|
BAGAIMANAKAH
penjelasan akademik tentang problematika hakim di Indonesia yang berimplikasi
pada buruknya putusan?
Mengapa tidak banyak putusan hakim
bernilai keadilan tinggi dan luhur? Malah sebaliknya, ada begitu banyak yang
buruk karena cacat integritas dan berdampak merugikan orang banyak. Apa yang
salah?
Mulut undang-undang
Hakim di Indonesia masih memegang
kuat adagium: ”Hakim adalah mulut undang-undang”. Diadopsi dari hukum Belanda,
hal ini dipercaya sebagai konsekuensi sistem hukum kodifikasi (Kontinental).
Inilah penyebab ”kemandekan” hukum kita. Hakim tidak berani melakukan terobosan
ketika undang-undang tidak lagi menampung rasa keadilan masyarakat. Atas nama
teks undang-undang, hakim lebih
mementingkan terpenuhinya standar dan prosedur.
Kurang disadari para hakim bahwa
keadilan hukum tidak identik dengan keadilan substansial. Keadilan hukum
”sekadar” memenuhi standar dan prosedur, sedangkan keadilan substansial adalah
terpenuhinya rasa keadilan masyarakat.
Logika keadilan hukum berpotensi
memunculkan korban hukum, terutama orang miskin yang melakukan kriminal kecil.
Sangat mudah membuktikan ”kejahatan” orang miskin hanya dengan mencocokkan
hasil penyidikan polisi, tuduhan jaksa, tersedianya barang bukti, dan bunyi
undang-undang.
Sebaliknya pembuktian materiil dan
terpenuhinya standar dan prosedur hukum itu bisa sangat manipulatif, apabila
dimuati kepentingan dan uang. Terlalu banyak contoh tindakan korupsi, yang
tidak bisa dihukum karena dalih tidak terpenuhinya unsur kejahatan. Padahal
perbuatan korupsi dalam realitas jauh lebih luas cakupannya daripada unsur yang
didefinisikan dalam UU No 31/1999, yaitu ”perbuatan menguntungkan diri
sendiri/kelompok, penyalahgunaan kekuasaan, dan ada kerugian negara”. Karena
sempitnya definisi, hanya kasus berskala besar, itu pun berkat keberanian
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), korupsi dapat dibongkar.
Korban hukum berikutnya adalah
mereka yang tidak punya kuasa dan dikalahkan di pengadilan. Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) atas kasus pilkada yang kemudian terbukti cacat sekalipun
dianggap harus tetap dijalankan karena merupakan putusan final. Padahal, sudah
jelas merugikan masyarakat luas dan membodohi akal sehat.
Pada masa kini, adagium ”hakim
sebagai mulut undang-undang” sudah ditinggalkan, bahkan di negara dengan sistem
hukum Kontinental sekalipun, seperti Belanda, yang akar hukumnya sama dengan
hukum kita. Sekarang di Belanda, putusan hakim semakin dianggap sebagai sumber
hukum yang penting.
Dengan demikian, terjadi pertemuan yang semakin dekat
antara sistem common law dan Kontinental. Sangat disadari bahwa hakim
itu memiliki kedudukan strategis sebagai pembuat hukum kedua (secondary
legislature), setelah parlemen (primary legislature). Hakim berkesempatan emas
membuat hukum baru melalui putusan-putusannya, apalagi saat hukum tidak memadai.
Problem
yuridis
Sorotan masyarakat terhadap hakim
sangat tajam karena kinerja hakim yang lemah. Namun, tidak sepenuhnya hakim
salah karena di samping problem paradigmatis di atas, hakim juga diposisikan
secara keliru oleh hukum kita. Amandemen ketiga UUD 1945 menyerahkan kekuasaan
kehakiman sepenuhnya kepada lembaga Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan di
bawahnya (Pasal 24 Ayat 1 dan 2), dikuatkan SEMA 2005. Kemandirian hakim secara
individual tidak diatur tegas, padahal hakim membutuhkannya dalam menjalankan
fungsi yudisial.
Posisi ini melahirkan relasi
atasan-bawahan antara hakim dan ketua pengadilan, mengaburkan posisi kekuasaan
kehakiman dan kemandirian hakim. Dalam mengadili perkara, hakim lebih mengabdi
kepada kepentingan birokrasi (atasan) daripada memberi putusan sesuai dengan
keyakinan keadilannya. Hakim takut dinilai oleh atasan dan Komisi Yudisial
(KY). Tentu ada banyak hakim baik dan progresif, tetapi mereka tidak berdaya.
Apalagi reformasi birokrasi yang menggabungkan urusan administrasi dan yudisial
di bawah satu atap MA; tidak sepenuhnya berhasil. MA hanya menggantikan tirani
kekuasaan pemerintah (Kemenkumham), terutama dalam menentukan mutasi dan
promosi hakim.
Komisi
Yudisial
Ketika ketidakpercayaan masyarakat
kepada hakim semakin memuncak seperti saat ini, muncul upaya menghidupkan
kembali kewenangan pengawasan eksternal KY terhadap hakim, yang pernah dicabut
MK. Barangkali inisiatif ini akan terhadang oleh klausul tentang putusan MK
adalah final. Namun, apabila interpretasi terhadap ketentuan ini tidak steril
dari realitas, dapat saja dicarikan strategi hukumnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah
bagaimana transparansi dan akuntabilitas KY sehingga kita bisa percaya bahwa
mereka mampu melakukan fungsinya? Harus dapat dipastikan bahwa komisioner KY
adalah mereka yang memiliki karakter negarawan, berintegritas, serta
berpengetahuan luas tentang instrumen hukum dan hak asasi manusia, termasuk
perempuan.
Tidak kalah pentingnya adalah
keberanian menyuarakan penyimpangan hakim agar putusan dapat
dipertanggungjawabkan kepada hukum dan publik pencari keadilan. Sebaliknya, KY
juga harus memiliki mekanisme untuk mengapresiasi hakim yang jujur dan
bermartabat sebab merekalah yang menjadi benteng terakhir penjaga keadilan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar