|
DALAM memperingati Hari Pangan
Sedunia (HPS) setiap 16 Oktober, tahun ini Food and Agriculture Organization
(FAO) mengangkat tema Sustainable food
systems for food security and nutrition. Secara nasional pemerintah meng
usung tema Optimalisasi sumber daya lokal menuju kemandirian pangan.
Kedua tema itu saling melengkapi. Rohnya ialah untuk
menghindari bom waktu krisis pangan. Ketika pasokan pangan tak lagi mampu
memenuhi permintaan yang terus meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk,
krisis pangan akan menjalar dari satu negara ke negara lain, dan ancamannya
ibarat bom waktu yang setiap saat bisa meledak. Data PBB menyebutkan penghuni
bumi terus bertambah 200 ribu jiwa per hari. Pada 2050, jumlahnya diprediksi
mencapai 9 miliar jiwa atau bertambah 2 miliar dari kondisi saat ini, terutama
pada populasi urban, khususnya Asia, dengan pertambahan jumlah penduduk 1,4
miliar. Pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk dunia mendorong peningkatan
kebutuhan pangan.
Persoalannya, bagaimana kita dapat memenuhi kebutuhan pangan
yang terus meningkat, sedangkan luas lahan pertanian pangan yang selama ini
diandalkan untuk memenuhi kebutuhan pangan makin menyusut.
Alih fungsi lahan
Krisis pangan digambarkan sebagai the
silent tsunami, gelombang mematikan yang secara diam-diam membunuh jutaan
penduduk miskin karena tidak mampu mengakses pangan yang harganya kian melonjak,
dan membuat banyak negara kerepotan. Menurut perhitungan para ahli ekonomi, sampai
akhir 2012 kenaikan harga pangan mencapai 40%-60%.
Dampak kenaikan itu sangat dirasakan masyarakat yang secara ekonomi kurang beruntung.
Sekitar 70% pendapatan mereka terkuras untuk membeli makanan.
Booming harga
komoditas pangan sekarang ini, menurut Dana Moneter Internasional (IMF), dipicu
sejumlah faktor, baik yang sifatnya permanen maupun temporer. Faktor tersebut
yakni penggalakan program biofuel, perubahan iklim global, pesatnya alih fungsi
lahan, dan lambatnya penganekaragaman konsumsi pangan. Alih fungsi lahan
pertanian belakangan ini berlangsung semakin cepat. Pada periode 1992-2002,
laju tahunan konversi masih seputar 110 ribu hektare, tetapi 10 tahun terakhir
melonjak secara signifi kan menjadi 150 ribu ha per tahun.
Saat ini lahan perkebunan kelapa sawit sudah lebih luas
daripada lahan pertanian pangan, mencapai 9 juta ha. Sementara itu, luas sawah,
berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN), hanya 8,9 juta ha. Itu
terdiri dari 7,3 juta ha beririgasi dan 1,6 juta ha nonirigasi. Sejumlah
pemerintah daerah masih berniat mengonversi lahan pertanian yang masih ada.
Jika keinginan itu terealisasi, akan menjadi ancaman serius bagi masa depan
ketahanan pangan. Laju konversi lahan yang kian pesat menjadi persoalan besar
bangsa ini karena dapat memicu defi sit bahan pangan, dan ujung-ujungnya
menambah jumlah angka kelaparan dan gizi buruk.
Regulasi peruntukan lahan sudah banyak dibuat. Tetapi,
seperti biasa, peraturan seperti ini mandul ketika harus berhadapan dengan
pemilik modal untuk konversi lahan pertanian menjadi keperluan komersial lain
seperti perumahan, industri perkebunan, dan pertambangan. Usaha pertanian
dinilai kalah profit ketimbang sektor perkebunan dan pertambangan. Patut
disadari, berkurangnya lahan pertanian tentu akan mereduksi aktivitas di sektor
pertanian. Kebutuhan tenaga kerja akan menyusut secara bermakna dan menetaskan
penganggur-penganggur baru di perdesaan yang mendorong laju urbanisasi.
Langkah Solusi
Guna menghindari bom waktu krisis pangan, dua langkah
solusi berikut paling tidak patut dipertimbangkan untuk dilakukan. Pertama,
penyediaan lahan abadi pertanian. Pemerintah harus segera menyiapkan dan
menambah luas lahan pertanian sehingga bisa mendukung pencapaian ketahanan
pangan yang mandiri dan berdaulat. Ketersediaan lahan pertanian merupakan
keniscayaan serta dibutuhkan untuk mencapai dan mempertahankan target
swasembada komoditas pangan, terutama beras, jagung, dan kedelai.
Berdasarkan perkiraan, jumlah penduduk Indonesia pada 2030
mencapai 425 juta jiwa. Dengan konsumsi beras per kapita 139,15 kg, dibutuhkan
sedikitnya 59 juta ton beras atau setara dengan 96 juta ton gabah kering giling
(GKG). Untuk mencapai produksi sebanyak itu, dengan rata-rata produktivitas
lahan nasional 4,7 ton per ha dan indeks pertanaman saat ini 1,6 (frekuensi penanaman
1,6 kali dalam setahun), dibutuhkan lahan sawah 12,8 juta ha. Belum lagi
kebutuhan jagung, kedelai, singkong, dan ubi jalar yang juga dipastikan terus
meningkat. Sedikitnya harus ada 15 juta ha lahan yang tidak boleh diutakatik
atau dialihfungsikan ke nonpertanian pangan.
Selain itu, pertambahan lahan pertanian pangan harus
seiring dengan perlindungan terhadap petani. Alih fungsi lahan pertanian yang
terjadi selama ini disebabkan sistem ekonomi nasional yang mendudukkan sektor
pertanian pangan pada posisi yang kurang menguntungkan jika disandingkan dengan
sektor ekonomi lainnya. Langkah kedua yaitu percepatan penganekaragaman
konsumsi pangan. Untuk memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat, perlu
langkah kebijakan untuk jaminan ketersediaan suplai pangan yang beragam,
bergizi seimbang, dan aman dikonsumsi. Sumber pangan itu harus kompetitif dan
mudah diakses serta dapat memperbaiki kualitas lingkungan. Tuntutan itu dapat
dipenuhi dengan pemanfaatan pangan berbasis sumber daya lokal.
Penciptaan dan penyediaan lahan pertanian pangan abadi
harus didukung dengan kegiatan penganekaragaman konsumsi pangan berkelanjutan
untuk mengurangi ketergantungan pada salah satu jenis bahan pangan. Meskipun
program penganekaragaman konsumsi pangan sudah dimulai sejak era Orde Lama dan
hingga kini masih tetap dilaksanakan, keberhasilan program itu masih lambat.
Belakangan ini terjadi penurunan konsumsi beras sebanyak 1,5% per tahun, tetapi
perubahan itu diduga karena konsumen beralih ke pangan berbahan baku terigu,
seperti mi instan dan roti.
Minimnya penguasaan teknologi dan inovasi pengolahan pangan
lokal nonberas menjadikan produk olahan umbi-umbian, sagu, dan pisang kalah
bersaing dengan produk pangan berbasis terigu. Mesin percepatan penganekaragaman
konsumsi pangan patut terus dihidupkan. Hal itu bisa dimulai dengan sebuah
upaya sederhana, misalnya, dalam seminggu ada satu hari warga tidak makan nasi
sama sekali (one day no rice).
Program itu perlu dikampanyekan lebih konkret di lapangan, yakni mengajak dan
menyapa publik bahwa makan pagi, siang, atau malam tak selalu harus dengan nasi
atau roti dari terigu. Biar disambut positif, gerakan ini harus persuasif dan
bijak sehingga seluruh masyarakat mau diajak terlibat untuk menghindari bom
waktu krisis pangan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar