Selasa, 22 Oktober 2013

Kanibalisasi Evaluasi Pendidikan

Kanibalisasi Evaluasi Pendidikan
Doni Koesoema A  ;  Pemerhati Pendidikan
KOMPAS, 22 Oktober 2013


MENTERI  Pendidikan dan Kebudayaan akan mempergunakan hasil ujian nasional untuk menentukan indeks kompetensi sekolah. Inilah sesat pikir berkelanjutan tentang UN: kanibalisasi evaluasi pendidikan.
Selama persoalan fundamental tentang tujuan UN tak dibahas dan terus-menerus meyakini kesahihan kanibalisasi penggunaan hasil evaluasi pendidikan yang secara kajian psikometrik tidak dapat dipertanggungjawabkan, serta pelaksanaannya yang amburadul, hasil UN tak kredibel untuk mengukur yang ingin diukur. Apalagi untuk mengukur indeks kompetensi sekolah!
Yang terjadi dalam kebijakan UN selama ini adalah kanibalisasi penggunaan hasil evaluasi pendidikan untuk empat tujuan sekaligus, yang secara konstruk tes berbeda satu sama lain. Di Indonesia, hasil UN dipakai untuk syarat kelulusan, pemetaan, pembinaan (supervisi dan pengembangan), dan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya.
Kanibalisasi seperti ini menunjukkan adanya kesesatan berpikir, serta tidak dipahaminya dasar-dasar evaluasi pendidikan yang baik. Oleh Mendikbud, UN bahkan diklaim lebih canggih dari sekadar rontgen. ”Hasil UN itu sudah seperti MRI,” ujar Mohammad Nuh dalam salah satu talk show tentang manfaat UN.
Kanibalisasi penggunaan hasil UN secara psikometrik tak dapat dipertanggungjawabkan karena setiap tes memiliki konstruk berbeda sesuai dengan tujuan tes itu. Lebih lagi, jenis tes tertentu, seperti tes yang memiliki konsekuensi tinggi yang sifatnya terstandardisasi, seperti UN, karena bersifat menentukan, memiliki dampak negatif secara psikologis, pedagogis, ataupun kultural. Apabila tak diatasi, akan mendistorsi hasil tes. Hasil tes yang terdistorsi, tidak akan valid, apalagi sahih untuk dipergunakan sebagai alat ukur. Distorsi ini terjadi dalam hasil UN.
Evaluasi formatif
Tentu akan lebih hemat apabila dengan satu tes semua hal bisa dipotret! Namun, dalam ilmu psikometrik, tidak ada tes yang memiliki sifat demikian. Jenis ujian standar yang diwajibkan, yang hasilnya sangat menentukan masa depan individu (bahkan menentukan kualitas sekolah dan kebijakan pendidikan sebuah daerah), seperti UN, melahirkan banyak dampak merusak dunia pendidikan.
Anak dikorbankan atau dipaksa berkorban demi pemeringkatan kualitas guru, sekolah, kepala sekolah, serta pejabat pemerintahan hanya untuk menunjukkan bahwa mereka telah bekerja dengan baik. Bahwa pendidikan di sekolah, di daerah, dan di negaranya semuanya baik-baik. Kelakar mengatakan, UN membuat semua bergembira, kecuali siswa!
Selama ini yang dianaktirikan dalam evaluasi pendidikan kita adalah evaluasi yang sifatnya formatif. Padahal, evaluasi jenis inilah yang akan dikembangkan dalam Kurikulum 2013.
Evaluasi formatif menganggap penilaian pendidikan itu bagian dari pembelajaran itu sendiri sehingga hasil evaluasi itu dapat dipakai untuk menentukan kemajuan, kekuatan, dan kelemahan pengalaman belajar siswa. Evaluasi seperti ini hanya dapat dilakukan guru kelas. Itu karena guru yang berinteraksi secara langsung dengan siswa sehingga dialah yang mengetahui bagaimana membantu siswa maju dalam proses belajar.
Evaluasi formatif membandingkan kemajuan siswa dengan tingkat kompetensi sebelumnya. Tidak memperbandingkan kemajuan antar-peserta didik.
UN sebaliknya: bersifat sumatif. Ia ingin menilai sejauh mana kualitas pembelajaran peserta didik setelah mengalami proses belajar dalam kurun tertentu. Yang diutamakan dalam tes sumatif adalah sejauh mana peserta didik menguasai materi, lantas diperbandingkan dengan peserta lain. Karena itu, muncullah berbagai macam pemeringkatan, seperti pemeringkatan antarsiswa, antarsekolah, antarkabupaten dan antarprovinsi.
Tes sumatif, meskipun dapat dipakai untuk pemeringkatan, tidak memberikan informasi apa-apa tentang yang terjadi di kelas, bagaimana kualitas guru mengajar, serta ketersediaan dan akses siswa terhadap materi pembelajaran dan kualitas pendidikan. Karena itu, seandainya saja seorang siswa dapat mengerjakan soal Matematika dalam UN dan memperoleh nilai 10, kita tidak dapat otomatis mengatakan bahwa guru yang mengajar di sekolah tersebut kompeten, sarana dan prasarana lengkap, serta kualitas pendidikan baik.
Bahaya distorsi
Kerancuan pengertian antara tes formatif dan sumatif serta membabi buta menerapkannya secara bersamaan sebagai paket tujuan evaluasi pendidikan berbeda akan melahirkan manipulasi dan pretensi tanpa dasar kenyataan. Bahaya dari distorsi pemikiran seperti ini adalah seolah-olah angka-angka statistik hasil UN adalah realitas nyata dunia pendidikan kita.
Selama 10 tahun pelaksanaan UN, kita tahu rata-rata kelulusan siswa kita hampir 98 persen. Tak ada bedanya di Papua ataupun di Jakarta. Jadi, dengan hasil UN ini, bukankah pendidikan kita baik-baik saja? Toh di Papua dan di Jakarta hasilnya tak jauh beda? Inilah pembodohan publik yang terjadi melalui kebijakan UN.
Ketika UN jadi parameter untuk mengukur keberhasilan pendidikan, kita sebenarnya sedang melanggengkan sebuah kebijakan pendidikan yang penuh kepura-puraan dan kemunafikan.
Mempergunakan hasil UN untuk melihat indeks kompetensi sekolah merupakan kesesatan berpikir karena tes sumatif tidak mampu memberikan informasi tentang proses belajar-mengajar di sebuah unit pendidikan. Hasil nilai UN hanya dapat menunjukkan jumlah soal yang dijawab benar oleh seorang siswa dalam tes itu pada saat itu, tanpa kita tahu dari mana mereka memperoleh jawaban benar tersebut!  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar