Kamis, 19 September 2013

Ironi Negeri Agraris

Ironi Negeri Agraris
Nur Rokhim ;  Peneliti di Garawiksa Institut Yogyakarta
SUARA KARYA, 19 September 2013


Indonesia yang terkenal dengan sebutan negeri zamrud khatulistiwa memiliki kekayaan alam yang luar biasa besarnya. Ribuan pulau yang terbentang dari ujung Barat sampai ujung Timur negeri ini menyimpan sumber daya alam yang menakjubkan. Boleh dikatakan, tidak ada yang tidak tersedia di negeri ini, baik hasil pertanian, peternakan, dan pertambangan, dan sebagainya. Karena subur itu, membuat Indonesia terkenal sebagai sepotong tanah surga. Apa pun yang ditanam di tanah Indonesia, semua tumbuh subur.

Negeri ini pun pernah dikenal dengan negeri agraris, karena begitu banyaknya sumber kekayaan alam yang terbentang di pulau-pulau negeri ini. Negeri yang juga dikenal dengan sebutan Nusantara ini juga pernah mencukupi swasembada beras nasional dalam tiga dekade yakni, tahun 1984, 2004 dan 2008 (Oktavio Nugrayasa: 2013). Tetapi sayang seribu kali sayang, sejak tahun 2003, Indonesia menjadi importir beras. Bahkan, tercatat sebagai pengimpor beras terbesar di dunia. Padahal, sebenarnya Indonesia merupakan produsen beras terbesar ketiga setelah Cina dan India, jauh melampaui produksi beras Thailand dan Vietnam. Namun, dikarenakan besarnya jumlah penduduk Indonesia dan tingginya konsumsei beras, maka impor menjadi jalan instan yang diambil oleh pemerintah Indonesia untuk mencukupi kebutuhan beras nasional.

Jika mau lebih mencermati, sesungguhnya bukan hanya beras yang diimpor oleh Indonesia. Terdapat puluhan kebutuhan pokok rakyat Indonesia yang merupakan hasil impor. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS:2013), total nilai impor kebutuhan pokok Indonesia dari bulan Januari sampai Mei 2013 mencapai mencapai 3,6 miliar dolar AS dengan volume 7,4 miliar kilogram (kg).

Dari puluhan kebutuhan pokok Indonesia yang merupakan hasil impor, terdapat empat bahan pokok selain beras yang sungguh sangat ironis jika harus impor dari negara lain. Pertama, gula. Perlu diketahui juga bahwa industri gula merupakan industri tertua yang ada di Indonesia. Pada tahun 1930-an, bahkan Indonesia yang dulu masih dalam cengkaraman penjajah, menjadi produsen utama gula di dunia. Tetapi itu cerita masa lalu, kini negeri ini tiap tahunnya tak pernah lepas dari impor gula. Tercatat Indonesia mengimpor lebih dari dua juta ton gula tiap tahunnya untuk memenuhi kebutuhan gula nasional.

Kedua, garam. Semua orang tahu, bahwa Indonesia tercatat sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang sedunia. Tetapi sungguh sayang, negeri ini malah mengimpor garam dari negera lain. Berdasarkan BPS (2013), Indonesia mengimpor garam dalam kurun Januari-Maret 2013 sebanyak 465 ton garam atau senilai dengan 21,5 juta dolar AS.

Ketiga, kedelai. Sebagai negara yang dilalui garis khatulistiwa dan memiliki banyak gunung berapi, Indonesia memiliki tanah yang subur. Tetapi sayang, Indonesia masih belum bisa mencukupi kebutuhan kedelai nasional. Langkah yang diambil atau solusi oleh pemerintah adalah impor. Tercatat, setiap tahunnya Indonesia mengimpor kedelai untuk memenuhi kebutuhan kedelai sebanyak 1,2 juta ton dari Amerika Serikat (AS).

Keempat, cabai. Untuk komoditas yang satu ini, seharusnya Indonesia tak perlu mengimpor dari negara lain. Tetapi, atas alasan gagal panen, produksi cabai menurun dan sebagainya, pemerintah menjadi terpaksa mengimpor cabai. Bahkan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, menyebutkan bahwa bulan ini akan mendatangkan cabai impor sebanyak 4 ribu ton. Sungguh sebuah kenyataan pahit dan sangat disayangkan.

Kelima, atau yang terakhir adalah daging sapi. Beberapa waktu lalu, rakyat Indonesia menyaksikan kemarahan Presiden SBY terhadap Menteri Pertanian Suswono, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan dan Kepala Badan Urusan Logistik (Kabulog), Sutarto Ali Muso terkait meroketnya harga daging sapi di awal Ramadhan. Tercatat, harga daging sapi menembus 100 ribu per kg. Buntutnya, untuk memenuhi kebutuhan daging nasional maka pemerintah beralasan mengambil jalan impor.

Berdikari

Berdikari atau berdiri di atas kaki sendiri merupakan sebuah konsep yang digaungkan oleh Presiden Ir Soekarno saat pidato kenegaraan memperingati kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1965. Salah satu prinsip dari tiga prinsip berdikari yang dicetuskan Ir Soekarno pada pidato tersebut adalah berdikari di bidang ekonomi. Artinya, setelah lepas dari cengkaraman penjajah, presiden pertama RI ini mengingikan Indonesia dapat berdiri di kaki sendiri. Jadi harus mencukupi segala kebutuhan dalam maupun luar negeri tanpa mengemis bantuan asing.

Setelah 67 tahun Indonesia merdeka, cita-cita mulia Sang Prokalamator tersebut belum sepenuhnya tercapai. Hal tersebut bisa dilihat dari masih banyaknya barang-barang pokok bangsa ini yang merupakan hasil impor. Negara ini belum bisa mencukupi kebutuhan pokok secara nasional. Swasembada pangan masih menjadi angan-angan panjang yang jauh dari kenyataan. Ujung-ujungnya, untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional, pemerintah mengambil lagkah impor barang dari negara lain.


Selalu ada saja alasan pemerintah mengambil kebijakan impor tanpa mau berpikir mencari jalan lain. Mulai dari gagal panen, paceklik, produksi turun, perubahan musim dan sebagainya. Semua alasan dikeluarkan demi mendapat pembenaran atas kebijakan impor yang telah dikeluarkan. Sungguh, semua kenyataan tersebut merupakan sebuah ironi yang sangat tragis bagi negeri yang telah dikenal sebagai negeri agraris ini. Bagaimana mungkin sebuah negara yang memiliki kekayaan alam yang luar biasa masih mengimpor barang dari negara lain? Tentu, hal ini menjadi pekerjaan rumah terutama bagi para pemimpin, dan lebih utama lagi bagi presiden yang akan melanjutkan kepemimpinan bangsa setelah pilpres 2014 nanti. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar