Sabtu, 14 September 2013

Isi Televisi dan Diktator “Rating”

Isi Televisi dan Diktator “Rating”
Amir Effendi Siregar  ;   Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media;
Dosen Komunikasi UII
KOMPAS, 14 September 2013


Pemilik dan pengelola televisi sering menjamin keragaman isi (diversity of content) meskipun terjadi konsentrasi kepemilikan dan sentralisasi penyiaran. Benarkah demikian?

Saat Idul Fitri lalu, secara nyata kita melihat pemberitaan mudik dari Jakarta ke daerah, terutama di Jawa, porsinya sangat besar. Berita ini sebenarnya tak bermakna bagi penonton televisi di Medan, kecuali sebagai hiburan. Azan Maghrib waktu Jakarta berkumandang di Yogyakarta yang waktu Maghribnya telah lewat. Sinetron dengan isi dan genre sama, kita lihat setiap hari. Mana keragaman itu?
Menurut Nielsen, penetrasi televisi di Indonesia 94 persen dan dikutip banyak pihak. 

Ini misleading karena angka ini diperoleh dari penetrasi di beberapa kota besar saja, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar, Yogyakarta, Denpasar, dan Palembang (Media Scene, 2012/2013).

Televisi swasta di Indonesia baru menjangkau 81 persen penduduk dan penduduk yang mempunyai akses 67 persen. Itu berarti sekitar 130 juta penduduk (Media Scene, 2012/2013). TVRI belum bisa diharapkan. Mayoritas stasiun televisi swasta—sekitar 200 dari 300—dikuasai 10 stasiun televisi Jakarta/nasional yang mendasarkan programnya kepada rating dari Nielsen tanpa lembaga pembanding.

Survei ”rating”

Saat membuat rating program televisi, Nielsen menyurvei 10 kota besar yang penduduknya 48.573.782, yaitu 1. Jakarta (58,61 persen), 2. Surabaya (16,66 persen), 3. Yogyakarta (4,59 persen), 4. Bandung (4,53 persen), 5. Medan (3,86 persen), 6. Palembang (2,83 persen), 7. Semarang (3,05 persen), 8. Makassar (2,59 persen), 9. Denpasar (2,05 persen), dan 10. Banjarmasin (1,22 persen). Sampel berjumlah 8.288 orang, dengan Jakarta terbesar.

Menurut Nielsen, program hiburan paling diminati. Sebagai contoh, inilah delapan besar program paling diminati: 1. Tukang Bubur Naik Haji (RCTI), 2. X Factor (RCTI), 3. Berkah (RCTI), 4. On The Spot (Trans 7), 5.Raden Kian Santang (MNC TV), 6. SCTV Music Awards, 7. Opera Van Java (Trans 7), 8. Cinta 7 Susun (RCTI).

Di mana posisi program news ? Terlempar jauh. Di peringkat 73. Liputan 6 Siang (SCTV), 78. Liputan 6 Petang (SCTV), 83. Sekilas Info (RCTI), 87. Kabar Kabari (RCTI), 97. Insert Investigasi (Trans), 125. Reportase Sore (Trans), 140. Seputar Indonesia (RCTI), 220. Lawyers Club (TV One), 223. Topik Petang (ANTV), 256. Apa Kabar Indonesia (TV One), 488. Primetime News (Metro TV) (Nielsen 28/4/2013 hingga 4/5/2013). Rating menjadi ”dewa” pedoman program siaran karena terkait dengan iklan.

Market share sepuluh stasiun televisi adalah 1. RCTI (19,5 persen), 2. SCTV (15,9 persen), 3. Trans 7 (12,0 persen), 4. Trans (10,4 persen), 5. MNC TV (10,3 persen), 6. IVM (7,8 persen), 7. Global TV (6,7 persen), 8. ANTV (6 persen), 9. TV One (4,9 persen), 10. Metro TV (1,8 persen).

Selanjutnya studi Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), antara lain, menyimpulkan, praktik oligopoli media meletakkan media sebagai lembaga profit yang mudah dibentuk dan diarahkan oleh kepentingan pemilik, termasuk memperoleh kekuasaan. Isi berorientasi dan terpusat kepada Jakarta dan bersifat homogen.

Homogenitas ini memperlihatkan bahwa masyarakat dianggap semata-mata sebagai konsumen daripada kelompok yang mempunyai hak-hak. Ini berbahaya buat demokrasi dan perlu gerakan masyarakat sipil mengontrol dan memperbaiki kondisi ini. (Yanuar, 2013).

Isi stasiun televisi swasta lebih melayani penduduk urban, bersifat hiburan, seragam, dan menghambat proses demokratisasi yang menuntut keragaman.

Solusi

Dalam seminar Komisi Penyiaran Indonesia akhir Juni lalu, Nina Armando mengatakan bahwa program dengan rating tinggi justru paling banyak melanggar pedoman perilaku penyiaran dan diadukan masyarakat. Seminar mengusulkan agar Nielsen memperluas jumlah kota yang menjadi sampel. 
Pengelola televisi diharapkan memperbaiki program dengan memperhatikan kepentingan publik dan perlu lembaga rating baru yang dibiayai negara sebagai pembanding Nielsen.

Usulan tersebut bagus, tetapi tidak memadai. Tanpa mengubah sistem penyiaran yang terkonsentrasi dan tersentralisasi saat ini , perubahan isi sulit dilakukan. Jadi, langkah awal yang perlu adalah membangun sistem penyiaran yang membatasi kepemilikan dan membangun sebuah sistem siaran berjaringan. Bisa bersiaran luas menjangkau wilayah nasional, tetapi harus melalui stasiun lokal sehingga punya isi nasional dan juga lokal.

Ini akan memicu kelahiran banyak lembaga rating lokal. Selanjutnya memang diperlukan lembaga rating alternatif yang dibiayai negara. Lembaga ini bisa di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), atau Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).


Lembaga penyiaran komunitas dan lembaga penyiaran publik seperti TVRI harus diberdayakan. Di negara demokrasi semua lembaga penyiaran memang harus diatur berdasarkan prinsip keragaman kepemilikan dan isi. Semoga semua ini bisa menjadi masukan untuk pembahasan RUU Penyiaran, termasuk RUU Radio dan Televisi RI. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar