Jumat, 06 September 2013

Seriuskah Swasembada Kedelai?

Seriuskah Swasembada Kedelai?
Andi Irawan ;  Doktor Ekonomi IPB dan Dosen Pascasarjana STEI Tazkia
KORAN TEMPO, 06 September 2013


Keluhan dan protes para perajin tahu dan tempe kembali terjadi. Lebih dari satu tahun yang lalu, mereka mengajukan protes keras kepada pemerintah sehubungan dengan tingginya harga kedelai impor. Mereka menilai pemerintah telah lepas tangan membiarkan importir mempermainkan harga, bahkan mempraktekkan kartel dalam importasi bahan baku utama tempe dan tahu tersebut. Saat ini, hal yang sama terjadi. Keluhan, protes, bahkan ancaman berhenti berproduksi telah disuarakan oleh mereka.
Sebelum anjloknya nilai tukar rupiah, kedelai impor dibeli perajin tahu-tempe seharga Rp 7.500 per kilogram. Saat ini, ketika harga dolar AS telah menembus Rp 11 ribu, harga kedelai sudah mencapai angka Rp 9.000-10.000 per kilogram. Dampaknya, mereka terpaksa mengurangi jumlah produksi tahu dan tempe, bahkan ada yang gulung tikar. Sedangkan dampak yang dirasakan konsumen, di samping harga menjadi lebih mahal, kualitas dan ukuran tempe-tahu yang dibeli menjadi berkurang.
Fenomena menarik yang perlu kita cermati adalah, setiap kali masalah kelangkaan kedelai muncul, selalu solusi potong kompas (short cut) yang diambil. Saat ini fokus pemerintah adalah bagaimana mengimpor kedelai untuk menekan harga yang ada.
Menurut saya, pemerintah seharusnya mengevaluasi ulang political will-nya terhadap urgensi swasembada kedelai. Kedelai memang merupakan komoditas pangan strategis. Dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid I dan II, target swasembada kedelai selalu dicanangkan. Tapi sampai sekarang belum ada titik cerah bahwa target itu akan dicapai. Sepanjang periode 2004-2012, kemampuan suplai kedelai domestik memenuhi kebutuhan dalam negeri hanya dalam kisaran 30-40 persen, selebihnya 60-70 persen sumber kedelai berasal dari impor.
Political will di atas kertas tentang swasembada kedelai tampaknya tidak diikuti kesungguhan implementasi di lapangan. Sebenarnya, potensi untuk pengembangan kedelai domestik ini cukup besar. Ada sejumlah faktor yang bisa dijadikan pemicu kenaikan produksi kedelai ini. Pertama, sudah tersedia benih varietas unggul dengan produktivitas 2,50-3,9 ton per hektare. Ada 16 varietas unggul kedelai yang telah ditemukan untuk beragam jenis lahan di Indonesia. Jika penggunaan benih unggul dan budi daya sesuai dengan anjuran bisa diterapkan dalam skala luas, kesenjangan produktivitas akan bisa dihilangkan. Saat ini produktivitas ideal dengan menggunakan benih unggul dan penerapan best practice agriculture adalah sebesar 2,5-3 ton per hektare, bandingkan dengan produktivitas umum petani di lapangan yang hanya rata-rata 1,38 ton per hektare.
Kedua, kendala konversi lahan bisa diatasi dengan meningkatkan indeks pertanaman. Artinya, realisasi luas lahan tanam kedelai yang belum memadai saat ini, yakni hanya 650-700 ribu hektare per tahun, sebenarnya bisa ditingkatkan dengan meningkatkan indeks pertanaman kedelai. Peluang perluasan area tanam kedelai melalui peningkatan indeks pertanaman masih luas, bahkan bisa mencapai 7,4 juta hektare. Seperti yang diketahui, untuk mencapai swasembada dengan target produksi sebesar 2,7 juta ton, dibutuhkan lahan tanam seluas 1,83 juta hektare.
Depresiasi rupiah telah memacu kenaikan harga kedelai. Fenomena ini seharusnya menjadi momen untuk memacu produksi kedelai nasional. Solusi penting dari kenaikan harga kedelai itu bukan impor, melainkan bagaimana dengan harga yang kondusif ini produksi bisa dipacu. Sebab, kalau lagi-lagi kita bicara solusi impor, dampaknya memang swasembada kedelai tetap menjadi lip service politik dari kebijakan pertanian nasional. Di samping itu, dengan tidak memilih solusi impor, kita ikut mengoreksi neraca transaksi berjalan yang saat ini defisit, yang menjadi penyebab penting anjloknya rupiah.
Beberapa catatan penting untuk memacu peningkatan produksi kedelai domestik ini adalah: pertama, bagaimana benih-benih unggul sebanyak 16 varietas yang ada di badan dan lembaga riset negara itu bisa di-skala-ekonomi-kan (economic-of-scale) menjadi skala industri. Selanjutnya, benih itu dibagikan ke petani sebagai benih subsidi. Inilah tugas penting BUMN bidang perbenihan, seperti PT Pertani dan PT Sang Hyang Sri.
Kedua, kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) di tingkat petani harus dipastikan bersifat insentif dan efektif. Saat swasembada kedelai tahun 1992, harga kedelai dijaga oleh pemerintah tidak kurang dari 1,5 kali harga gabah agar petani tetap termotivasi untuk memproduksi kedelai. Efektivitasnya pun perlu dikawal ketat di lapangan. Untuk meminimalkan moral hazard, Bulog harus membeli langsung kedelai ke petani dengan harga HPP yang telah ditetapkan. Jangan menggunakan perantara melalui agen-agen Bulog di lapangan yang notabene sering berperilaku sebagai tengkulak yang menyebabkan kebijakan HPP tidak dinikmati petani.

Terakhir, program peningkatan produksi ini tidak perlu dilakukan oleh semua daerah di Indonesia. Dengan ketersediaan anggaran yang terbatas dan untuk kemudahan koordinasi, pengawasan, serta efektivitas penggunaan anggaran, program pencapaian swasembada cukup difokuskan pada tiga provinsi dengan kesesuaian lahan tertinggi untuk kedelai, yakni Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Pemerintah pusat harus mampu meyakinkan ketiga pemerintah daerah tersebut ikut terlibat aktif, yakni memastikan ketersediaan lahan, berbagi anggaran (APBD) dan kebijakan pendukung lainnya, seperti menjaga harga dasar kedelai efektif di tingkat petani, mendukung ketersediaan penyuluh, dan dukungan irigasi serta input produksi lainnya. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar