|
Pemilik dan pengelola televisi sering
menjamin keragaman isi (diversity of
content) meskipun terjadi konsentrasi kepemilikan dan sentralisasi
penyiaran. Benarkah demikian?
Saat Idul Fitri lalu, secara nyata
kita melihat pemberitaan mudik dari Jakarta ke daerah, terutama di Jawa,
porsinya sangat besar. Berita ini sebenarnya tak bermakna bagi penonton
televisi di Medan, kecuali sebagai hiburan. Azan Maghrib waktu Jakarta
berkumandang di Yogyakarta yang waktu Maghribnya telah lewat. Sinetron dengan
isi dan genre sama, kita lihat setiap hari. Mana keragaman itu?
Menurut Nielsen, penetrasi televisi
di Indonesia 94 persen dan dikutip banyak pihak.
Ini misleading karena angka ini diperoleh dari penetrasi di beberapa
kota besar saja, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar,
Yogyakarta, Denpasar, dan Palembang (Media
Scene, 2012/2013).
Televisi swasta di Indonesia baru
menjangkau 81 persen penduduk dan penduduk yang mempunyai akses 67 persen. Itu
berarti sekitar 130 juta penduduk (Media Scene, 2012/2013). TVRI belum bisa
diharapkan. Mayoritas stasiun televisi swasta—sekitar 200 dari 300—dikuasai 10
stasiun televisi Jakarta/nasional yang mendasarkan programnya
kepada rating dari Nielsen tanpa lembaga pembanding.
Survei ”rating”
Saat
membuat rating program televisi, Nielsen menyurvei 10 kota besar yang
penduduknya 48.573.782, yaitu 1. Jakarta (58,61 persen), 2. Surabaya (16,66
persen), 3. Yogyakarta (4,59 persen), 4. Bandung (4,53 persen), 5. Medan (3,86
persen), 6. Palembang (2,83 persen), 7. Semarang (3,05 persen), 8. Makassar
(2,59 persen), 9. Denpasar (2,05 persen), dan 10. Banjarmasin (1,22 persen).
Sampel berjumlah 8.288 orang, dengan Jakarta terbesar.
Menurut Nielsen, program hiburan
paling diminati. Sebagai contoh, inilah delapan besar program paling diminati: 1. Tukang
Bubur Naik Haji (RCTI), 2. X Factor (RCTI),
3. Berkah (RCTI), 4. On The Spot (Trans 7), 5.Raden Kian
Santang (MNC TV), 6. SCTV Music Awards, 7. Opera Van
Java (Trans 7), 8. Cinta 7 Susun (RCTI).
Di mana posisi
program news ? Terlempar jauh. Di peringkat 73. Liputan 6
Siang (SCTV), 78. Liputan 6 Petang (SCTV), 83. Sekilas
Info (RCTI), 87. Kabar Kabari (RCTI), 97. Insert
Investigasi (Trans), 125. Reportase Sore (Trans),
140. Seputar Indonesia (RCTI), 220. Lawyers Club (TV One),
223. Topik Petang (ANTV), 256. Apa Kabar Indonesia (TV
One), 488. Primetime News (Metro TV) (Nielsen 28/4/2013 hingga
4/5/2013). Rating menjadi ”dewa” pedoman program siaran karena terkait
dengan iklan.
Market share sepuluh stasiun
televisi adalah 1. RCTI (19,5 persen), 2. SCTV (15,9 persen), 3. Trans 7 (12,0
persen), 4. Trans (10,4 persen), 5. MNC TV (10,3 persen), 6. IVM (7,8 persen),
7. Global TV (6,7 persen), 8. ANTV (6 persen), 9. TV One (4,9 persen), 10.
Metro TV (1,8 persen).
Selanjutnya studi Centre for Innovation Policy and Governance
(CIPG), antara lain, menyimpulkan, praktik oligopoli media meletakkan media
sebagai lembaga profit yang mudah dibentuk dan diarahkan oleh kepentingan
pemilik, termasuk memperoleh kekuasaan. Isi berorientasi dan terpusat kepada
Jakarta dan bersifat homogen.
Homogenitas ini memperlihatkan
bahwa masyarakat dianggap semata-mata sebagai konsumen daripada kelompok yang
mempunyai hak-hak. Ini berbahaya buat demokrasi dan perlu gerakan masyarakat
sipil mengontrol dan memperbaiki kondisi ini. (Yanuar, 2013).
Isi stasiun televisi swasta lebih
melayani penduduk urban, bersifat hiburan, seragam, dan menghambat proses
demokratisasi yang menuntut keragaman.
Solusi
Dalam seminar Komisi Penyiaran
Indonesia akhir Juni lalu, Nina Armando mengatakan bahwa program
dengan rating tinggi justru paling banyak melanggar pedoman perilaku
penyiaran dan diadukan masyarakat. Seminar mengusulkan agar Nielsen memperluas
jumlah kota yang menjadi sampel.
Pengelola televisi diharapkan memperbaiki
program dengan memperhatikan kepentingan publik dan perlu
lembaga rating baru yang dibiayai negara sebagai pembanding Nielsen.
Usulan tersebut bagus, tetapi tidak
memadai. Tanpa mengubah sistem penyiaran yang terkonsentrasi dan
tersentralisasi saat ini , perubahan isi sulit dilakukan. Jadi, langkah awal
yang perlu adalah membangun sistem penyiaran yang membatasi kepemilikan dan
membangun sebuah sistem siaran berjaringan. Bisa bersiaran luas menjangkau
wilayah nasional, tetapi harus melalui stasiun lokal sehingga punya isi
nasional dan juga lokal.
Ini akan memicu kelahiran banyak
lembaga rating lokal. Selanjutnya memang diperlukan
lembaga rating alternatif yang dibiayai negara. Lembaga ini bisa di
bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), atau Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Lembaga penyiaran komunitas dan
lembaga penyiaran publik seperti TVRI harus diberdayakan. Di negara demokrasi
semua lembaga penyiaran memang harus diatur berdasarkan prinsip keragaman
kepemilikan dan isi. Semoga semua ini bisa menjadi masukan untuk pembahasan RUU
Penyiaran, termasuk RUU Radio dan Televisi RI. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar