Kamis, 10 Oktober 2013

Krisis Politik Suriah dalam Tinjauan Geopolitik Rusia

Krisis Politik Suriah dalam Tinjauan Geopolitik Rusia
Muhammad Ibrahim Hamdani  Asisten Direktur dan Staf Peneliti di Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI) Universitas Indonesia.
JARINGNEWS, 08 Oktober 2013



Krisis politik Suriah yang terjadi antara pihak pemerintah pimpinan Presiden Bashar Al Assad dengan pihak oposisi dan pemberontak bersenjata telah melibatkan beberapa negara besar dan berpengaruh seperti Rusia, China dan Iran di satu sisi serta Amerika Serikat, Saudi Arabia, Turki, Inggris dan Perancis di sisi lain. Negara-negara tersebut mengambil sikap dan posisi politik yang berbeda terhadap Suriah sesuai dengan kepentingan politik nasional dan situasi geopolitik internasional yang dihadapi oleh masing-masing negara.

Jika Rusia, China dan Iran memiliki kecenderungan sikap dan posisi politik pro terhadap rezim Presiden Bashar Al-Assad maka Saudi Arabia, Turki, Inggris, Perancis dan Amerika Serikat (AS) cenderung bersikap dan mengambil posisi politik kontra terhadap rezim ‘status quo’ dan otoriter tersebut.

Hal ini menyebabkan lima negara anggota tetap Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yakni AS, Inggris, Perancis, Rusia dan China, gagal mencapai kesepakatan konstruktif untuk menyelesaikan krisis politik dan kemanusiaan di Suriah. Bahkan Rusia selalu menggunakan hak vetonya untuk menggagalkan usulan draft resolusi DK PBB yang dinilai merugikan kepentingan rezim Assad di Suriah.    

Kegagalan DK PBB dalam menemukan kata sepakat untuk menyelesaikan krisis Suriah telah menyebabkan konflik berlarut-larut dan korban jiwa yang terus bertambah di Suriah. Observatorium Suriah untuk Hak Asasi manusia (HAM), sebuah organisasi pengawas HAM, menyatakan bahwa jumlah korban tewas sejak awal pemberontakan, Maret 2011, berjumlah 110.437 orang meliputi 40.146 orang warga sipil yang terdiri dari hampir 4.000 orang perempuan dan lebih dari 5.800 anak-anak.

Lembaga itu juga merilis laporan mengenai tewasnya 21.850 orang pejuang pemberontak, 27.654 tentara Suriah, 17.824 milisi pro rezim Assad dan 171 anggota Hizbullah, Syi’ah Lebanon, serta 2.726 korban tewas tanpa identitas (31 Agustus 2013).

Sebagai salah satu anggota DK PBB Rusia memilih sikap dan posisi politik untuk menjaga status quo dan stabilitas politik Suriah karena kedua negara memiliki hubungan historis dan diplomatik yang sangat erat dan lama sejak masa kejayaan Uni Soviet.

Rusia konsisten menentang keras intervensi militer asing dalam bentuk apa pun terhadap Suriah serta giat membangun opini internasional guna mendukung proses negosiasi dan perundingan damai sebagai satu-satunya solusi untuk mengakhiri krisis politik dan kemanusiaan di Suriah.

Pemerintah Rusia pun meragukan penggunaan senjata kimia oleh rezim Bashar Al Assad untuk menyerang pihak oposisi dan pemberontak Suriah; bahkan negeri ‘Beruang Merah’ itu justru menuding pihak pemberontaklah yang menggunakan senjata kimia ‘Gas Sarin’ terhadap tentara dan rakyat Suriah guna memancing intervensi militer negara-negara ‘Barat’.

Dalam wawancara dengan Associated Press (AP) dan Televisi Rusia Channel 1 Perdana Menteri Rusia, Vladimir Putin, menyatakan: “Dari sudut pandang kami, tampaknya tidak masuk akal Angkatan Bersenjata, Angatan Bersenjata Reguler yang sekarang berada di beberapa wilayah mengepung pemberontak, disebut-sebut menggunakan senjata kimia. Hal itu sebagai dalih untuk menerapkan sanksi terhadap mereka, termasuk penggunaan kekuatan”.

“Seluruh argumen itu ternyata tak bisa dipertahankan, tetapi mereka tetap menggunakannya untuk melancarkan serangan militer yang di Amerika Serikat sendiri dianggap sebagai suatu kesalahan. Apakah kita melupkan itu?” Ujar PM Rusia, Vladimir Putin, saat membandingkan situasi Suriah dengan Perang Melawan Terorisme di Iraq pada 2013 (04-09-13).

Pemerintah AS menuduh Pemerintah Iraq di bawah rezim Saddam Husein memiliki Senjata Pemusnah Massal (Weapon Mass Destruction/WMD) dan menggunakannya untuk menyerang kelompok oposisi dan separatis Kurdistan. Meskipun data tersebut dianggap oleh PBB sebagai data yang salah, namun AS tetap menggunakannya sebagai alasan pembenar untuk menyerang Irak pada 2003.  

Adapun Pemerintah AS, Inggris, Turki dan Perancis berkeyakinan bahwa senjata kimia ‘Gas Sarin’ telah digunakan oleh Rezim Bashar Al Assad untuk menyerang pihak oposisi dan pasukan pemberontak anti pemerintah hingga menewaskan ribuan korban jiwa.

“Penggunaan senjata kimia di Suriah adalah nyata dan berdasarkan fakta. Suriah telah menggunakan senjata kimia berskala besar dalam serangan rabu dini hari yang menewaskan antara 100 sampai 1300 orang berdasarkan sumber yang bervariasi. Penggunaan senjata kimia adalah tak termaafkan dan tak bermoral,” tegas John Kerry, Menteri Luar Negeri AS (26-08-13).

“Tindakan Amerika di Suriah akan ‘terbatas,’ dirancang untuk mencegah pemerintah Suriah kembali melakukan serangan gas beracun terhadap rakyatnya sendiri dan mengurangi kemampuan Suriah untuk melakukannya. Aksi militer Amerika di Suriah tidak akan melibatkan ‘pengerahan pasukan Amerika ke daratan Suriah’”, tegas Presiden AS, Barrack Hussein Obama, dalam pidato mingguannya (07-09-13).

Faktor lain yang menyebabkan eratnya hubungan diplomatik antara Suriah dan Rusia ialah hubungan militer kedua negara yang sangat strategis dan saling menguntungkan kedua belah pihak. Rusia memiliki sebuah pangkalan militer angkatan laut di Pelabuhan Tartous, Rusia, sebagai warisan dari hubungan diplomatik antara United Soviet Socialist Republik (USSR/Uni Soviet) dengan Suriah di masa lalu.

Sejak tahun 1972 Presiden Suriah, Hafez Al-Assad, telah menandatangani perjanjian pakta pertahanan keamanan dengan Uni Soviet, bahkan pemerintah Moskow telah mengirimkan bantuan senjata kepada Suriah senilai 135 juta US$ sepanjang era itu. Perjanjian ini kemudian diperpanjang selama 20 tahun terakhir melalui penandatangan pakta kerja sama lanjutan oleh Presiden Suriah, Hafez Al Assad, dan Sekretaris Jenderal (Sekjend) Uni Soviet, Leonid Brezhnev, pada tahun 1980.
  
Pada 1987 pemimpin Uni Soviet terakhir, Mikhail Gorbachev, pernah menjamin akan terus melanjutkan bantuan ekonomi dan militernya untuk Suriah dan janji ini terus ditepati oleh Rusia hingga Presiden Hafez Al Assad digantikan oleh Presiden Bashar Al Assad. Harian Washington Post juga merilis adanya transaksi penjualan senjata dari Rusia ke Suriah hingga mencapai 1,5 miliar US$, termasuk pesawat tempur MiG-29 dan S-300 selama abad ke 20. 

Dengan demikian Pemerintah Rusia bermaksud mempertahankan aliansi politik tradisionalnya dengan Suriah sembari mengamankan fasilitas pangkalan militer luar negeri terakhirnya di Pelabuhan Tartous dengan cara mendukung terwujudnya status quo dan stabilitas politik Suriah di bawah rezim Presiden Bashar Al Assad.

Rusia juga bermaksud menjadi aktor politik internasional yang mampu mengimbangi dan menandingi peran ‘Polisi Dunia’ yang selama ini diperankan oleh AS, di kawasan Timur Tengah dengan cara membangun aliansi dan kerja sama strategis dalam bidang politik, ekonomi dan militer bersama-sama China dan Iran sebagai sekutu tradisionalnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar