Kamis, 12 September 2013

Perekonomian Sudah Lampu Kuning

Perekonomian Sudah Lampu Kuning
Lili Asdjudirdja  ;   Anggota Komisi VI DPR
KORAN JAKARTA, 12 September 2013



Salah satu pemicu depresiasi nilai tukar rupiah sekarang adalah defisit transaksi berjalan pada kuartal ketiga 2013 yang mencapai 4,4 persen dari produk domestik bruto. Padahal, indikator keamanan transaksi berjalan yang menjadi acuan internasional 3 persen. 

Ini berarti, perekonomian Indonesia sebenarnya sudah memasuki lampu kuning. Ada penyakit berbahaya yang perlu diwaspadai. Penyakit itu sekarang dilihat pelaku pasar. Mereka meresponsnya dengan mengalihkan dana ke dalam dollar. Menguatnya gejala ini menyebabkan rupiah langsung terdepresiasi hingga kisaran di atas 11.000 per dolar. 

Di mana letak kerawanan tersebut? Kalau melihat transaksi berjalan, terlihat sumber masalahnya berasal dari pelambatan ekspor, khususnya nonmigas selama kurang lebih tiga tahun belakangan ini. Selain itu, impor yang melambung baik migas maupun nonmigas. 

Sementara itu, transaksi jasa dan pendapatan masih minus. Ini semua menyebabkan transaksi berjalan bergerak negatif sejak 2012. Dari gejala tersebut, terlihat jelas bahwa sebab utama defisit transaksi berjalan berada dalam perdagangan barang, terkait dengan sistem produksi nasional alias kinerja perekonomian secara umum. 

Dengan kata lain, masalahnya bersifat struktural yang tidak mudah diselesaikan dalam tempo cepat. Harus ada antisipasi secara menyeluruh dengan membuat program jangka pendek, menengah dan panjang. Paket kebijakan penyelamatan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah sebenarnya respons masalah tersebut. Akan tetapi, pasar menanggapi dingin. Nilai tukar rupiah masih terus terdepresiasi.

Sebagian besar paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah bersifat jangka menengah dan panjang. Program menurunkan impor migas dengan menaikkan pemakaian biosolar dan menaikkan pajak barang mewah, implikasinya jelas tidak mungkin dirasakan sekarang. Dampaknya baru terasa sekitar satu tahun. 

Begitu juga program menggenjot ekspor, seperti program pengurangan pajak penghasilan, penundaan pembayaran pajak, serta relaksasi kawasan berikat dengan mengizinkan penjualan 50 persen produknya ke pasar dalam negeri. Apalagi program mempercepat investasi, jelas dampaknya tidak mungkin memengaruhi pertumbuhan ekonomi dalam rentang setahun.

Kalau dilihat lebih jauh, persoalan pokoknya justru belum banyak tersentuh, seperti kebergantungan pada bahan baku impor sebagian besar produk baik beriorientasi ekspor maupun domestik. Maka, depresiasi nilai tukar rupiah sekarang sebenarnya tidak hanya memukul produk untuk pasar domestik dengan kandungan bahan baku impor cukup tinggi, tapi juga yang berorientasi ekspor berbahan baku impor. 

Yang relatif selamat dari depresiasi nilai tukar rupiah hanyalah produk yang kandungan impor bahan baku rendah dan untuk ekspor. Sayang, produk yang demikian tidak terlalu banyak. Ironisnya, kategori ini justru didominasi hasil perkebunan, pertambangan, dan kehutanan yang bernilai tambah rendah. 

Ekspor kayu gelondongan sudah lama dilarang. Untuk pertambangan, sesuai dengan UU No 4 Tahun 2009, mulai tahun 2014 sudah dilarang ekspor dalam bentuk mentah. Hasil perkebunan, khususnya CPO, diharuskan lebih dulu untuk memenuhi pasar domestik. Akibatnya, ekspor dari sektor kehutanan, perkebunan, dan pertambangan diperkirakan semakin menurun.

Serius

Sementara itu, industri yang hendak diprimadonakan justru sedang mengalami masalah sangat serius, seperti tekstil, garmen, dan barang dari kulit. Mereka semakin kurang kompetitif karena tekanan dari kompetitor dan upah buruh yang semakin mahal. 

Adapun industri yang berorientasi ekspor dan juga sebagian besar industri pasar domestik, justru semakin bergantung pada bahan baku impor. Dengan demikan hampir sebagian besar industri menjadi sangat rawan terhadap perkembangan nilai tukar.

Bagi produk yang kandungan impornya cukup tinggi untuk pasar domestik akan mengalami persoalan paling rumit. Tekanan nilai tukar rupiah tidak mungkin direspons dalam waktu cepat dengan menaikkan harga mengikuti perkembangan dollar. Hal ini terkait dengan perhitungan ulang terhadap kenaikan biaya, perhitungan daya beli masyarakat, dan tingkat kepastian di dalam pasar.

Kesulitan inilah yang kemudian mendorong sebagian kalangan produsen menempuh jalan pintas. Dasar transaksi jual-beli menggunakan dollar. Setelah itu, silakan pembeli memilih opsi pembayaran dengan dollar atau rupiah sesuai dengan kurs.


Model transaksi seperti ini memang cukup aman bagi penjual, namun ilegal. Pasal 21 UU No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, mewajibkan seluruh tranksaksi pembayaran di Indonesia menggunakan rupiah. Pelanggaran diancam pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak 200 juta rupiah. Dengan ketentuan ini, maka apa pun alasannya, pembayaran di dalam negeri harus dengan rupiah.

Pemerintah segera menstabilkan nilai tukar bukan mengapresisasi rupiah. Sebab dengan stabilisasi, kalangan produsen dan penjual dapat mengalkulasi biaya lebih pasti. Mereka juga mampu memprediksi secara lebih akurat daya beli pasar domestik, sekaligus menyesuaikan biaya dan harga jual yang lebih rasional. Kepastian-kepastian semacam inilah yang sangat dibutuhkan dunia usaha.

Sayang, stabilisasi nilai tukar rupiah yang sangat dinantikan tersebut tak kunjung datang. Respons pemerintah terhadap gejolak nilai tukar, alih-alih menenteramkan pasar, justru disambut dingin pasar. Karena itu, pemerintah perlu membuat gebrakan lebih lanjut, agar pasar percaya, tindakan pemerintah benar dan mampu menstabilkan rupiah.

Di samping respons yang bersifat jangka menengah dan panjang sebagaimana paket kebijakan sekarang, pemerintah sebenarnya perlu melengkapi kebijakan jangka pendek agar lebih komprehensif. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar