEMPO.CO, 05 Oktober 2013


Demokrasi sejatinya adalah tatanan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat berbasis kerakyatan yang terselenggara secara tertib, damai, dan beradab. Namun siapa sangka jika konsep demokrasi seluhur ini justru menimbulkan mudarat dan petaka multidimensional. Betapa tidak, karena 304 dari 559 kepala daerah yang terpilih melalui kenduri demokrasi lokal pernah menjadi penghuni hotel prodeo dengan menyandang pakaian yang bertulisan "tahanan KPK". 

Namun hal yang sungguh sangat menggemparkan dunia laksana sambaran petir di siang bolong adalah kabar tentang keberhasilan tim penyidik KPK memergoki AM (Ketua MK) menerima suap hampir Rp 3 miliar dari HB (Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah), pada Rabu malam, 2 Oktober 2013. Suap tersebut dimaksudkan untuk mempermulus kemenangan HB dalam sengketa pemilukada di MK. Chairun Nisa (salah seorang anggota DPR dari Fraksi Golkar) bertindak sebagai fasilitator sehingga ikut diciduk bersama dua orang lainnya dalam operasi tangkap tangan KPK.

Kontrasnya karena dalam pidato pelantikan sebagai Ketua MK, AM bersumpah bahwa intervensi dengan motif apa pun akan dilawan, sehingga MK dijamin bersih dari segala intrik. Independensi dan integritas adalah harga mati. Kini lontaran pernyataan AM tersebut benar-benar telah mati bersama matinya karier sang tokoh, akibat termakan sumpah serapah yang mengoyak kepercayaan publik terhadap lembaga penegakan hukum maupun politik praktis di kekinian.

Peristiwa ini jelas merupakan sinyal yang sangat kuat untuk kita nyatakan sebagai keadaan darurat bagi penegakan hukum atas pelaksanaan demokrasi lokal. Betapa tidak, karena MK saja, yang menyandang predikat sebagai lembaga paling kredibel dan berintegritas tinggi selama ini, akhirnya bobol dan harus tersungkur jatuh di lembah kehinaan akibat tak kuasa menahan terpaan gelombang tsunami korupsi. Maka, hampir dapat dipastikan bahwa permainan kotor serupa itu juga kental menghiasi ruang layanan lembaga penegak hukum lainnya, seperti Polri, kejaksaan, hingga jajaran pengadilan pada semua tingkatan.

Dalam dimensi peruntungan, terkuaknya skandal AM melalui operasi tangkap tangan KPK tersebut sebenarnya bisa dibilang terkena apes. Sebab, hal seperti itu marak sekali terjadi secara laten maupun manifes di hampir semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi, praktek suap yang melibatkan AM tidak lain hanyalah miniatur budaya korupsi yang telah menggurita laksana gletser yang menggelinding dari puncak gunung es, di mana kasus megakorupsi lainnya berlangsung aman tanpa ada yang mengusik karena tertutup salju kebohongan.

Bukankah sudah terlalu banyak pencari keadilan memberikan testimoni sebagai korban pemerasan maupun yang memang dari semula berniat untuk memberi suap kepada oknum pemegang otoritas demi melancarkan kepentingan mereka? Namun "konspirasi kemakmuran" tersebut lolos dari indra penciuman KPK lantaran keterbatasan daya jangkau pemantauan maupun karena kelihaian sang komprador membungkus "kudeta hati" mereka, atau karena oknum penegak hukum memang sengaja mendiamkannya lantaran intervensi kekuatan K3 (kekuasaan, keuangan, dan keluarga). 

Ironisnya, megakorupsi yang semula bertengger di pundi-pundi pejabat pusat kini telah menjalar bahkan menjadi kronis dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hampir semua pemilukada yang digelar pasca-reformasi penuh dengan intrik politik uang. Tak hanya itu, demi merebut takhta kemenangan, para kontestan cenderung menggunakan segala cara, tidak terkecuali mobilisasi dan intimidasi hingga melahirkan konfrontasi secara horizontal maupun vertikal. Hal ini terpotret dari tragedi kerusuhan massal di Palopo, Sulawesi Selatan, dan Bojonegoro, Jawa Timur, maupun di beberapa kabutapen/kota lainnya yang berujung bentrokan pasca-pemilukada. 

Maraknya kegaduhan politik lokal pasca-reformasi seperti ini mencuatkan kembali diskursus tentang demokrasi langsung yang kita praktekkan pasca-reformasi. Sebagian menilai sistem demokrasi langsung cenderung membawa mudarat daripada manfaat. Masyarakat kita dianggap belum dewasa hidup dalam sistem demokrasi langsung. Selain ditandai dengan maraknya konflik terbuka hingga penggugatan ke MK, pesta demokrasi langsung juga menelan biaya yang sangat besar. 

Tidak salah jika para penggagas sistem demokrasi langsung mulai meninjau ulang dan mengoreksinya. Mereka tidak segan-segan lagi menjilat ludah sendiri untuk memutar arah jarum jam dengan mewacanakan kembalinya sistem demokrasi perwakilan. Selain ongkos politiknya jauh lebih murah, potensi konflik dan eskalasinya lebih lokalistik dan relatif mudah dikontrol oleh pihak berwajib. 

Penulis sendiri tidak yakin dengan nilai keunggulan yang diusung oleh penggagas sistem demokrasi perwakilan. Betapa tidak, karena sistem tersebut sudah kita alami lebih dari lima dekade. Baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru, keduanya menampilkan sosok demokrasi perwakilan dengan wajah yang sarat intrik dan manuver politik oligarki. 

Kemapanan demokrasi, menurut penulis, tidak seyogianya disandarkan pada sistem, melainkan lebih berkohesi dengan perilaku. Sistem apa pun yang kita pakai, selama perilaku semua pihak masih dalam atmosfir non-eligible, semuanya tetap saja bermuara pada destruksi politik, kalau bukan anarkisme. Kenduri politik di Palopo dan Bojonegoro menjadi rusuh tentu bukanlah karena penerapan sistem demokrasi langsung. Pemicu utamanya tidak lain adalah soal perilaku.

Itu dimulai dari rapuhnya pegangan aktor politik pada falsafah kebangsaan hingga lahirnya sikap inkonsistensi terhadap jargon kontestan "siap menang siap kalah". Karena masih kuatnya pengaruh primordialisme maupun iming-iming pada level konstituensi, maka terbangunlah bentuk loyalitas, solidaritas yang cenderung ekstrem dan militan terhadap figur pasangan calon yang diusung.

Dari sisi penyelenggara pemilu juga berkontribusi besar dalam soal ini. Meski menyandang predikat independen, sudah terlalu banyak bukti yang menunjukkan praktek kecurangan dan keberpihakan melekat pada mereka. Tidak dapat disangkal jika pada setiap tingkatan penyelenggara pemilu, ada saja oknum yang berafiliasi dengan kontestan tertentu. 

Sebagai penentu kemenangan, tidak sedikit di antara mereka yang terlibat transaksi politik secara laten. Panwaslu sering tidak berdaya untuk menindak tegas, karena hal tersebut dikemas dengan polesan administrasi yang sangat lihai dan sistematis. Maka, pihak yang dirugikan terpaksa memilih jalan main hakim sendiri, lantaran mekanisme penggugatan ke MK lebih sering memperhitungkan pragmatisme keadilan daripada bukti kecurangan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar