Kamis, 19 September 2013

Kebijakan Moneter dan Tingkat Pengangguran

Kebijakan Moneter dan Tingkat Pengangguran
Indra Astrayuda ;  Bekerja di Bank Indonesia, Alumnus Johns Hopkins University, USA
MEDIA INDONESIA, 19 September 2013


BRO, BI rate naik terus nih, ekonomi bakal turun nih, terus pengangguran naik deh,” bunyi surat elektronik dari seorang sahabat penulis, suatu sore, akhir pekan lalu. Well, setelah BI rate dipertahankan pada level 5,75% sejak 9 Februari 2012, Bank Indonesia (BI) telah menaikkan BI rate pada 13 Juni 2013, 11 Juli, 29 Agustus, dan terakhir 12 September menjadi 7,25%. Secara total dalam kurun 3 bulan terakhir, BI telah menaikkan BI rate sebesar 150 bps. Kebijakan BI tersebut ditempuh untuk memastikan inflasi yang meningkat pascapenaikan harga BBM bersubsidi agar dapat segera kembali ke dalam lintasan sasarannya. Selain itu, kebijakan tersebut merupakan respons atas tekanan terhadap sistem keuangan seiring dengan meningkatnya ketidakpastian ekonomi global serta masih tingginya ekspektasi inflasi dan persepsi terhadap kesinambungan transaksi berjalan.

Efek kenaikan BI rate terhadap tingkat pengangguran merupakan topik yang sangat menarik. Pertama, tentunya kita perlu mengenal lebih dulu beberapa tipe pengangguran. Tipe pertama pengangguran adalah pengangguran struktural (structural unemployment), yaitu pengangguran akibat adanya ketidaksesuaian (mismatch) antara pekerjaan dan tenaga kerja. Ketidaksesuaian ini dapat disebabkan oleh faktor geografis, skill, dan faktor lainnya. Sebagai contoh, Joko, pemuda lulusan teknik sipil yang berdomisili di Yogyakarta, saat ini belum mendapatkan pekerjaan di daerahnya. Sementara itu, lulusan teknik sipil banyak dibutuhkan perusahaan konstruksi di Jakarta. Faktor location mismatch menyebabkan Joko belum mendapatkan pekerjaan. Contoh sederhana lainnya, Hendra, pemuda lulusan SMA, belum berhasil mendapatkan pekerjaan di bagian administrasi karena belum memiliki skill dasar mengoperasikan Microsoft Word dan Excel. Skill mismatch merupakan faktor utama yang menyebabkan Hendra harus menganggur.

Tipe kedua pengangguran adalah pengangguran friksional (frictional unemployment) yang terkait dengan pengangguran sementara (temporary unemployment) akibat tenaga kerja berpindah pekerjaan ataupun berpindah lokasi pekerjaan. Ciri khas tipe pengangguran ini adalah tenaga kerja secara sukarela tidak bekerja sementara waktu hingga bekerja kembali. Pada saat resesi, tingkat pengangguran friksional cenderung kecil. Hal ini cukup beralasan mengingat pada saat resesi sisi permintaan tenaga kerja akan lebih ketat sehingga memperkecil kemungkinan tenaga kerja untuk sukarela untuk tidak bekerja dalam rangka transisi ke pekerjaan baru (in-between jobs).

Tipe terakhir pengangguran adalah pengangguran siklikal (cyclical unemployment) yang merupakan tingkat pengangguran terkait dengan siklus bisnis (business cycle) periode booms dan resesi. Pada periode booms dengan permintaan tenaga kerja yang tinggi, jumlah tenaga kerja yang terserap di pasar tenaga kerja juga akan cenderung tinggi. Dengan demikian, tingkat pengangguran siklikal akan cenderung turun pada saat periode booms.

Sementara itu, pada periode resesi, jumlah tenaga kerja yang terserap di pasar tenaga kerja akan cenderung rendah disebabkan rendahnya permintaan tenaga kerja oleh dunia usaha. Thus, tingkat pengangguran siklikal akan cenderung naik pada saat periode resesi.

Secara teori dan pakem yang berlaku, kenaikan suku bunga akan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi, dan by Okun's law pada akhirnya berdampak pada kenaikan tingkat pengangguran. Konsensus para ekonom cenderung berpendapat bahwa kebijakan moneter (dalam hal ini perubahan suku bunga) akan memengaruhi aggregate demand dan selanjutnya tingkat pengangguran dalam jangka pendek. Laurence Ball, profesor dari Johns Hopkins University, USA, berpendapat lebih jauh bahwa pergeseran dalam aggregate demand juga akan memengaruhi pergerakan tingkat pengangguran tidak hanya dalam jangka pendek, tapi juga dalam jangka panjang. Jordi Gali (2010) bahkan berpendapat bahwa bank sentral perlu merespons secara langsung atas pergerakan tingkat pengangguran. Apabila terjadi kenaikan tingkat pengangguran, bank sentral perlu menurunkan tingkat suku bunga dalam rangka ekspansi perekonomian. Pendapat Ball dan Jordi konsisten dengan konsensus para ekonom bahwa kebijakan moneter akan memengaruhi tingkat pengangguran.

Bukti empiris

Bagaimana dengan data empiris di Indonesia? Hasil kajian penulis berdasarkan bukti empiris menunjukkan hal yang sebaliknya. Sejak 2006 tingkat pengangguran terus menurun dari 10,45% per Februari 2006 hingga menjadi 5,92% per Agustus 2013. Itu berarti dalam kurun waktu 7 tahun tingkat pengangguran di Indonesia menurun hingga hampir setengahnya. Sementara itu, dalam kurun waktu yang sama, tingkat pertumbuhan ekonomi berfluktuasi mengikuti siklus bisnis booms dan resesi. Pada periode 2006 hingga 2007 (periode sebelum krisis 2008), pertumbuhan PDB riil meningkat hingga kisaran 6,8%. Pada periode krisis 2008, pertumbuhan PDB riil melambat hingga kisaran 4%. Setelah krisis 2008, pertumbuhan PDB riil berfluktuasi pada kisaran 6%.

Dalam kurun waktu 2006-2013, tingkat pengangguran terus menurun, walaupun pertumbuhan PDB tidak menunjukkan tren kenaikan. Bahkan bukti empiris memperlihatkan bahwa pertumbuhan PDB menunjukkan tren penurunan akibat resesi pada 2008-2009, sementara tingkat pengangguran justru menunjukkan tren penurunan. Hal ini tidak konsisten dengan pakem yang berlaku di antara ekonom yang berpendapat adanya korelasi negatif antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran. Di atas ini bukti empiris menunjukkan adanya anomali dalam korelasi antara pertumbuhan ekonomi dan pengangguran.

Bukti empiris ini menunjukkan tingkat pengangguran di Indonesia tidak secara signifikan mengikuti siklus bisnis booms dan resesi. Hal ini mengindikasikan pengangguran siklikal dan pengangguran friksional bukan merupakan komponen utama dalam tingkat pengangguran. Dengan kata lain, tingkat pengangguran di Indonesia lebih didominasi oleh pengangguran struktural.

Apa implikasinya dalam perumusan kebijakan moneter? Implikasi utama adalah kebijakan moneter BI diperkirakan tidak berpengaruh signifikan pada pergerakan pengangguran. Kebijakan moneter tetap akan berdampak pada pergeseran aggregate demand. Namun, sebagaimana dibahas sebelumnya, pergeseran aggregate demand sesuai dengan siklus bisnis terindikasi tidak terlalu berpengaruh pada pergerakan tingkat pengangguran mengingat tingkat pengangguran di Indonesia lebih didominasi pengangguran struktural.


Dalam konteks perekonomian terkini, kebijakan pengetatan Bank Indonesia dengan menaikkan BI rate diperkirakan tidak berpengaruh signifikan pada pergerakan tingkat pengangguran. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar