Sabtu, 12 Oktober 2013

Memperbanyak Dokter Umum

Memperbanyak Dokter Umum
Djoko Santoso  Wakil Dekan II FK Unair
JAWA POS, 11 Oktober 2013



 VII AIPKI (Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia) di Manado baru saja berakhir. Temanya Health System Based Medical Education. Tema itu jelas dikaitkan dengan rencana pemerintah tahun depan yang melaksanakan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Menkes berbicara tentang tantangan kesehatan dan Mendikbud, lewat keynote speech yang dibacakan utusannya, berbicara soal antisipasi sistem pendidikan nasional dalam menghadapi era SJSN. AIPKI melalui pengembangan kurikulum yang klop dengan layanan SJSN diharapkan bisa meringankan beban pemerintah sekaligus mendorong peningkatan layanan kesehatan.

Sampai sekarang pendidikan kedokteran kita menganut konsep pengobatan ilmiah dan spesialisme profesional. Sayangnya, penerapannya belum sepenuhnya memenuhi pendekatan ilmiah yang lebih terintegrasi. Untuk memahami kesehatan dan penyakit, idealnya menggabungkan informasi tentang pengalaman psikososial individu dan konteks keluarga, kebudayaan, serta lingkungan dan kesehatan fisiologis dan anatominya (Engel, 1977).

Berdasar topografi pengorganisasian perawatan kesehatan, layanan kesehatan dibagi menjadi tiga. Pertama, perawatan primer yang meliputi layanan kesehatan umum dan preventif (vaksinasi) sebagai aktivitas utama. Kedua, perawatan sekunder yang meliputi layanan yang membutuhkan keahlian klinis terspesialisasi seperti perawatan RS. Ketiga, perawatan tersier, yang berada di puncak piramida organisasional, yang meliputi penanganan kelainan yang kompleks dan jarang seperti tumor hipofisis dan kelainan kongenital.

Negara harus mampu mewujudkan struktur perawatan primer-sekunder-tersier dengan rapi dan teratur. Jumlah dokter umum harus lebih banyak daripada dokter spesialis, setidaknya 60:40 (Grumbach dan Fry, 1993). 

Konsep yang perlu dipertimbangkan, pertama, pelayanan di tingkat perawatan primer dikomando dokter umum dan tanggung jawab utamanya adalah perawatan ambulatoir serta program preventif.

Kedua, di tingkat perawatan sekunder, yang mengisi adalah dokter spesialis seperti penyakit dalam, anak, saraf, jiwa, obstetrik dan ginekologi, serta bedah umum. Mereka berlokasi di klinik RS dan berperan sebagai konsultan pasien rujukan dokter umum dan melayani rawat inap. Pada giliranya, mereka mengembalikan pasien tersebut ke dokter umum untuk kebutuhan perawatan yang terus-menerus.

Ketiga, ada subspesialis perawatan tersier seperti ahli bedah jantung, ahli imunologi, dan ahli hematologi anak.

 

Sistem yang ada saat ini masih sangat tidak teratur. Ketika banyak puskesmas yang tidak punya dokter, RS menjamur dengan dukungan teknologi modern, yang bergerak cepat hingga makin merebut porsi pelayanan tersier. RS itu berlomba lebih menawarkan perawatan terspesialisasi seperti bedah dan prosedur obstetrik yang berisiko tinggi. Saya meyakini, pola itu mengakibatkan angka mortalitas lebih tinggi jika dibanding ketika prosedur suatu tindakan dilakukan secara regionalisasi. 

Belum lagi, pasien terbiasa datang langsung ke layanan spesialis dan perawatan tersier. Padahal, akuntabilitas perawatan yang menyeluruh masih rendah karena masing-masing spesialis berfokus memikirkan penanganan satu sistem organ. Lebih parah, masing-masing spesialis itu memberikan layanan perawatan berkualitas tinggi.

Kondisi tersebut sangat membebani pemerintah. Sebab, perawatan berbasis spesialisasi dengan teknologi tinggi lebih bersifat kuratif dan individualistis. Itulah yang membuat perawatan terpecah dan tidak terkoordinasi. Akibatnya, layanan perawatan primer dasar seperti pencegahan penyakit dan dukungan perawatan untuk pasien penyakit kronis yang tidak bisa disembuhkan terpinggirkan.

Dari segi biaya, sistem yang bertumpu pada perawatan spesialis itu berbiaya tinggi (bagi konsumen) dan berarti menjanjikan pendapatan tinggi (bagi dokter dan manajemen). Akibatnya fatal, terjadi tren mahasiswa kedokteran yang makin tidak tertarik untuk memilih perawatan primer sebagai karir. 

Bahaya lainnya adalah munculnya industri kesehatan swasta berskala besar yang dari tahun ke tahun makin menjamur dan makin kuat memaksakan pengaruhnya. Kondisi itu makin mengkikis profesi kedokteran sehingga otonomi dan otoritasnya bisa terancam. 

Sistem saat ini cenderung membuat jutaan orang bergerak sendiri-sendiri, pertumbuhan dan pluralismenya tidak terkontrol hingga menjurus ke anarki. Pasien merasa terbiasa diperiksa langsung oleh dokter spesialis yang mereka pilih sendiri. Peran dokter di lini primer menjadi kurang jelas. Tak heran jika makin sulit mencari dokter umum karena berebut menjadi spesialis. 

Rentetan masalah tersebut memunculkan celah di perawatan primer sehingga beberapa dokter spesialis dari tingkat perawatan tersiernya juga berperan sebagai dokter keluarga primer. Jadilah perawatan primer itu tempat praktik bagi banyak dokter spesialis dengan peran yang tumpang tindih. Kondisi tersebut banyak terjadi di daerah surplus ekonomi dan padat penduduk. Sementara itu, di daerah miskin, mendapatkan dokter saja masih sulit. Bisa dikatakan, fondasi perawatan primer kita sedang terancam retak. 

Ini masalah mendesak. Pemerintah perlu secepatnya menata ulang sitem layanan primer-sekunder-tersier. Kita tidak ingin SJSN ruwet, bukan? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar