Kamis, 19 September 2013

Stabilitas Kurs Rupiah

Stabilitas Kurs Rupiah
Ryan Kiryanto ;  Pengamat Ekonomi
SUARA KARYA, 19 September 2013


Bank Indonesia (BI) mencatat penurunan cadangan devisa (cadev) sebesar 7,1 miliar dolar AS, dari 105,2 miliar dolar AS per akhir Mei 2013 menjadi 98,1 miliar dolar AS per Juni 2013. Ini lantaran besarnya arus modal keluar yang mencapai Rp 40,1 triliun atau 4,1 miliar dolar AS, terdiri dari 2 miliar dolar AS di saham dan 1,98 miliar dolar AS di pasar SUN (surat utang negara). Keluarnya dana-dana investor asing itu, mau tak mau, menyebabkan pelemahan nilai tukar rupiah yang terus berlangsung sejalan dengan pelemahan mata uang di kawasan.

Untuk mendongkrak posisi cadev, pemerintah perlu menggenjot ekspor lebih baik lagi dan sekaligus mengurangi impor, khususnya barang-barang konsumsi. Beberapa negara yang perekonomiannya membaik--seperti AS, Jepang, dan Korsel--dapat dijadikan destinasi ekspor.

Jika memungkinkan, bisa pula dilakukan rescheduling (penjadwalan ulang) atas pembayaran utang luar negeri pemerintah maupun swasta. Tak kalah pentingnya, pemerintah harus terus mengupayakan terciptanya iklim investasi yang baik agar foreign direct investment (FDI/investasi langsung) masuk (capital inflow). Terakhir, jika terpaksa, kebijakan stop kredit dalam dolar AS untuk sementara waktu juga bisa dilakukan.

Hal yang tak kalah pentingnya, BI tidak harus menjaga kurs rupiah pada level tertentu, tetapi dijaga agar fluktuasi atau volatilitasnya tidak liar. Banyak orang berpandangan bahwa kurs rupiah tidak boleh melampaui Rp 10.000 per dolar AS tanpa ada dasar pijakan teori atau justifikasinya.

Bagi bank sentral, dan juga bagi para pelaku usaha pada umumnya, yang penting kestabilan kurs rupiah. Bukan soal level berapa. Akan sangat menyesatkan kalau kurs rupiah dipatok pada level tertentu, misalnya Rp 10.000 per dolar AS, karena akan memberatkan bank sentral untuk mencapai level itu. Yang penting, nilai tukar rupiah sebaiknya mencerminkan fundamental ekonominya.

Jadi, tidak ada level psikologis Rp 10.000 per dolar AS sebagai patokan, tetapi level ideal yang sesuai dengan fundamental ekonomi negara. Pasar akan memberikan penilaian atau valuasi tingkat kurs mata uang suatu negara dengan mengacu ke fundamental ekonominya. Dengan pandangan seperti ini, maka BI akan mengupayakan untuk menciptakan kestabilan moneter guna mendukung kestabilan makroekonomi secara keseluruhan.

Di sisi pemerintah harus terus diupayakan agar pertumbuhan ekonomi terus membaik. Koreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini oleh Bank Dunia dari 6,2 persen ke 5,9 persen hendaknya tidak menyurutkan ambisi pemerintah untuk mencapai level pertumbuhan ekonomi 6,3 persen sebagaimana tertuang dalam asumsi RAPBNP 2013.

Dari gambaran di atas, terlihat ada pembagian tugas antara bank sentral dan pemerintah. Sebagai lembaga independen, BI akan mengupayakan laju inflasi yang terkendali serta kurs rupiah yang stabil. Sedangkan pemerintah akan mengupayakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi setinggi mungkin.

Janganlah BI sebagai otoritas moneter diberi tugas menjaga inflasi rendah dan kurs rupiah yang stabil sekaligus juga mendorong pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya. Ini tiga buah pekerjaan yang sulit. Sekali lagi, harus ada pembagian tugas antara BI dan pemerintah agar ketiga target makroekonomi itu dapat diraih sebaik-baiknya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar