Rabu, 09 Oktober 2013

Mahar untuk Partai Politik

Mahar untuk Partai Politik
Hifdzil Alim  ;  Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM,
Ketua Bidang Nonlitigasi LPBH PWNU DIY
SUARA MERDEKA, 08 Oktober 2013


“Kalau mau jalan keluar cepat, caranya adalah dengan menggeser partai keluar dari percaturan pemilihan kepala daerah”

ADA satu hal menarik dari persidangan Ahmad Fathanah, terdakwa kasus korupsi impor daging sapi. Anis Matta, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), ketika duduk sebagai saksi mengatakan, adalah wajar setoran Rp 8 miliar kepada partai politik dari calon kepala daerah (SM, 27/9/13).

Namun demikian, Anis berujar duit itu bukanlah mahar melainkan biaya untuk menggerakkan tim pemenangan calon kepala daerah. Keterangan tersebut muncul tatkala majelis hakim tindak pidana korupsi mendalami dugaan mengalirnya uang dari kantong Ilham Arief Sirajuddin, ‘’mantan’’ calon Gubernur Sulawesi Selatan, ke PKS.

Andai apa yang disampaikan oleh Presiden PKS benar bahwa duit miliaran itu bukan untuk mahar melainkan dana pemenangan maka kita, sebagai rakyat, setidak-tidaknya mendapat dua informasi. Pertama; jumlah dana yang dibutuhkan untuk maju sebagai calon kepala daerah ternyata sangat besar. Kedua; tampaknya proses politik berbiaya mahal bukan lagi sekadar asumsi, bukan omong-kosong, melainkan sebuah fakta dan nyata.

Politik berbiaya mahal ini, meski bukan satu-satunya sebab, jangan-jangan yang memicu tidak prima­nya pelaksanaan pemerintahan di daerah, atau mungkin juga di pusat. Saya pernah membahas soal politik biaya mahal yang kemungkinan menjadi penyebab banyaknya —walau tidak semua— kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi (SM, 10/4/13).

Pemimpin di daerah akan menerapkan pola 2-1-2 dalam lima tahun kepemimpinannya. Dua tahun pertama bekerja untuk mengembalikan anggaran pencalonan dalam pilkada. Setahun di tengah dipakai bekerja melayani publik. Kemudian, dua tahun terakhir digunakan untuk mengumpulkan modal bagi pencalonannya kembali. Dengan pengakuan Anis Matta, secara tidak langsung, pola 2-1-2 dalam penerapan pelaksanaan pemerintahan daerah terjawab sudah.

Etika Partai

Saya pikir, jika dibiarkan, politik berbiaya mahal akan melambungkan efek domino atas tiap persoalan sampai pada titik korupsi. Lalu, bagaimana cara menekan politik berbiaya mahal ini supaya luapannya tidak menjadi-jadi? Atau dalam lingkup khusus, bagaimana mencegah agar tidak ada mahar yang dibayar untuk partai politik?

Kalau mau jalan keluar cepat, caranya adalah dengan menggeser partai keluar dari percaturan pemilihan kepala daerah. Hanya, pilihan ini agak susah diambil. Aturan hukum memberi ruang bagi partai untuk nimbrung ke dalam kancah pilah-pilih orang nomor 1 di daerah. Pasal 56 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur calon pasangan kepala daerah diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Dengan aturan pada hukum pemerintahan daerah, hampir pasti tak ada celah yang tersedia untuk menendang jauh partai dari proses pilkada. Lagi pula, partai politik sejatinya diakui sebagai salah satu instrumen demokrasi dan bernegara yang diharapkan akan membawa dan menafsirkan keinginan serta keluh-kesah rakyat.

Langkah memprevensi timbulnya mahar untuk partai, mau tak mau, berasal dari diri atau internal partai sendiri. Ada etika dari tiap partai politik yang dimaktubkan dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya yang mengajarkan supaya partai dilarang melakukan tindak pidana korupsi atau perbuatan yang semacam dengan korupsi. Bahkan, partai dilarang menampung dana haram, atau yang mengarah ke haram, dari semua sumber yang tidak jelas, meragukan, apalagi melawan hukum.

Etika partai ini apabila diterapkan lebih spesifik, misalnya, tatkala partai menerima bantuan keuangan dari negara, yang berasal dari APBN dan/atau APBD, partai wajib menyampaikan laporan pertanggungjawabannya secara berkala. Setahun sekali partai menyerahkan data hasil pengelolaan keuangan yang berasal dari kantong negara kepada pemerintah setelah diperiksa oleh BPK. Jika partai keras kepala, dalam arti tetap melanggar maka bantuan keuangan dari negara akan dihentikan.

Pasal 13 Huruf d Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik memerintahkan agar partai menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia. Ketentuan ini bermakna partai tidak boleh melanggar ketentuan hukum. Termasuk hukum tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Mahar untuk partai akan menghambat proses demokrasi, mencederai hukum, dan membodohkan rakyat. Mahar untuk partai harus serius dinilai sebagai sesuatu yang menghambat kewajiban partai dalam menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia. Ini berarti mahar untuk partai adalah hal yang tidak wajar serta harus ditolak. Penolakan ini bersifat fardu ain, tidak ada tawar-menawar. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar