Sabtu, 14 September 2013

G-20 dan Ketidakpastian Global

G-20 dan Ketidakpastian Global
Syamsul Hadi  ;   Pengajar Ekonomi Politik Internasional
di Departemen Hubungan Internasional FISIP UI
KOMPAS, 14 September 2013
  

Secara tradisional, kelompok G-20 yang merupakan forum 20 perekonomian terbesar di dunia selalu menjadikan tantangan-tantangan utama perekonomian global sebagai agenda pokok pertemuan puncak.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 yang berlangsung di St Petersburg, Rusia, 5-6 September, juga membahas bagaimana menggalang upaya-upaya menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, seimbang, dan inklusif, disertai dengan penciptaan lapangan kerja yang memadai di seluruh dunia.

Jelas, agenda itu rangkaian lebih lanjut dari tali-temali persoalan yang terentang sejak dunia dilanda krisis ekonomi 2008. Perkembangan ekonomi sekurangnya lima tahun terakhir menunjukkan ketidakmampuan kekuatan ekonomi dunia—baik dalam kapasitas sebagai negara-negara maupun institusi internasional—mewujudkan solusi yang benar-benar efektif guna menyelesaikan aneka persoalan, seperti pertumbuhan yang melambat, utang yang menumpuk, dan penganggur yang meningkat.

Kerja sama internasional

Langkah yang diambil banyak negara dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global saat ini membenarkan pendapat bahwa kepentingan nasional setiap negara kini menjadi sesuatu yang sangat diutamakan. Negara-negara besar, di tengah ketiadaan negara yang benar-benar berfungsi sebagai ”kekuatan hegemoni”, benar-benar menunjukkan ketidakraguan untuk mendahulukan kepentingan nasionalnya dibandingkan dengan kepentingan global yang bersifat kolektif.

Sejumlah langkah Pemerintah AS seperti kebijakan pengeluaran surat berharga (memperbesar utang) tanpa ada kejelasan sejauh mana limitnya, sejumlah langkah Jepang dan China untuk mendorong pelemahan mata uangnya, ataupun menonjolnya spirit domestic economy first dalam paket stimulus ekonomi di hampir setiap negara menunjukkan babak baru dalam perspektif pembangunan di tingkat global. Uni Eropa (UE) yang didera krisis berkepanjangan juga telah mengumumkan rencana membatasi keterlibatan pihak di luar Eropa dalam tender pengadaan belanja pemerintah guna mendorong dunia usaha di Eropa bangkit lagi.

Prospek ekonomi yang belum jelas di UE antara lain ditandai pernyataan Menkeu Yunani Yannis Stournaras bahwa negaranya masih perlu dana talangan ketiga pada 2014, diperkirakan sekitar 10 miliar euro (Kompas,27/8). Tekanan untuk mengurangi kebijakan ”kencangkan ikat pinggang” terus menguat antara lain karena fakta pada pertengahan 2013 sebanyak 6 juta pemuda di Eropa menjadi penganggur dan terancam fenomena lost generation. Pengangguran kalangan muda di seluruh zona euro rata-rata 24 persen, bahkan di negara-nsegara tertentu mencapai 80 persen (Kompas, 5/7).

Walaupun kebanyakan negara menyuarakan pentingnya menghindari proteksionisme dan menyatakan bahwa prinsip keterbukaan pasar akan memberikan lebih banyak keuntungan bagi ekonomi global, pada kenyataannya setiap negara semakin berhati-hati terhadap risiko dari tatanan ekonomi dan finansial global yang terus diwarnai ketidakstabilan. Permasalahan sejauh mana negara-negara maju bersedia mengorbankan kepentingan domestiknya mengemuka dalam negosiasi pertanian di WTO yang menyebabkan jalan buntu bagi perundingan WTO Putaran Doha sejak lima tahun silam.

Vinod K Aggarwal dan Cedric Dupont (2011), berdasarkan perhitungan game theory, melihat kecenderungan perilaku negara dalam kerja sama ekonomi internasional dewasa ini. Salah satu hasil analisisnya, dalam situasi ekonomi global tak stabil, negara yang memasuki kerja sama internasional akan menghadapi ketidakpastian keuntungan dan biaya, di samping ketidakpastian lebih besar tentang arah perilaku negara-negara lain. Inilah yang menyebabkan kebanyakan negara enggan melibatkan diri dalam sebuah komitmen baru.

Posisi negara berkembang

Sejumlah pengamat berpendapat krisis global jadi momentum bagi kian signifikannya peran emerging economies seperti China, Brasil, dan India di tengah kemunduran ekonomi AS dan Eropa. Hal ini sejalan prediksi Jim O’Neill tentang sejumlah negara berkembang yang berpotensi menggantikan kekuatan G-7 dalam 2050, yaitu Brasil, Rusia, India, dan China (BRIC).

Namun, kini emerging economies—Indonesia termasuk di dalamnya—juga tengah dihadapkan pada situasi ketidakpastian. Pernyataan Gubernur Bank Sentral AS Ben Bernanke, akhir Mei 2013 terkait rencana menarik kebijakan pelonggaran moneter (quantitative easing) karena perekonomian AS dianggap membaik, langsung berdampak negatif pada negara berkembang seperti India, Brasil, Turki, Indonesia dan Afsel. Akibatnya, kurs mata uang melemah drastis. Akhir Agustus 2013, kurs anjlok 22 persen di India, 15 persen di Indonesia, dan 5 persen di Turki.

Ketika tingkat bunga di AS hampir nol, investor berduyun-duyun ke negara berkembang mencari keuntungan lebih besar. Laporan HSBC menyebutkan, sepanjang 2012 dana masuk ke negara berkembang 1,2 triliun dollar AS, setara yang masuk ke negara berkembang 10 tahun terakhir sebelum 2012. Pascapernyataan Bernanke, sampai saat ini diperkirakan 1,5 triliun dollar AS lebih telah meninggalkan pasar saham negara berkembang.

Di sisi lain, banyak negara berkembang termasuk Indonesia dan Brasil yang dalam perdagangan internasionalnya mengandalkan produk komoditas primer. Kebangkitan ekonomi China memberikan keuntungan karena kemampuannya menyerap komoditas tersebut. Pelambatan ekonomi China menyebabkan eksportir besar komoditas seperti Brasil dan Indonesia mengalami penurunan ekspor. Pelemahan ekonomi China dan risiko kembalinya uang dari negara berkembang ke negara-negara maju menyebabkan IMF Juli lalu menurunkan estimasi pertumbuhan ekonomi dunia untuk kesembilan kalinya berturut-turut.

Menghadapi ketidakpastian yang terus membayangi perekonomian global, keberadaan G-20 kemudian lebih tampak sebagai forum besar yang flamboyan, tetapi kurang punya ”kaki” di lapangan. Muncul situasi yang disebut Stephen Krasner organized hypocrisy (kemunafikan terorganisasi): setiap negara menyuarakan keprihatinan tentang runtuhnya nilai-nilai tradisional seperti perdagangan bebas, keterbukaan ekonomi, dan kebebasan persaingan. Sementara di sisi lain, beragam kebijakan proteksionisme dan nasionalisme ekonomi terus dijadikan pilihan. Alih-alih menghayati jargon-jargon globalisasi ekonomi yang kian terdengar membosankan, setiap negara kini menyadari perlindungan ekonomi paling kokoh hanya mungkin diciptakan dalam cakupan yang bersifat nasional dan bukan dalam skala global. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar