Selasa, 22 Oktober 2013

Mahayudha Melawan Perdagangan Pengaruh

Mahayudha Melawan Perdagangan Pengaruh
J Kristiadi  ;  Peneliti Senior CSID
KOMPAS, 22 Oktober 2013


PRESTASI penyidik KPK ”menangkap basah” Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar di rumah dinas; sementara di ruang kerjanya ditemukan obat terlarang, mengguratkan sikap ganda publik. Masyarakat bersyukur dan bangga atas kegigihan KPK memburu koruptor, tetapi saat bersamaan nurani publik perih seperti diiris sembilu. Sosok yang gencar mengusulkan agar koruptor dimiskinkan, dipotong jarinya, dan menulis buku Memberantas Korupsi (2006) dan Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi (2009) ternyata diduga melakukan perbuatan terkutuk. Sanubari publik terguncang karena selama ini MK sangat dipercaya publik, bahkan ”disakralkan”. Meskipun kadang-kadang keputusannya memicu kontroversi, kredibilitas lembaga tersebut tetap terjaga.
Setelah penangkapan Ketua MK, masyarakat sangat geram karena lembaga yang menjadi benteng dan pengawal konstitusi, serta pilar penegakan hukum yang masih diandalkan, luluh lantak kredibilitasnya. Kemurkaan publik dapat diwakili pernyataan keras Jimly Asshiddiqie agar Akil Mochtar dihukum mati dan saran Mahfud MD agar Akil dihukum seberat-beratnya. Kemarahan mereka sangat dimengerti karena Ketua MK seharusnya memancarkan aura kesalehan dan tokoh sentral dalam mewujudkan keadilan, tetapi perilakunya mengesankan moral yang keropos, bertekuk lutut terhadap godaan yang menghancurkan institusi yang selama ini menjadi tumpuan harapan masyarakat mencari keadilan.
Pemerintah merespons skandal akbar dengan menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi. Secara normatif, alasannya situasi darurat. Namun, hampir dapat dipastikan perppu justru akan melestarikan kedaruratan itu karena hanya menyentuh persoalan sekitar proses seleksi, perekrutan, dan pengawasan permanen terhadap MK. Padahal, isu sentralnya adalah perdagangan pengaruh (trading in influence), saudara kembarnya korupsi politik. Peran kapital sangat dominan dalam perdagangan pengaruh, terutama dalam kompetisi memperebutkan jabatan publik. Mengacu pada Pasal 12 COE Convention (Council of Europe’s Criminal Convention on Corruption dan Willeke Slingerland, 2011), perdagangan pengaruh maknanya lebih kurang perbuatan seseorang yang sengaja menjanjikan atau menawarkan, baik langsung maupun tidak langsung, keuntungan berlebihan kepada pihak yang mempunyai pengaruh atau otoritas politik mengambil keputusan yang menguntungkan dirinya ataupun orang lain.
Ia adalah fenomena yang amat kompleks karena melibatkan banyak pihak. Lebih rumit lagi karena praktik perdagangan pengaruh bersinggungan dengan persepsi tentang niat serta nilai yang hidup di masyarakat. Selain itu, ia beroperasi dalam wilayah abu-abu, yaitu ranah tertib politik demokratis, sehingga saling memengaruhi adalah sah, misalnya lobi politik. Namun, lobi politik selalu dapat menjadi transaksi perdagangan pengaruh yang merugikan publik.
Justifikasi menentukan ambang batas perdagangan pengaruh dalam sistem demokrasi tidak sederhana. Sebab, yang harus dibuktikan bukan hanya perbuatannya, melainkan juga niat melakukan perbuatan tersebut. Karena itu, perdebatan mengenai isu ini sangat melelahkan dan kontekstual. Agar lebih mudah dipahami, fenomena tersebut dapat dianalogkan dengan perbuatan pelecehan seksual (sexual harassment). Ilustrasinya, seorang pegawai senior yang memegang bahu yuniornya dapat dilihat sebagai suatu keakraban, tetapi dapat juga dianggap pelecehan. Bergantung pada niat pelaku.
Mengingat fenomena itu rumit dan kompleks, terapinya harus sistemis dan menyeluruh, tidak hanya fokus mengkriminalkan si pelaku. Berbagai regulasi utuh dan komprehensif diperlukan untuk mewujudkan tatanan politik yang lebih menjamin berfungsinya mekanisme saling kontrol di antara lembaga politik dan negara.
Mengingat perdagangan pengaruh juga menyangkut dimensi moral dan etik, politik pendidikan yang dapat mengasah kepekaan generasi muda tentang kepatutan merupakan keharusan. Menerbitkan perppu yang sekadar ingin memberikan kesan pemerintah peka dan mempunyai sense of urgency hanya membuat panggung politik ingar-bingar tanpa arah jelas. Sangat disayangkan, pemegang otoritas politik selama ini hampir selalu merespons sejumlah persoalan hanya pada kulit luarnya, bukan akar masalahnya.
Perdagangan pengaruh telah memproduksi dinasti politik dan segala jenis patologi politik lain. Rakyat harus dapat membaca tanda-tanda zaman untuk melakukan mahayudha melawan perdagangan pengaruh. Gema retorika dan kesadaran elite politik tentang bahaya transaksi kekuasaan melalui berbagai ungkapan, termasuk disertasi dan sumpah jabatan, tidak mampu menggerakkan nurani kolektif mereka untuk menyusun kebijakan berdasarkan politik hukum yang memihak rakyat.
Karena itu, pidato Presiden Soekarno tahun 1950-an, dalam konteks kekinian harus dikumandangkan: ”Bangsa Indonesia dewasa ini harus turun ke medan perjuangan Mahajuda melawan perdagangan pengaruh yang memorakporandakan pahatan tatanan politik yang beradab. Rakyat Indonesia harus bersatu padu menggalang kekuatan demokratis dan pantang menyerah melibas pemegang kekuasaan yang mencengkeram negara dengan kuku-kuku kotor yang berlepotan kepentingan kekuasaan.” ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar