Selasa, 01 Oktober 2013

Memanfaatkan Kesepakatan Tak Mengikat

APEC, Manfaat bagi dan Sumbangan Indonesia
dalam Meningkatkan Pertumbuhan Dinamis Asia Pasifik
Memanfaatkan Kesepakatan Tak Mengikat
KOMPAS, 01 Oktober 2013


Sebagai tuan rumah penyelenggaraan APEC tahun ini, Indonesia mengajukan usulan agar APEC membahas dan menghasilkan kesepakatan yang membumi.

Kesepakatan yang membumi sangat penting saat ini. Perekonomian Indonesia yang mengidap defisit transaksi berjalan akibat defisit perdagangan serta defisit transaksi modal dan keuangan menunjukkan bahwa perekonomian membutuhkan transformasi lanjutan yang harus operasional.

Ada tiga prioritas pembahasan pertemuan yang dihadiri para pemimpin 21 entitas ekonomi APEC dan sekitar 1.200 pemimpin bisnis. Pertama, melaksanakan kesepakatan Bogor Goals, yaitu liberalisasi perdagangan dan investasi pada 2010 bagi negara maju dan 2020 bagi negara berkembang. Kedua, mewujudkan pertumbuhan berkelanjutan kawasan APEC disertai pemerataan. Ketiga, isu keterhubungan (konektivitas), menyangkut infrastruktur fisik serta kemudahan lalu lintas orang, barang, dan jasa. Tiga prioritas pembahasan APEC tersebut berkaitan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2009-2014 Indonesia.

APEC memang memberi peluang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Perdagangan bebas dan investasi secara teori memberi akses produk tiap anggota memasuki pasar anggota lain tanpa hambatan. Tarif di antara anggota APEC rata-rata turun menjadi sekitar 6,8 persen dari 16-17 persen pada 15 tahun lalu. Investasi asing masuk deras ke Indonesia hingga pertengahan tahun lalu, sebagian besar berasal dari anggota APEC.

Prioritas kedua, membahas, antara lain, isu ketahanan pangan, energi terbarukan, kelautan, daya saing usaha kecil dan menengah, meningkatkan partisipasi perempuan dalam UKM, serta inklusi keuangan. Hal itu termasuk juga membahas obat tradisional dan tanaman obat untuk kesehatan.

Pangan

Dalam ketahanan pangan, misalnya, disepakati tanpa petani skala kecil tidak ada ketahanan pangan. Isu bagi Indonesia adalah kedaulatan pangan menyangkut hak-hak petani dan ketahanan pangan yang berkaitan dengan hak-hak konsumen.

Ironi bahwa Indonesia sebagai negara agraris mengalami kekurangan pangan, tecermin antara lain dari gejolak harga dari waktu ke waktu. Situasi ini merugikan petani sebagai produsen dan konsumen.
Dengan alasan menstabilkan harga dan mencegah inflasi, pemerintah secara khusus turun tangan mengatur impor kedelai dan daging sapi, termasuk bawang putih, cabai, dan bawang merah.

Ketidakmampuan meningkatkan produksi menjadikan Indonesia pasar bagi produk pangan dari luar dengan akibat menghilangkan kesempatan ekonomi dan lapangan kerja petani di dalam negeri.

Ada banyak hal yang harus diselesaikan agar Indonesia dapat bersaing di dalam APEC. Asupan teknologi dan inovasi tidak dapat ditawar, terutama yang tepat guna. Hal itu mulai dari menurunkan kehilangan hasil panen, memperpanjang umur simpan, jaminan harga bagi petani produsen—segera melaksanakan resi gudang, misalnya—hingga keamanan pangan. Kerja sama petani kecil dan pengusaha besar diharapkan meningkatkan kapasitas petani kecil dalam kerja sama saling menguntungkan.

Petani Indonesia sulit bersaing dengan petani negara kaya meskipun sangat efisien berproduksi, terutama petani beras. Petani negara kaya mendapat subsidi sangat besar dari pemerintahnya berupa subsidi langsung, selain biaya untuk riset dan pengembangan, infrastruktur, asuransi, dan proteksi terhadap produk dari luar.
Di Indonesia, agrobisnis pangan menghadapi biaya tinggi. Separuhnya disebabkan biaya politik, hanya 30 persen biaya riil yang dikeluarkan petani, dan 20 persen karena infrastruktur tidak efisien.

Pekerjaan rumah

Persoalan yang dihadapi sektor pangan juga terjadi dalam bidang-bidang lain. Sejumlah regulasi dirasakan mendiskriminasi dan menghambat pelaku usaha di dalam negeri.

Pembiayaan dan inklusi keuangan, misalnya, masih menjadi persoalan. Selain kondisi sebagai negara kepulauan menjadi tantangan dalam membangun infrastruktur, sumber daya manusia juga menjadi kendala dalam akses terhadap jasa keuangan formal.

Isu konektivitas yang di dalam negeri dibahas sejak Mei 2011 melalui Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia sampai hari ini masih tersendat-sendat pelaksanaannya. Dari sisi pemerintah, pembiayaan membangun infrastruktur menjadi kendala, tetapi swasta juga tidak tertarik segera berinvestasi karena membutuhkan kepastian hukum dan kemudahan berbisnis dari pemerintah pusat dan daerah.

Kecenderungan lebih melihat ke dalam, misalnya, kebijakan kabotase, meskipun bertujuan menumbuhkan industri logistik di dalam negeri, di sisi lain menurunkan daya saing Indonesia. Hal ini disebabkan hanya beberapa pelabuhan diizinkan menjadi pintu masuk-keluar barang dari luar Indonesia.

Data perdagangan memperlihatkan bahwa kontribusi perdagangan internasional dalam perekonomian masih 15-16 persen, kecil bila dibandingkan dengan negara lain. Indonesia juga belum masuk di dalam rantai nilai global produk industri, kecuali untuk garmen yang nilainya rendah dibandingkan produk manufaktur lain.

Meskipun mengusung tema pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan pemerataan, dalam kenyataan, tiap negara menerjemahkan isu tersebut menurut kepentingan masing-masing. Hal ini tecermin dari belum disepakatinya oleh Amerika Serikat minyak sawit masuk sebagai produk ramah lingkungan. CPO dihadapkan pada pembangkit listrik energi surya dalam konteks energi terbarukan. Pun pada perundingan di WTO untuk sengketa perdagangan produk pertanian, negara mitra dagang Indonesia tidak mau melaksanakan pencabutan tarif impor ke negaranya.

Ada keuntungan APEC merupakan forum kerja sama tidak mengikat. Indonesia bisa belajar banyak dari sesama anggota, terutama dalam meningkatkan kapasitas. Harapannya, dari belajar, lalu diterapkan agar segera naik kelas, tidak sekadar menjadi daftar pekerjaan rumah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar