|
Secara tradisional, kelompok G-20
yang merupakan forum 20 perekonomian terbesar di dunia selalu menjadikan
tantangan-tantangan utama perekonomian global sebagai agenda pokok pertemuan
puncak.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
G-20 yang berlangsung di St Petersburg, Rusia, 5-6 September, juga membahas
bagaimana menggalang upaya-upaya menciptakan pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan, seimbang, dan inklusif, disertai dengan penciptaan lapangan
kerja yang memadai di seluruh dunia.
Jelas, agenda itu rangkaian lebih
lanjut dari tali-temali persoalan yang terentang sejak dunia dilanda krisis
ekonomi 2008. Perkembangan ekonomi sekurangnya lima tahun terakhir menunjukkan
ketidakmampuan kekuatan ekonomi dunia—baik dalam kapasitas sebagai
negara-negara maupun institusi internasional—mewujudkan solusi yang benar-benar
efektif guna menyelesaikan aneka persoalan, seperti pertumbuhan yang melambat,
utang yang menumpuk, dan penganggur yang meningkat.
Kerja sama internasional
Langkah yang diambil banyak negara
dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global saat ini membenarkan pendapat
bahwa kepentingan nasional setiap negara kini menjadi sesuatu yang sangat
diutamakan. Negara-negara besar, di tengah ketiadaan negara yang benar-benar
berfungsi sebagai ”kekuatan hegemoni”, benar-benar menunjukkan ketidakraguan
untuk mendahulukan kepentingan nasionalnya dibandingkan dengan kepentingan
global yang bersifat kolektif.
Sejumlah langkah Pemerintah AS
seperti kebijakan pengeluaran surat berharga (memperbesar utang) tanpa ada
kejelasan sejauh mana limitnya, sejumlah langkah Jepang dan China untuk
mendorong pelemahan mata uangnya, ataupun menonjolnya spirit domestic
economy first dalam paket stimulus ekonomi di hampir setiap negara
menunjukkan babak baru dalam perspektif pembangunan di tingkat global. Uni Eropa
(UE) yang didera krisis berkepanjangan juga telah mengumumkan rencana membatasi
keterlibatan pihak di luar Eropa dalam tender pengadaan belanja pemerintah guna
mendorong dunia usaha di Eropa bangkit lagi.
Prospek ekonomi yang belum jelas di
UE antara lain ditandai pernyataan Menkeu Yunani Yannis Stournaras bahwa
negaranya masih perlu dana talangan ketiga pada 2014, diperkirakan sekitar 10
miliar euro (Kompas,27/8). Tekanan untuk mengurangi kebijakan ”kencangkan ikat
pinggang” terus menguat antara lain karena fakta pada pertengahan 2013 sebanyak
6 juta pemuda di Eropa menjadi penganggur dan terancam fenomena lost
generation. Pengangguran kalangan muda di seluruh zona euro rata-rata 24
persen, bahkan di negara-nsegara tertentu mencapai 80 persen (Kompas, 5/7).
Walaupun kebanyakan negara
menyuarakan pentingnya menghindari proteksionisme dan menyatakan bahwa prinsip
keterbukaan pasar akan memberikan lebih banyak keuntungan bagi ekonomi global,
pada kenyataannya setiap negara semakin berhati-hati terhadap risiko dari
tatanan ekonomi dan finansial global yang terus diwarnai ketidakstabilan.
Permasalahan sejauh mana negara-negara maju bersedia mengorbankan kepentingan
domestiknya mengemuka dalam negosiasi pertanian di WTO yang menyebabkan jalan
buntu bagi perundingan WTO Putaran Doha sejak lima tahun silam.
Vinod K Aggarwal dan Cedric Dupont
(2011), berdasarkan perhitungan game theory, melihat kecenderungan
perilaku negara dalam kerja sama ekonomi internasional dewasa ini. Salah satu
hasil analisisnya, dalam situasi ekonomi global tak stabil, negara yang
memasuki kerja sama internasional akan menghadapi ketidakpastian keuntungan dan
biaya, di samping ketidakpastian lebih besar tentang arah perilaku
negara-negara lain. Inilah yang menyebabkan kebanyakan negara enggan melibatkan
diri dalam sebuah komitmen baru.
Posisi negara berkembang
Sejumlah pengamat berpendapat
krisis global jadi momentum bagi kian signifikannya peran emerging
economies seperti China, Brasil, dan India di tengah kemunduran ekonomi AS
dan Eropa. Hal ini sejalan prediksi Jim O’Neill tentang sejumlah negara
berkembang yang berpotensi menggantikan kekuatan G-7 dalam 2050, yaitu Brasil,
Rusia, India, dan China (BRIC).
Namun, kini emerging
economies—Indonesia termasuk di dalamnya—juga tengah dihadapkan pada situasi
ketidakpastian. Pernyataan Gubernur Bank Sentral AS Ben Bernanke, akhir Mei
2013 terkait rencana menarik kebijakan pelonggaran moneter (quantitative easing) karena perekonomian
AS dianggap membaik, langsung berdampak negatif pada negara berkembang seperti
India, Brasil, Turki, Indonesia dan Afsel. Akibatnya, kurs mata uang melemah
drastis. Akhir Agustus 2013, kurs anjlok 22 persen di India, 15 persen di
Indonesia, dan 5 persen di Turki.
Ketika tingkat bunga di AS hampir
nol, investor berduyun-duyun ke negara berkembang mencari keuntungan lebih
besar. Laporan HSBC menyebutkan, sepanjang 2012 dana masuk ke negara berkembang
1,2 triliun dollar AS, setara yang masuk ke negara berkembang 10 tahun terakhir
sebelum 2012. Pascapernyataan Bernanke, sampai saat ini diperkirakan 1,5
triliun dollar AS lebih telah meninggalkan pasar saham negara berkembang.
Di sisi lain, banyak negara
berkembang termasuk Indonesia dan Brasil yang dalam perdagangan
internasionalnya mengandalkan produk komoditas primer. Kebangkitan ekonomi
China memberikan keuntungan karena kemampuannya menyerap komoditas tersebut.
Pelambatan ekonomi China menyebabkan eksportir besar komoditas seperti Brasil
dan Indonesia mengalami penurunan ekspor. Pelemahan ekonomi China dan risiko
kembalinya uang dari negara berkembang ke negara-negara maju menyebabkan IMF
Juli lalu menurunkan estimasi pertumbuhan ekonomi dunia untuk kesembilan
kalinya berturut-turut.
Menghadapi ketidakpastian yang
terus membayangi perekonomian global, keberadaan G-20 kemudian lebih tampak
sebagai forum besar yang flamboyan, tetapi kurang punya ”kaki” di lapangan.
Muncul situasi yang disebut Stephen Krasner organized hypocrisy (kemunafikan terorganisasi): setiap negara
menyuarakan keprihatinan tentang runtuhnya nilai-nilai tradisional seperti
perdagangan bebas, keterbukaan ekonomi, dan kebebasan persaingan. Sementara di
sisi lain, beragam kebijakan proteksionisme dan nasionalisme ekonomi terus
dijadikan pilihan. Alih-alih menghayati jargon-jargon globalisasi ekonomi yang
kian terdengar membosankan, setiap negara kini menyadari perlindungan ekonomi
paling kokoh hanya mungkin diciptakan dalam cakupan yang bersifat nasional dan
bukan dalam skala global. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar