Selasa, 01 Oktober 2013

Krisis dan Pekerjaan Rumah

Krisis dan Pekerjaan Rumah
Ahmad Erani Yustika ;  Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya, Direktur Eksekutif Indef
KORAN SINDO, 01 Oktober 2013


Krisis nilai tukar belakangan  ini, meskipun  sekarang agak mereda,  untuk kesekian kali memberikan  peringatan dan hikmah kepada  pemerintah agar mengelola  perekonomian dengan  dasar-dasar yang benar. 

Pertama,  pada pokoknya perekonomian  berjalan dan diuji  ketangguhannya dengan basis  fundamental ekonomi. Kinerja  fundamental ekonomi bukan  hanya ditunjukkan oleh pertumbuhan  ekonomi, melainkan  keseluruhan derap ekonomi  yang bisa dilihat dari stabilitas  ekonomi (inflasi, nilai tukar,  dan fiskal), aspek sosial–ekonomi  (kemiskinan, pengangguran,  dan ketimpangan), serta  daya dorong ekonomi (konsumsi  rumah tangga, investasi,  dan perdagangan).  

Kedua, relasi dengan negara  lain ataupun dunia internasional  harus dalam kerangka  membangun penguatan ekonomi  domestik dan penambahan  kapasitas ekonomi nasional,  bukan sekadar membuka perekonomian.  Jika keterbukaan  ekonomi dilakukan tanpa  urutan dan tingkat kedalaman  yang terukur, justru malapetaka  yang bakal terjadi.  

Fundamental Ekonomi  

Pemerintah sudah lama diingatkan  bahwa jalan perekonomian  telah menuju ke arah  yang menyimpang. Tanda-tanda  fundamental ekonomi  yang keropos sudah ditunjukkan  dengan sangat jelas, namun  pemerintah bergeming. Alih-alih  melakukan perubahan kebijakan  agar kemudi perekonomian  menjadi lurus, pemerintah  malah kukuh bahwa situasi  ekonomi sedang sehat dan terus  tumbuh dengan meyakinkan.  

Pemerintah selalu menyampaikan  pertumbuhan ekonomi  yang tinggi, rasio utang yang  rendah, pendapatan per kapita  yang makin meningkat, dan investasi  yang melambung sebagai  contoh kekuatan fundamental  ekonomi nasional.  Puja-puji dari negara lain  dan lembaga internasional kian  membuat pemerintah terlena,  bahkan terjebak dalam sikap  pongah, sehingga alpa untuk  melihat kelemahan ekonomi  yang sedang terjadi. Krisis  ekonomi yang kerap terjadi  (dengan interval waktu yang  kian pendek) seperti pada 2008,  2010, dan 2013 bahkan tidak  membuat pemerintah lekas  siuman.  

Dari sekian banyak persoalan  yang terkait rapuhnya fundamental  ekonomi, sebagian  dapat dideskripsikan sebagai  berikut. Pada era 1990-an dan  pascareformasi ekonomi  (1998) proses transformasi  ekonomi mengalami masalah  yang mendasar. Sektor industri  yang dikembangkan tidak bertumpu  pada sektor basis sehingga  pendalaman industrialisasi  terkendala banyak rintangan.  Sangat sedikit  komoditas primer  strategis nasional yang  diolah menjadi barang  olahan sehingga menjadi  andalan ekspor.  

Sebagian besar ekspor  malah didonasikan  oleh barang-barang  primer yang harganya  rendah dan fluktuatif  di pasar internasional.  Akibat itu, sektor  industri berkembang  dengan tanpa mengakselerasi  sektor pertanian (dalam arti  luas) dan sedikit membuka  lapangan kerja. Selanjutnya  sektor industri itu juga sulit  maju karena bahan baku pasokannya  ditentukan oleh ketersediaan  di luar negeri yang  membuat daya saingnya rendah.  Hasilnya, Indonesia secara  berangsur sejak 2005 malah  mengalami gejala deindustrialisasi  (peran sektor industri  terus menurun).  

Demikian pula, soal lain  yang cukup meresahkan adalah  ketergantungan investasi dari  pemain luar negeri. Investasi  merupakan tulang punggung  perekonomian karena menyerap  tenaga kerja dan menciptakan  barang/jasa yang bisa diperjualkan  di pasar. Dalam konteks  ini perlu diperhatikan bahwa  faktor kepemilikan investasi  menjadi unsur penting sebab  nisbah ekonomi ditentukan  oleh kepemilikan tersebut.  Lazimnya, pemilik (investor)  akan mendapatkan bagian yang  lebih besar.  Jadi, isunya bukan hanya  kenaikan investasi, melainkan  juga siapa pemilik investasi tersebut.  

Pada titik ini persoalan  investasi di Indonesia mengemuka  yakni sebagian besar  penanaman modal disumbang  oleh investasi asing (sekitar  70% dari total nilai investasi).  Aneka kebijakan dan insentif  investasi diberikan kepada investor  asing, jarang menyentuh  investasi dalam negeri, sehingga  wajar bila nisbah yang diterima  Indonesia lebih sedikit.  Sebagian besar laba PMA itu  dibawa lagi ke negara asalnya  (repatriasi) dan menjadi sumber  defisit transaksi berjalan.  

Kontrol Modal  

Pola yang sama juga terjadi  pada investasi portofolio dan  sektor keuangan. Liberalisasi  sektor keuangan telah berlangsung  di Indonesia sejak pertengahan  1960-an dan makin  kencang pada dekade 1980-an.  Saat ini Indonesia merupakan  negara dengan tingkat  keterbukaan sektor keuangan  yang tinggi di ASEAN, hanya di  bawah Singapura. Bank-bank  asing sangat mudah masuk dan  membuka cabang di Indonesia  pada saat negara lain begitu  protektif untuk menerima  kehadiran bank asing. Jumlah  bank asing dan cabang yang  dibuka tumbuh pesat belakangan  ini di Indonesia. 

Demikian  pula, instrumen surat berharga  dan pasar saham disesaki oleh  investor asing, jauh meninggalkan  pemain dalam negeri.  Pada saat krisis nilai tukar,  penyebab pendalaman krisis itu  tak lain berasal dari sektor keuangan.  Pemegang surat berharga,  baik SBI maupun SUN,  dengan cepat menjualnya saat  ekonomi sedang luruh sehingga  menekan lebih dalam nilai  tukar rupiah. Di pasar saham  situasi juga sama, para pelaku  ekonomi di pasar saham ramairamai  menjual saham (yang  70% dikuasai oleh asing) sehingga  indeks harga saham  gabungan (IHSG) luluh lantak  ke titik nadir.  

Seandainya pemerintah tidak  terlalu membuka diri sektor keuangannya,  cukupmudahuntuk  mengendalikan fluktuasi di  pasar keuangan yang kemudian  menjadi sumber pemberat  krisis nilai tukar. Sektor keuangan  yang tadinya digunakan  sebagai pendukung dan  pelayan sektor riil justru  menjadi sumber pendapatan/  spekulasi dan  menjadi dunia ekonomi  yang terpisah dengan  sektor riil. Akibat itu,  pertumbuhan sektor  keuangan tidak memiliki  korelasi dengan  gerak dan dinamika  sektor riil.  

Dalam situasi seperti  ini, pemerintah dan BI  mestinya memanfaatkan  krisis nilai tukar  sebagai cara untuk mengeluarkan  racun spekulasi di sektor  keuangan yang dikenal dengan  istilah hot money. Pemerintah  dan BI perlu lekas bertemu  untuk merumuskan perubahan  UU control modal sehingga uang  dari luar negeri tidak seenaknya  keluar-masuk ke pasar Indonesia  sesuka hatinya. Demikian  pula, instrumen SBI dan SUN  dipastikan harus steril dari  unsur spekulasi yang berharap  laba dalam jangka pendek yaitu  dengan jalan meningkatkan  lama masa pegang surat berharga  tersebut misalnya minimal satu tahun.  

Sangat disayangkan  apabila BI saat ini justru  membuka kembali kepemilikan  SBI dalam jangka pendek (satu  bulan atau tiga bulan), padahal  praktik ini telah menjadi sumber  pendalaman krisis.  Singkatnya, pekerjaan rumah  sebetulnya sudah terbentang  jelas, tinggal apakah  pemerintah dan BI memiliki  kemauan melakukan penataan  sebagai dasar penguatan fundamental  ekonomi pada masa  mendatang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar