|
Pengantar Redaksi:
Menyambut pertemuan pemimpin ekonomi
Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Nusa Dua, Bali, 7-8 Oktober 2013,
harian ”Kompas” menggelar diskusi panel bertajuk "APEC, Manfaat bagi dan
Sumbangan Indonesia dalam Meningkatkan Pertumbuhan Dinamis Asia Pasifik".
Sebagai panelis, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas
Armida Salsiah Alisjahbana, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, Ketua APEC
Business Advisory Council (ABAC) Wishnu Wardhana, Direktur PT Indofood Sukses
Makmur Tbk Franciscus Welirang, Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika
Kementerian Luar Negeri Yuri O Thamrin, dan Kepala Departemen Ekonomi Centre
for Strategic and International Studies Yose Rizal Damuri, dengan moderator
pengajar Unika Atma Jaya Jakarta A Prasetyantoko. Hasil diskusi disajikan
berikut ini dan empat tulisan lain di halaman 6-7. Laporan disusun oleh Pieter
P Gero, Johan Waskita Utama, Anastasia Joice Tauris Santi, FX Laksana Agung
Saputra, dan Ninuk M Pambudy.
—————————————————————————
Sulit untuk mengingkari kedahsyatan
potensi ekonomi dalam 21 kelompok ekonomi anggota Konferensi Kerja Sama Ekonomi
Asia Pasifik (APEC). Sangat logis apabila anggota kelompok ekonomi berusia
hampir seperempat abad itu (dibentuk di Canberra, Australia, 1989) bakal
mendapat faedah dari potensi tersebut. Indonesia termasuk pendiri dan anggota
APEC.
Data mengungkapkan, 21 anggota
ekonomi (tidak disebut negara karena China menolak sebutan negara untuk Taiwan
dan Hongkong) APEC menyumbang 56,4 persen dari 58 triliun dollar AS produk
domestik bruto dunia. APEC menjadi mesin pertumbuhan ekonomi global. Rata-rata
pertumbuhan ekonomi APEC lebih tinggi daripada rata-rata dunia.
Dengan penduduk hampir 3 miliar
dari 7 miliar penduduk dunia yang tersebar dari ujung utara pesisir Samudra
Pasifik di Rusia dan Amerika Serikat hingga ujung selatan di Cile dan Selandia
Baru, anggota APEC berkontribusi 43,7 persen dari nilai perdagangan dunia
sebesar 38 triliun dollar AS. Semua ini tak lain karena berkurangnya hambatan
ekspor dan impor hingga 60 persen sejak keberadaan APEC.
Dari sisi investasi terjadi
peningkatan empat kali lipat dalam 14 tahun ini (1989-2008). Pertumbuhan
tersebut mendorong lahirnya kelas menengah dengan daya beli potensial. Indeks
Pembangunan Manusia memperlihatkan peningkatan 11 persen dalam periode tahun
1995-2007. Kemiskinan menurun 44 persen.
Seluruh data itu tidak lepas dari
visi APEC pada pertemuan pertama pemimpin APEC di Blake Island, Seattle, AS,
1993. Ditegaskan, perlu ”tercipta komunitas
yang dilandasi semangat keterbukaan dan upaya kerja sama untuk menghadapi
perubahan, memperlancar arus barang, jasa, dan investasi, mendorong pertumbuhan
ekonomi lebih merata, mencapai standar hidup dan pendidikan lebih tinggi, dan
mewujudkan pertumbuhan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan”.
Dalam pertemuan pemimpin APEC di
Bogor (Indonesia) tahun 1994 dikeluarkan maklumat Bogor Goals. Ditegaskan, ”Tercapainya perdagangan dan investasi bebas
di kawasan Asia Pasifik pada tahun 2010 bagi ekonomi maju dan pada tahun 2020
bagi anggota ekonomi sedang berkembang”.
Pertanyaan besarnya, setelah hampir
dua dekade sejak seruan Bogor Goals, apa yang hendak dicapai Indonesia saat
kembali menjadi tuan rumah pertemuan pemimpin APEC?
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
selaku tuan rumah pertemuan di Nusa Dua, Bali, 7-8 Oktober, menekankan perlunya
membumikan Bogor Goals. Namun, sejauh mana kesiapan Indonesia menghadapi
konsekuensi Bogor Goals? Siapkah Indonesia mengambil manfaat dari APEC?
Daya tahan domestik
Kesiapan Indonesia tak lepas dari
tema yang diusung Indonesia, yakni ”Resilient Asia Pacific, Engine of Global
Growth”. Tujuannya, mencapai kawasan Asia Pasifik yang tangguh dan segera pulih
dari krisis ekonomi global, serta mempertahankan APEC sebagai mesin pertumbuhan
ekonomi dunia.
Konsekuensi Bogor Goals cukup berat
bagi Indonesia tanpa pembenahan ke dalam. Konsekuensinya dapat menjadi bumerang
berdampak masif. Ini berkaitan dengan daya tahan ekonomi Indonesia belakangan
ini yang memprihatinkan.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia
memang masih relatif tinggi, sekitar 5,8 persen tahun 2013. Tahun 2014 mungkin
masih sekitar 5,9 persen. Masalahnya, pertumbuhan ekonomi ini didorong konsumsi
yang sebagian besar dipenuhi produk impor. Sementara ekspor masih bergantung
pada produk primer.
Ekspor produk manufaktur terus
merosot dari waktu ke waktu dan belakangan defisit. Begitu pula dengan neraca
produk makanan dan minuman yang defisitnya melebar. Ketahanan pangan Indonesia
praktis lemah. Produksi kedelai nasional, misalnya, merosot dari 1,9 juta ton
tahun 1999 menjadi hanya 800.000 ton tahun 2013. Harga kedelai pun melambung
dan murni bergantung impor.
Alhasil, defisit neraca perdagangan
terjadi sejak 22 bulan lalu, pertama kali setelah Indonesia merdeka. Ini
mengindikasikan rapuhnya daya tahan ekonomi Indonesia. Impor, terutama produk
minyak dan gas, terus meningkat. Neraca perdagangan periode Januari-Juli 2013
defisit sekitar 5,65 miliar dollar AS. Bumerang dari Bogor Goals akan kian
dahsyat.
Kondisi ekonomi Indonesia ini
merupakan hasil pembenahan diri yang sangat terlambat. Salah satu contohnya,
terlambat menyesuaikan harga bahan bakar minyak dan pengendalian konsumsinya.
Juga belum terlihat upaya spektakuler mendorong produksi pangan dan
meningkatkan daya saing produk manufaktur di pasar ekspor.
Biaya pangan di Indonesia termasuk
tinggi, sekitar 50 persen merupakan biaya politik dalam bentuk pungutan dan
retribusi. Sekitar 30 persen merupakan biaya riil eksploitasi petani dan 20
persen biaya inefisiensi infrastruktur. Kondisi tersebut memunculkan pertanyaan
tentang daya tahan ekonomi Indonesia.
Indeks korupsi Indonesia 8,83,
termasuk paling tinggi dalam APEC. Bahkan lebih tinggi dari negara yang baru
membuka diri seperti Myanmar (8) dan Kamboja (7,84). Berkaitan dengan
inefisiensi infrastruktur yang sering dikeluhkan, indeks daya saing global
Forum Ekonomi Dunia menempatkan ketahanan infrastruktur Indonesia di posisi
ke-78 dari 144 negara.
Banyak niat baik hendak diusung
Indonesia dalam perhelatan APEC 2013 dengan mempertahankan semangat Bogor
Goals, mendorong konektivitas dalam APEC, mendorong usaha kecil dan menengah
serta inklusi keuangan, dan memangkas peraturan dan tarif.
Namun, berkaitan dengan
interkonektivitas dan pembangunan infrastruktur, pengelolaan perekonomian yang
realistis dan memadai tak bisa diabaikan. Swasta akan berperan aktif apabila
pemerintah membuat aturan pasti, transparan, dan memangkas ekonomi biaya
tinggi. Jelas Indonesia harus berbenah diri sebelum melangkah jauh. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar