Minggu, 06 Oktober 2013

Demokrasi dalam Phantom State

Demokrasi dalam Phantom State
Ahmad Millah Hasan  ;  Penulis Buku “Pembajakan Demokrasi”, 
Direktur Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PeSat)
KORAN SINDO, 05 Oktober 2013


Kisruh daftar pemilih tetap (DPT) mewarnai persiapan Pemilu 2014. Kekisruhan itu bahkan berbuntut pada penundaan penetapan DPT oleh Komisi II DPR bersama KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dirjen Kependudukan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Dukcapil Kemendagri) dalam rapat kerja, Rabu (11/09). 

Awalnya rencana penetapan DPT di tingkat kabupaten/kota dilakukan pada 7-13 September. Namun, rapat kerja memutuskan diundur selambat-lambatnya 30 hari, terhitung sejak 13 September 2013. KPU berdalih, pihaknya tengah menyelesaikan pemutakhiran data pemilih melalui daftar pemilih sementara hasil perbaikan (DPSHP). Parahnya, KPU dan Kementerian Dalam Negeri samasama saling lempar kesalahan. Antara dua lembaga negara tersebut sama-sama merasa paling benar. 

Kemendagri sebagai muara data kependudukan dan penyedia daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) merasa data yang diberikan ke KPU telah sangat akurat. Sedangkan KPU sebagai pelaksana pemutakhiran data pemilih merasa DP4 yang diberikan Kemendagri tidak sesuai data penduduk di lapangan sehingga KPU merasa terhambat dalam menyiapkan daftar pemilih yang akurat. Kisruh DPT menjelang pemilu sebenarnya bukan hal baru dalam dunia politik Indonesia. 

Pada persiapan Pemilu 2009, kisruh soal DPT sebenarnya telah terjadi. Bedanya, pada Pemilu 2009, DPT bermasalah diketahui tak lama sebelum pemilu digelar. DPT yang bermasalah itu bahkan telah ditetapkan oleh KPU sehingga tak ada waktu untuk melakukan perbaikan. Saat itu DPT bermasalah pemilu berasal dari terkuaknya DPT Pilkada Jawa Timur 2008. Adalah Khofifah Indar Parawansa selaku calon gubernur Jawa Timur dan Kapolda Jatim saat itu, Herman S Sumawiredja, yang membuka kasus itu ke publik. 

Tak tanggung-tanggung, saat itu ditemukan ratusan ribu pemilih fiktif dengan modus yang berbeda-beda. Mulai dari duplikasi nomor induk kependudukan (NIK), duplikasi nama, usia di bawah umur, ribuan desa yang komposisi pemilih laki-laki dan perempuannya tak masuk akal, dan pemilih yang tak memiliki NIK. Di sisi lain, di banyak daerah ditemukan ratusan ribu pemilih yang tak masuk dalam DPT.

Gara-gara kasus dugaan pemalsuan DPT itu, Ketua KPU Jawa Timur saat itu, Wahyudi Purnomo, sempat ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jatim. Persoalan DPT Pilkada Jatim lantas menjadi sorotan publik karena DPT yang sama ternyata dipakai untuk Pemilihan Umum Legislatif 2009. Di beberapa tempat memang ada verifikasi ulang untuk pemilih, tapi umumnya hanya untuk menambah pemilih yang belum terdaftar. Masalah serupa muncul di daerah lain. 

Di Papua misalnya sekitar 127.000 pemilih ternyata fiktif. Setelah diteliti banyak kalangan, persoalan DPT ternyata tak hanya di Jatim dan Papua, tapi juga terjadi merata di banyak daerah di Indonesia. Gelombang protes dari masyarakat dan aktivis prodemokrasi pun akhirnya muncul di berbagai daerah. Mereka merasa telah terjadi pembajakan demokrasi di Indonesia. 

Tudingan bahwa KPU turut “bermain” dalam pemilu pun marak disuarakan masyarakat berbagai elemen masyarakat. Namun, apa boleh buat, jarak ditemukannya DPT bermasalah dengan pemilu yang terlalu dekat membuat gelombang protes tak membuahkan hasil apa-apa. Pemilih yang tak masuk DPT tetap tak bisa menggunakan hak suaranya. Akhirnya Pemilu 2009 berlalu dengan segudang permasalahannya. 

Memang, jika demokrasi ukurannya hanya pemilihan langsung atau tidak langsung, tentu Indonesia adalah negara yang cukup berhasil mengembangkan dan melaksanakan sistem demokrasi. Betapa tidak, di negeri dengan lebih dari 250 juta jiwa ini, presiden hingga kepala desa dipilih secara langsung. Namun, kualitas demokrasi tidak sebatas itu. Baik dan buruk demokrasi terpotret dari kualitas penyelenggaraan pemilu. 

Untuk itu, jika ingin demokrasi semakin bermartabat, penyelenggaraan pemilu seharusnya dijalankan sesuai prinsip keadilan dan kejujuran, serta penghormatan terhadap nilai, norma, dan aturan hukum yang berlaku. Dalam pemilu ada peserta yaitu partai politik dan capres. Ada pula penyelenggara yaitu KPU. Selain itu, ada pengawas yang diperankan oleh Bawaslu. 

Agar pemilu berjalan jujur dan adil, masing-masing pihaknya harus menjalankan peran dan tugas masing-masing sesuai undang-undang. Kekisruhan akan terjadi manakala ada pihak yang melanggar aturan main. Misalnya, KPU yang bertugas sebagai penyelenggara ternyata ikut “bermain” menjadi peserta. Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie menyatakan, pihaknya telah melakukan pemecatan terhadap 95 anggota KPU daerah yang terindikasi melakukan pelanggaran kode etik terhadap penyelenggaraan pilkada di daerah. 

Perinciannya, pada 2013, lebih dari 60 penyelenggara pemilu dipecat oleh DKPP. Jumlah ini lebih banyak daripada 2012, sebanyak 31 penyelenggara pemilu dipecat DKPP. Fenomena banyaknya pemecatan salah satunya disebabkan faktor latar belakang komisioner KPU di daerah. Rata-rata komisioner KPU daerah berusia muda yang merupakan mantan aktivis dan kebetulan gaji penyelenggara pemilu di daerah terbilang masih rendah. 

Kondisi ini dimanfaatkan sejumlah pihak, terutama calon kepala daerah petahana (incumbent). Temuan itu didapat DKPP di persidangan. Potret buram kinerja KPU di daerah juga terlihat dari tingkat kepuasan publik terhadap hasil pilkada. Jumlah gugatan sengketa pilkada atau perselisihan hasil pemilihan umum ke Mahkamah Konstitusi (MK) masih sangat tinggi. Pada 2012 sebanyak 112 perkara PHPU masuk ke meja MK. 

Sedangkan pada 2011 MK menangani 138 kasus PHPU dan pada 2010 dengan 230 perkara. Memang tidak semua gugatan yang masuk dikabulkan oleh MK. Namun, masih ada praktik pelanggaran dan kecurangan menandakan bahwa demokrasi di Indonesia masih rawan pembajakan. Mulai dari kasus daftar pemilih tetap (DPT), abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan), keterlibatan aparat birokrasi, mandulnya Bawaslu, KPU yang berpihak, hingga manipulasi dan jual beli hasil penghitungan suara. 

Kini menjelang Pemilu 2014, pelanggaran dan kecurangan pemilu seperti ini masih sangat mungkin terjadi. Apalagi dalam negara demokrasi yang sedang berkembang seperti Indonesia. Namun, pemilu yang demokratis, jujur, dan adil akan menjadi jaminan bagi lahirnya pemimpin yang mampu mengemban amanat dan berpihak pada rakyat. 

Artinya, proses berdemokrasi tanpa kecurangan dan pelanggaran akan mendekatkan demokrasi itu sendiri pada tujuannya yakni kesejahteraan rakyat. Membiarkan apa pun bentuk kecurangan dan pelanggaran pemilu sama dengan terus membiarkan Indonesia menjadi phantom state alias negara hantu yang sistem politiknya hampa tanpa esensi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar