Kamis, 19 September 2013

Analisa Pernyataan PBNU terhadap Krisis Politik dan Kemanusiaan di Mesir

Analisa Pernyataan PBNU
terhadap Krisis Politik dan Kemanusiaan di Mesir
Muhammad Ibrahim Hamdani  ;     Staf Peneliti di Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI) Universitas Indonesia
OKEZONENEWS, 19 September 2013



Sebagai organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, pernyataan dan sikap resmi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama tentu menjadi pertimbangan utama bagi para pengambil dan penentu kebijakan politik di Indonesia serta turut mempengaruhi kebijakan politik internasional. Inilah sebab mengapa PBNU terkesan lambat dan berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan dan menentukan sikap terkait permasalahan Mesir yang sangat kompleks dibandingkan rekan sejawatnya dari Muhammadiyah.
 
Karakter utama PBNU dalam menentukan sikap terhadap permasalahan politik dan kemanusiaan di Mesir ialah tidak memihak kepada salah satu faksi politik melainkan berpihak kepada kepentingan bersama (umum) seluruh rakyat tanpa kecuali berdasarkan pertimbangan kemaslahatan ummat sesuai dengan syari’at Islam. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari karakter utama NU sendiri, yakni Tawazun (Keseimbangan), Tawassuth (Moderat), Tasamuh (Toleransi), dan I’tidal (Tegak Lurus).

PBNU menghimbau kepada segenap warga nahdliyin dan seluruh ummat Islam Indonesia untuk membacakan qunut nazillah terkait memburuknya kondisi politik di Mesir dan jatuhya korban luka-luka maupun tewas akibat konflik tersebut. Qunut nazilah adalah do’a jika terjadi bencana yang dibacakan di rakaat terakhir salat fardhu setelah bangun dari ruku’. 

Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj, menyerukan agar segera diambil langkah-langkah untuk menghindarkan Mesir jatuh ke dalam kondisi yang lebih buruk. “Umat Islam itu satu tubuh, jika ada yang sakit yang lain ikut merasakan,” tegas beliau di Jakarta, Kamis/15 Agustus 2013.

Pernyataan ini menegaskan sikap NU yang berkarakter i’tidal dalam hal keberpihakan pada kelompok tertindas di Mesir dengan tidak memandang latar belakang dan afiliasi sosial-politik kelompok tertindas tersebut. Dalam kasus konflik politik Mesir kelompok ini diwakili oleh korban luka-luka, teraniaya dan meninggal dunia baik dari pihak Ikhwanul Muslimin (IM), kelompok Tamarood, aparat keamanan (polisi dan militer), kelompok minoritas Gereja Koptik, maupun aliansi oposisi (kelompok politisi sekuler, liberal, humanis dan sosialis).

Sikap PBNU yang menunjukkan perasaan empati dan simpati mendalam terhadap penderitaan ummat Islam di Mesir jelas merefleksikan Ukhuwwah Islamiyyah (Persaudaraan antarsesama Ummat Islam) sebagai salah satu prinsip dasar NU. Adapun seruan PBNU untuk mencegah situasi politik Mesir menjadi lebih buruk merupakan tindakan konkret dari prinsip dasar Ukhuwwah Insaniyyah (Persaudaraan antarsesama manusia di seluruh dunia) dan karakter tawazun yang menjadi ciri khas Jam’iyah NU. 

Sikap dan seruan PBNU ini merefleksikan prinsip Ukhuwwah Insaniyyah dan karakter tawazun karena ditujukan kepada semua pihak seperti pemerintah dan faksi politik di Mesir serta komunitas internasional untuk bersama-sama mencegah situasi politik di Mesir menjadi lebih buruk. Sikap dan seruan tersebut juga secara seimbang mengajak tidak hanya ummat Islam, faksi politik tertentu atau pun aparat keamanan saja melainkan seluruh rakyat Mesir tanpa kecuali.

KH. Said Aqil Siradj juga menyerukan agar umat Muslim di Indonesia memberikan solidaritasnya terhadap para korban konflik Mesir baik yang luka-luka maupun meninggal dunia. “Sekurang-kurangnya melalui do’a, karena kekuatan do’a itu sangat dahsyat,” ujar Ketua PBNU itu. Seruan tersebut merupakan cerminan dari karakter tawassuth yang menjadi ciri khas jam’iyah NU karena korban konflik politik di Mesir tidak hanya berasal dari kelompok pendukung Presiden Muhammmad Mursi melainkan juga dari kalangan aparat keamanan dan kelompok oposisi anti pemerintah.

PBNU telah menunjukkan karakter tawassuthdan prinsip ukhuwwah Islamiyyah dengan menunjukkan rasa solidaritas serta simpati dan empatinya terhadap korban konflik Mesir, melalui do’a qunut nazilah usai sholat fardhu dan bantuan konkret lainnya, tanpa memandang latar belakang dan afiliasi politik para korban tersebut. Keberpihakan kepada korban konflik politik berdasarkan latar belakang dan afiliasinya hanya akan menimbulkan sikap ekstrim, berat sebelah dan permasalahan baru.

KH. Said Aqil Siradj berpendapat bahwa saat ini Mesir dan negara-negara timur tengah sedang mengalami shock culture (kejutan budaya) dalam menghadapi euforia demokrasi yang dipelopori oleh para pemuda dan sarjana lulusan dari Eropa dan Amerika. 

Dari dulu, bagi orang Arab, pemimpin itu ya yang penting adil. Itu saja. Tdak ada aturan ketat soal cara dia terpilih, dan tidak ada batasan waktu. Setelah generasi muda pulang dari Eropa mereka menginginkan demokrasi; ada pilihan langsung dan batasan waktu. Sebenarnya masih ada tabrakan kultur. Sebagian besar, terutama kalangan tua belum menerima sistem demokrasi,” ujar ketua umum PBNU itu. 

Pernyataan tersebut bermaksud menegaskan bahwa situasi sosial – politik di Mesir dan kawasan Timur Tengah pasca Arab Spring merupakan konsekuensi logis dari tidak diterapkannya pola pikir al—muhafadzoh ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (memelihara tradisi lama yang masih relevan dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Masyarakat dan para pemimpin di Mesir dan Timur Tengah tidak menerapkan pola pikir yang menjadi ciri khas jam’iyyah NU tersebut, yangselama ratusan tahun telah menjadi adagium/kredo para u’lama dan pesantren se-Nusantara.

Generasi muda Mesir yang menginginkan proses dan mekanisme pemilihan pemimpin negara secara demokratis telah memaksakan kehendaknya pada generasi tua Mesir yang masih terbiasa dengan tradisi mempertahankan pemimpin yang adil dan berasal dari kalangan militer. 

Kedua belah pihak juga tidak dapat menemukan win-win solution dari perbedaan pendapat tersebut dan saling memaksakan kehendak masing-masing sehingga penurunan secara paksa terhadap Presiden Husni Mubarak yang dianggap diktator dan tidak adil oleh kedua belah pihak harus berakhir secara tragis dan anti-kimaks oleh kudeta militer. 

Mekanisme demokrasi yang mulai tumbuh bersemi di Mesir pun terpaksa berakhir oleh kudeta militer Mesir terhadap Presiden Muhammad Mursi yang sah dan legitimate karena perpecahan dan tidak kompaknya aktor-aktor pro demokrasi dalam menghadapi militer Mesir dan berbagai kelompok agama/non-politik lainnya seperti Universitas Al Azhar dan Gereja Kristen Koptik. 

Kedua organisasi keagamaan utama dan bersifat non-politik tersebut tentu lebih mementingkan stabilitas, harmonisasi, dan keamanan masyarakat Mesir dibandingkan menerima sistem demokrasi yang belum tentu sesuai dengan adat dan tradisi masyarakat Mesir. Situasi inilah yang secara psikologis benar-benar dimanfaatkan oleh pihak militer untuk melakukan kudeta terhadap Presiden Muhmmad Mursi.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar