Sabtu, 14 September 2013

Sampah Visual Iklan Politik

Sampah Visual Iklan Politik
Sumbo Tinarbuko  ;   Dosen Komunikasi Visual ISI Yogyakarta,  
Relawan Komunitas Reresik Sampah Visual
KOMPAS, 14 September 2013


Liputan Kompas (5/9), ”Pemilu 2014: Publik Terganggu Alat Peraga Kampanye”, menarik untuk diperbincangkan lebih lanjut.

Di sana diwartakan: ”Sebagian kelompok masyarakat semakin terganggu dengan peraga kampanye partai politik yang dipasang sembarangan dan mengotori ruang publik. Mereka berharap parpol dan calon anggota legislatif lebih sadar menata alat peraga agar ramah lingkungan dan memberikan pendidikan politik yang cerdas”.

Realitas sosial yang dituliskan dalam liputan itu menunjukkan fenomena sosial ruang publik dijarah parpol dan bakal caleg yang berlomba menebar sampah visual iklan politik di ruang publik. Tebaran sampah visual seperti itu oleh Komunitas Reresik Sampah Visual dikategorikan teroris visual. Sebuah teror visual yang secara masif mengusik ketenangan visual jiwa-jiwa sosial warga masyarakat.

Dalam perspektif Komunitas Reresik Sampah Visual, sampah visual iklan politik dipahami sebagai aktivitas pemasangan iklan politik, menggunakan media luar ruang yang penempatannya tak sesuai peruntukannya. Keberadaannya pun cenderung ilegal. Hal itu diperparah kelakuan menyimpang dari penebar sampah visual iklan politik yang tak mau mengurus izin dan membayar pajak reklame untuk kategori alat peraga kampanye politik.

Penjarahan ruang publik

Secara visual, tebaran sampah visual iklan politik dapat disimak dari pola penempatan dan pemasangan alat peraga kampanye dari setiap parpol dan bakal caleg. Mereka cenderung melakukan pelanggaran dan dengan seenak wudel-nya memasang iklan politik dan alat peraga kampanye dengan menjarah ruang publik ataupun ruang terbuka hijau. Mereka juga mengabaikan aspek ramah lingkungan dan ramah visual saat memasang alat peraga kampanye tersebut.

Bukti visual dan fakta di lapangan secara kasatmata menunjukkan, tim sukses bakal caleg di seluruh Indonesia dengan semangat perang menggunakan iklan politik sebagai senjatanya. Amunisi iklan politik dimuntahkan untuk menguasai taman kota, trotoar, pagar dan jembatan, tembok, bahkan bangunan bersejarah. Dinding jembatan layang, tiang lampu penerangan jalan dan tiang rambu lalu lintas, tiang listrik dan telepon juga tak luput dipasangi iklan politik parpol dan bakal caleg. Belum puas sampai di situ, batang pohon yang di sepanjang jalan dihajar secara anarki demi memasang alat peraga kampanye iklan politik parpol dan bakal caleg.

Hadirnya sampah visual iklan politik tidak bisa dilepaskan dari ajang perebutan singgasana kekuasaan untuk menjadi anggota Dewan atau calon presiden. Bakal caleg yang panik ini lalu berlomba mencuri perhatian masyarakat dengan merepresentasikan pencitraan dirinya melalui iklan politik. Aktivitas instan semacam ini mereka yakini punya daya hipnotis tinggi untuk membidik perhatian calon pemilih, padahal realitas sosialnya justru terjadi sebaliknya.

Bakal caleg, atas saran tim suksesnya, dengan riang gembira memproduksi pesan verbal dan pesan visual. Media komunikasi visual yang digunakan berupa iklan luar ruang. Wujud visualnya: billboard, baliho, spanduk, dan umbul-umbul. Tidak ketinggalan poster, stiker, flyer, iklan koran dan majalah, iklan televisi, adlips radio, dan media sosial: Facebook, Twitter, Instagram.

Selain perang memanfaatkan iklan politik, tim sukses pun menabuh genderang perang visual dalam hal ukuran, penempatan, dan jumlah iklan politik yang dipasang di ruang publik. Sampah visual iklan politik yang terpasang secara amburadul di ruang publik semakin menambah kumuh dan semrawut wajah wilayah perkotaan dan pedesaan di seluruh Indonesia. Ujungnya, sampah visual iklan politik jadi pemicu konflik di ruang publik. Baik antartim sukses caleg maupun dengan warga yang merasa terganggu kenyamanannya saat reriungan di ruang publik.

Menjamurnya sampah visual iklan politik yang terpasang secara ngawur  cenderung menurunkan citra, kewibawaan, reputasi, dan nama baik parpol dan bakal caleg itu sendiri. Padahal dalihnya, niatan menjagokan diri sebagai bakal caleg, dilandasi doa suci untuk membangun Indonesia jadi lebih baik. Semua itu, katanya, agar rakyat Indonesia tumbuh menjadi manusia bermartabat, berkehidupan makmur, aman, dan sejahtera.

Dampak dari jerawat sampah visual ini, iklan politik yang diposisikan sebagai ajang penyampaian informasi dan mempromosikan keberadaan bakal caleg terperosok jadi media miskomunikasi visual. Ujung dari semuanya itu, matinya iklan politik secara tidak terhormat.

Jangan diprivatisasi

Fenomena menjamurnya sampah visual iklan politik di ajang kampanye pemilihan calon anggota legislatif ini jadi antiklimaks dari sebuah proses menjaring wakil rakyat yang merakyat. Wakil rakyat yang melayani rakyat, bukan menindas rakyat.

Realitas sosial seperti itu akhirnya memaparkan fakta: bagaimana mungkin rakyat akan memilih caleg yang lebih mementingkan menampilkan wajah tanpa mau obah (bergerak bersama rakyat). Bagaimana mungkin rakyat mau mencoblos bakal caleg yang gaya kampanyenya lebih suka menebar sampah visual iklan politik di ruang publik. Gaya kampanye bakal caleg mengandalkan tebaran gambar wajahnya merupakan gaya kampanye yang sejatinya menurunkan reputasi sang bakal caleg di mata rakyat calon pemilih.

Sudah saatnya bakal caleg dan tim suksesnya menjalankan gaya kampanye yang mengedepankan aspek edukasi politik lewat tampilan iklan politik yang komunikatif, nyeni, berbudaya, dan merakyat. Jadikanlah alat peraga kampanye bakal caleg bagian dari dekorasi kota yang artistik dan komunikatif. Bukan malah sebaliknya seperti terjadi sekarang ini: alat peraga kampanye parpol dan bakal caleg justru semakin mengokohkan dirinya menjadi teroris visual dengan menebarkan sampah visual iklan politik di ruang publik.

Untuk meminimalkan sampah visual iklan politik, seyogianya pengurus parpol, bakal caleg, beserta tim suksesnya secara bersama-sama menjadikan ruang publik tetap milik publik. Ruang publik jangan diprivatisasi jadi milik merek dagang, milik bakal caleg dan partai politik. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar