Kamis, 19 September 2013

Politik Kaum Muda 2014

Politik Kaum Muda 2014
Wasisto Raharjo J  ;     Peneliti di Center for Politic and Media Research
SINAR HARAPAN, 19 September 2013


Hajat besar Pemilu 2014 akan berlangsung enam bulan lagi yang ditandai dengan pemilu legislatif pada 9 April 2014. Beberapa kandidat calon legislatif maupun eksekutif yang akan maju pada 2014 kini sudah mulai tebar pesona, baik itu melalui publikasi alat peraga pemilu maupun melakukan aksi simpatik kepada publik.

Pemilu 2014 setidaknya menjadi tolok ukur pemilu transisi dari kepemimpinan kaum tua kepada kaum muda untuk memimpin bangsa ini. Suksesi tersebut diharapkan mampu mewadahi energi maupun gagasan progresif kaum muda untuk ikut serta dalam membangun negara.

Hal itu yang patut diperhatikan para kandidat maupun stakeholder Pemilu 2014 untuk  mengikutkan kaum muda, baik sebagai bagian aktif suksesi politik maupun bagian pasif sebagai pemegang hak suara pemilih.

Pengikusertaan kaum muda dalam proses politik 2014 menjadi urgen dan signifikan untuk memberikan pelajaran politik yang baik kepada kaum muda Indonesia.

Dalam perhelatan pemilu sejak 1999 mengindikasikan bahwa tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 1999 mencapai 93,33 persen, Pemilu 2004 turun menjadi 84,9 persen, dan Pemilu 2009 turun lagi menjadi 70,99 persen. Pemilu 2014, diprediksi hanya menyisakan tingkat partisipasi sebesar 54 persen.

Persentase golongan putih semakin meningkat dari 39,1 persen pada Pemilu 2009 akan mencapai 60 persen lebih yang utamanya angka golongan putih banyak disumbang pemilih muda. Persentase pemilih berdasarkan pendataan beberapa lembaga survei, jumlah pemilih pemula sekitar 32 juta berpotensi menjadi pemilih golongan putih pada 2014.

Jumlah ini dengan asumsi usia 17-30 tahun mulai dari kalangan pelajar/mahasiswa dan pekerja muda. Hal itu sama saja menyisakan 18 juta kaum muda dari sekian 190 juta pemilih tetap.

Besarnya apatisme dan apolitisme yang ditunjukkan kaum muda Indonesia berpotensi menjadikan Pemilu 2014 mendatang lewat begitu saja tanpa menyisakan tempat dan harapan politis orang muda karena selebihnya dikuasai kaum sepuh saja.

Apolitisme dan apatisme yang kini menjadi preferensi politik utama bagi kaum muda Indonesia sendiri bersumber pada pemberitaan politik salah yang selama ini diberitakan di berbagai media. Didukung dengan cepatnya informasi dan pemberitaan baik dari media cetak dan elektronik menjadikan pemilih muda adalah pemilih terdidik dan melek politik dibandingkan dengan segmen pemilih lainnya.

Hal itulah yang menjadikan pemilih muda bersikap rasional dan pragmatis dalam melihat event Pemilu 2014 sebagai bagian dari kaderisasi bibit koruptor baru untuk memerintah selama lima tahun mendatang.

Kaum muda sudah enek melihat tingkah politisi dan pejabat yang senantiasa korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dalam relung hati terdalam, kaum muda Indonesia sebenarnya ingin melakukan perubahan pada 2014 seperti yang selama ini dilakukan aktivis mahasiswa, seniman muda, maupun eksekutif muda melalui medium politik jalanan.

Namun, tetap saja, politik informal kaum muda terebut tidak digubris kaum tua yang selama ini masih menganggap sebelah mata potensi kaum muda untuk berpolitik. Oleh karena itu, pilihan menjadi golongan putih (golput) menjadikan pemilu nanti semakin tidak terlegitimasi oleh rakyat merupakan jalan akhir yang dilakukan kaum muda Indonesia untuk melakukan perubahan politik.

Bagi aktivis politik muda adalah sangat berdosa kalau ikut memilih atau dipilih pada Pemilu 2014 karena sama saja akan larut dalam kondisi status quo pemerintahan yang diisi kleptokrat dan koruptor. Oleh karena itu, aksi golput merupakan repertoar akhir bagi kaum muda menunjukkan eksistensi politiknya dan melakukan perubahan progresif bagi negara.

Sumirnya dan suramnya pemilih muda dalam memandang Pemilu 2014 mendatang disebabkan mereka tengah dilanda kebingungan politik. Mereka seperti kehilangan figur penting yang bisa menjadi tokoh panutan bagi kaum muda sebagai media pembelajaran politik. Selama ini praktik politik para tokoh politisi kita tidak dilandaskan pada logika populisme, tetapi lebih materialisme semata.

Gagasan politik autentik dari Hannah Arendt (2001) yang menganjurkan sikap berpolitik praktis lebih banyak mendengar dan melayani publik daripada memerintah dan menuntut, kini semakin jauh dari harapan kaum muda.


Kaum muda juga dilanda kekecewaan politik apabila regenerasi koruptor kini sudah melanda politisi muda yang seharusnya bisa menjadi penjembatan antara aspirasi kaum muda kepada kaum tua. Mereka kini kehilangan rasa afiliasitas, afeksitas, maupun afinistas terhadap kondisi perpolitikan negara hari ini yang tiada hari tanpa pemberitaan korupsi dari hari ke hari.

Problematika ketimpangan ekonomi maupun keadilan sosial yang memicu kekerasan juga tidak lepas dari perhatian kaum muda untuk berkomitmen menjadi golput. Setidaknya, mereka berharap Pemilu 2014 nanti adalah ajang awal bagi kaum muda untuk tampil dan beraksi membenahi sistem politik negara dengan gagasan progresif.

Parpol yang akan berkontestasi pada Pemilu 2014 dituntut lebih peka dalam menanggapi problem apatisme dan apolitisme kaum muda Indonesia ini. Kepekaan tersebut bisa ditunjukkan dengan sosialiasi pendidikan politik terjun langsung ke lapangan maupun memberikan tempat afirmasi bagi kaum muda untuk bisa menyalurkan gagasannya.

Intinya, apolitisme dan apatisme kaum muda bisa dicegah melalui kanalisasi aspirasi politik maupun rekognisi adanya aktvitas politik informal bisa diafirmasi dan dikonfirmasi dalam ranah politik informal. Pada Pemilu 2014, sudah saatnya kaum senior melalukan kerja sama sinergis dengan kaum muda sebagai bagian suksesi tongkat estafet kepemimpinan nasional.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar