Jumat, 18 Oktober 2013

Mencari Hakim Resi MK

Mencari Hakim Resi MK
Ade Saptono  ;   Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila
MEDIA INDONESIA, 17 Oktober 2013


RABU, 2 Oktober 2013, pukul 22.00 WIB, dunia hukum Indonesia diguncang ‘gempa hebat’. Guncangan itu seakan melebihi gempa bumi berkekuatan 8,9 pada skala Richter. Pusat guncangan itu terjadi persis di Jalan Widya Chandra III Nomor 7, Jakarta, tepatnya di rumah dinas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia.

Saat itu, penyidik KPK menangkap tangan sang ketua MK, Akil Mochtar. Yang bersangkutan diduga kuat menerima suap berkaitan dengan penyelesaian perkara sengketa pemilu kada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, yang sedang ditanganinya. Pada saat bersamaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga berhasil melakukan operasi serupa menyangkut penanganan perkara sengketa pemilu kada Kabupaten Lebak, Banten, yang diduga juga melibatkan hakim konstitusi yang sama.

Guncangan itu membuat sebagian besar orang berkerumun dan membicarakan apa lagi yang akan terjadi menyusul guncangan pertama tersebut. Sesekali mereka geleng-geleng kepala begitu mengingat kejadian pada Rabu malam itu. Terlebih kaum praktisi, akademisi, dan profesional hukum terus membahas kejadian itu untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan apa yang salah dengan MK. Terutama perilaku hakim konstitusi yang notabene orang terpelajar, bergelar doktor ilmu hukum, gaji besar, tunjangan cukup, honor sidang mengalir bak banyu mili, toh terjadi juga praktik menjijikkan itu.

Atas kejadian itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun angkat bicara tentang penting dan mendesaknya keberadaan lembaga pengawasan MK. Presiden akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undangundang (perppu). Namun, wacana perppu mendapat penolakan sebagian ahli hukum tata negara dengan alasan inkonstitusional. Bahkan, bukan tidak mungkin perppu dimaksud akan berujung pada ranah politik, yaitu impeachment. Terlebih MK pernah membatalkan lembaga pengawasan yang akan mengawasi mereka. Dalam kondisi delegitimasi dan proses degradasi integritas MK yang terus menurun tajam demikian ini, pilihan-pilihan model pengawasan tetap perlu segera dibentuk. Namun, tentu saja yang tidak menabrak rambu-rambu konstitusi.

Usulan yang terdengar, misalnya, lembaga pengawas yang ditawarkan ialah sebuah lembaga yang ada di dalam MK. Pilihan dewan kehormatan yang dibentuk untuk menemukan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan Ketua nonaktif MK Akil Mochtar itu dapat dipilih untuk selanjutnya dilembagakan. Kelemahannya, dewan kehormatan baru bekerja efektif jika ada dugaan kuat telah terjadi pelanggaran kode etik. Dikhawatirkan timbul konflik kepentingan sehingga putusan yang diambil diragukan kualitas dan imparsialitasnya.

Untuk menghindari kelemahan itu, lembaga bersangkutan disarankan berada di luar MK dengan basis induknya ke Komisi Yudisial. Ini pun, menurut pandangan saya, belum aman dari keributan dan ketegangan antara yang diawasi dan yang mengawasi karena berada di posisi berhadapan.

Putusan sabdo pandita ratu

Dalam ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD. Pada level UU, hal sama tersebut pada Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 20003 tentang MK sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 20003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Antara lain `menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945' memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 yakni `memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu'.

Pasal-pasal yang menyebutkan putusan bersifat final dan terakhir itu sebenarnya melampaui batas-batas dirinya, mengingat UUD 1945 yang memerintahkan kewenangan MK itu saja masih dapat dia mendemen. Sementara itu, produk putusan MK yang diatur UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK sendiri bersifat final dan terakhir sebagaimana disebut tadi, seolah memosisikan putusannya itu sejajar dengan pembukaan UUD 1945. Padahal, UU yang mengatur keberadaan MK itu di bawah UUD 1945, sebuah lompatan jauh ke atas yang tentu rawan jatuh. Artinya, kekuatan putusan demikian itu tidak jauh berbeda dengan sabdo pandita ratu bahwa raja diposisikan sebagai penguasa tunggal yang memiliki kewenangan interpretator penuh dan kedudukan tertinggi dalam struktur kerajaan.

Dalam posisi itu, ucapannya bersifat final dan jika itu berupa perintah, harus dilaksanakan dan harus terwujud. Sabdo pandita ratu yang diucapkan hakim konstitusi membawa lembaga yang lahir di era reformasi ini seakan kembali ke zaman Diningrat sehingga memunculkan semonan (sindiran) bahwa telah lahir Mahkamah Konstitusidiningrat.

Hakim resi

Mengingat fungsi hakim konstitusi mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD pada level UU, tidak berlebihan jika harapan masyarakat terhadap hakim konstitusi itu diisi orang-orang bersosok negarawan.

Salah satu ciri negarawan ialah secara materiil mereka sudah selesai dengan dirinya sendiri, dan secara imateriil substansial sudah madeg dadi resi (menjadi begawan). Jika hal itu terpenuhi, putusan yang dilahirkan tidak hanya berisikan hal teknis (menang-kalah), bertentangan atau tidak bertentangan dengan UUD, tetapi juga putusan yang bijak, tuntas, final, dan terakhir.

Perlu orang-orang bijak yang dalam proses membuat putusan mampu mempertimbangkan secara mendalam aspek hukum, filosofis, budaya, dan agama. Sebaiknya struktur hakim konstitusi melibatkan orang bijak secara agamais, filosofis, sosiologis, dan berkebudayaan, yang putusannya diharapkan memiliki nilai kenegarawanan sekaligus kebegawanan atau keresian.

Struktur majelis hakim konstitusi saat ini terlihat secara kasat inderawi terdiri dari tiga orang hakim. Dari segi kualitas, kelemahan substansialnya ialah meskipun secara personal terdiri dari tiga sosok hakim dan akan dapat dengan mudah mengakhiri kebuntuan pengambilan keputusan bulat, secara substansial yang terjadi sejatinya bukan majelis, melainkan hakim tunggal, mengingat ketiganya satu identitas yaitu sarjana hukum.

Beda halnya jika majelis hakim terdiri dari sosok-sosok hakim yang memiliki ketokohan sosial, budaya, agama, dan seterusnya. Jalan keluar yang pernah terdengar, misalnya, pertukaran giliran hakim dari panel satu ke panel lain sehingga setiap penanganan perkara berbeda sosok hakimnya. Itu pun tidak menjamin akan meminimalkan kejadian ala Akil Mochtar karena yang terjadi hanya perubahan permukaan dan fisikal, belum menyentuh akar permasalahan substansialnya.

Kedua, lembaga pengawas seperti Dewan Kehormatan MK, yang sekarang ini sedang bekerja jika dilembagakan, apakah membasis ke dalam MK atau ke KY? Basis dua lembaga pengawas tersebut sangat berpotensi konflik mengingat mereka merupakan dua entitas berbeda. Ingat saja bagaimana konflik KY dan Mahkamah Agung beberapa waktu lalu.

Sejatinya masih ada ruang pengawas yang ideal yang keberadaan entitasnya tidak berada di luar MK atau di dalam MK, tetapi melekat secara fungsional ke dalam struktur majelis atau panel hakim konstitusi. Potensi konflik dari model pengawasan fungsional tersebut dipandang sangat minim. Majelis hakim yang biasanya terdiri dari tiga hakim bergelar sarjana hukum perlu diubah menjadi terdiri dari orang-orang sarjana (dua di antaranya bukan sarjana hukum) yang sudah tidak memikirkan identitas apa pun kecuali amanah kenegarawanan.

Mungkin model hakim resi dan pengawasan fungsional demikian ini yang tidak menabrak konstitusi, minim konflik kepentingan, konflik antarlembaga, dan sebaliknya, sifat kenegarawanan mengemuka. Mari kita berpikir bersama dengan tenang tentang hal ini. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar