|
“Kalau mau jalan keluar
cepat, caranya adalah dengan menggeser partai keluar dari percaturan pemilihan
kepala daerah”
ADA satu hal menarik dari persidangan Ahmad Fathanah,
terdakwa kasus korupsi impor daging sapi. Anis Matta, Presiden Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), ketika duduk sebagai saksi mengatakan, adalah wajar setoran Rp
8 miliar kepada partai politik dari calon kepala daerah (SM, 27/9/13).
Namun demikian, Anis berujar duit itu bukanlah mahar
melainkan biaya untuk menggerakkan tim pemenangan calon kepala daerah. Keterangan
tersebut muncul tatkala majelis hakim tindak pidana korupsi mendalami dugaan
mengalirnya uang dari kantong Ilham Arief Sirajuddin, ‘’mantan’’ calon Gubernur
Sulawesi Selatan, ke PKS.
Andai apa yang disampaikan oleh Presiden PKS benar bahwa
duit miliaran itu bukan untuk mahar melainkan dana pemenangan maka kita,
sebagai rakyat, setidak-tidaknya mendapat dua informasi. Pertama; jumlah dana
yang dibutuhkan untuk maju sebagai calon kepala daerah ternyata sangat besar.
Kedua; tampaknya proses politik berbiaya mahal bukan lagi sekadar asumsi, bukan
omong-kosong, melainkan sebuah fakta dan nyata.
Politik berbiaya mahal ini, meski bukan satu-satunya sebab,
jangan-jangan yang memicu tidak primanya pelaksanaan pemerintahan di daerah,
atau mungkin juga di pusat. Saya pernah membahas soal politik biaya mahal yang
kemungkinan menjadi penyebab banyaknya —walau tidak semua— kepala daerah
ditetapkan sebagai tersangka korupsi (SM, 10/4/13).
Pemimpin di daerah akan menerapkan pola 2-1-2 dalam lima
tahun kepemimpinannya. Dua tahun pertama bekerja untuk mengembalikan anggaran
pencalonan dalam pilkada. Setahun di tengah dipakai bekerja melayani publik.
Kemudian, dua tahun terakhir digunakan untuk mengumpulkan modal bagi
pencalonannya kembali. Dengan pengakuan Anis Matta, secara tidak langsung, pola
2-1-2 dalam penerapan pelaksanaan pemerintahan daerah terjawab sudah.
Etika Partai
Saya pikir, jika dibiarkan, politik berbiaya mahal akan
melambungkan efek domino atas tiap persoalan sampai pada titik korupsi. Lalu,
bagaimana cara menekan politik berbiaya mahal ini supaya luapannya tidak
menjadi-jadi? Atau dalam lingkup khusus, bagaimana mencegah agar tidak ada
mahar yang dibayar untuk partai politik?
Kalau mau jalan keluar cepat, caranya adalah dengan
menggeser partai keluar dari percaturan pemilihan kepala daerah. Hanya, pilihan
ini agak susah diambil. Aturan hukum memberi ruang bagi partai untuk nimbrung
ke dalam kancah pilah-pilih orang nomor 1 di daerah. Pasal 56 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur calon
pasangan kepala daerah diajukan oleh partai politik atau gabungan partai
politik.
Dengan aturan pada hukum pemerintahan daerah, hampir pasti
tak ada celah yang tersedia untuk menendang jauh partai dari proses pilkada.
Lagi pula, partai politik sejatinya diakui sebagai salah satu instrumen
demokrasi dan bernegara yang diharapkan akan membawa dan menafsirkan keinginan
serta keluh-kesah rakyat.
Langkah memprevensi timbulnya mahar untuk partai, mau tak
mau, berasal dari diri atau internal partai sendiri. Ada etika dari tiap partai
politik yang dimaktubkan dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya yang
mengajarkan supaya partai dilarang melakukan tindak pidana korupsi atau
perbuatan yang semacam dengan korupsi. Bahkan, partai dilarang menampung dana
haram, atau yang mengarah ke haram, dari semua sumber yang tidak jelas,
meragukan, apalagi melawan hukum.
Etika partai ini apabila diterapkan lebih spesifik,
misalnya, tatkala partai menerima bantuan keuangan dari negara, yang berasal
dari APBN dan/atau APBD, partai wajib menyampaikan laporan
pertanggungjawabannya secara berkala. Setahun sekali partai menyerahkan data
hasil pengelolaan keuangan yang berasal dari kantong negara kepada pemerintah
setelah diperiksa oleh BPK. Jika partai keras kepala, dalam arti tetap
melanggar maka bantuan keuangan dari negara akan dihentikan.
Pasal 13 Huruf d Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik memerintahkan agar partai menjunjung tinggi supremasi hukum,
demokrasi, dan hak asasi manusia. Ketentuan ini bermakna partai tidak boleh
melanggar ketentuan hukum. Termasuk hukum tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi.
Mahar untuk partai akan menghambat proses demokrasi,
mencederai hukum, dan membodohkan rakyat. Mahar untuk partai harus serius
dinilai sebagai sesuatu yang menghambat kewajiban partai dalam menjunjung
tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia. Ini berarti mahar
untuk partai adalah hal yang tidak wajar serta harus ditolak. Penolakan ini
bersifat fardu ain, tidak ada
tawar-menawar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar