Kamis, 12 September 2013

Mendidik Rasa Bersalah

Mendidik Rasa Bersalah
Nalini Muhdi ;   Psikiater dan Pengamat Psikososial,
Bekerja di RSUD dr Sutomo/FK Unair
JAWA POS, 12 September 2013



SI bungsu Abdul Qodir Jaelani (AQJ) alias Dul, anak pesohor Ahmad Dani, terlibat kecelakaan lalu lintas yang menyedot perhatian kita, mengalahkan krisis tahu dan tempe nasional. Enam korban nyawa melayang dan sembilan orang terkapar luka. Ah, sesungguhnya siapa pelaku dan siapa korban?

Frederic Reamer, profesor pakar perilaku remaja dari Rhode Island College, mengatakan bahwa perilaku impulsif dan berisiko tinggi (impulsive and high-risk behaviors) pada remaja kerap merupakan salah satu penanda mereka dalam kondisi stres yang tidak tertahankan. Sebagian di antara perilaku tersebut dikabarkan ada pada AQJ: hang out dan ngebut bersama teman-teman yang sama-sama berisiko, mengendarai kendaraan bermotor tanpa SIM, apalagi belum cukup usia, atau yang demen berkelahi, mem-bully, ngutil, memakai obat-obatan dan alkohol. Penanda itu bisa samar atau nyata. Bukan sekadar pengaruh lingkungan semata, tapi juga di dalam mereka sendiri memang amat rapuh. Masalahnya, mengapa dia menjadi lebih rapuh daripada usia sebayanya?

Perilaku itu kalau diabaikan akan cenderung merusak diri dan mencelakakan orang lain, bahkan membunuh. Perlu perhatian serius agar ada makna pembelajaran ke depan. Fokus kepada masalah tabrakan maut tersebut, dilakukan anak usia 13 tahun yang secara normatif belum diizinkan mengemudi, apalagi ngebut tanpa lisensi di tengah malam buta, anak pesohor lagi, wajar bila banyak keingintahuan di benak masyarakat. Apakah dia sudah terbiasa ngebut di jalan raya atau baru kali itu dilakukan? Pertanyaannya lagi, mengapa kasus seperti itu, tidak hanya dilakukan AQJ, bisa terjadi dan terus berulang? 

Bagaimana sistem tidak mengantisipasi dengan aturan yang tidak sekadar harus jelas, tapi juga menjalankannya dengan konsisten. Coba lihat di jalanan, banyak remaja belum cukup usia berkendara mobil atau sepeda motor tanpa mengindahkan tata cara berlalu lintas yang benar, tapi terjadi pembiaran oleh petugas. Juga, banyak pelanggaran lain dipertontonkan masyarakat, mulai pemimpin hingga anak muda kelas rakyat, yang karena terjadi ''pembiaran nasional'', akhirnya menjadi kelaziman baru.

Keluaga! Keluarga! 

Seorang anak atau remaja tentu secara individu dibentuk lingkungan, terutama keluarga. Namun, sebagai bagian dari masyarakat, tentu sistem di suatu komunitaslah yang ''mengizinkan'' berbuat demikian. Meskipun sebagai anak yang belum dewasa, tentu pengaruh orang tua atau lingkungan keluargalah yang paling berpengaruh. Keluarga memberikan warna dasar anak akan berperilaku. 

Mana yang boleh dan mana yang tidak boleh mestinya diperkenalkan pada pola pikir anak yang masih hitam-putih, lantas akan beradaptasi dengan realitas yang ada. Seperti kata P. Zimbardo, pakar psikologi sosial, kekuatan aturan dan nilai-nilai dalam membentuk realitas amat efektif untuk mengoordinasikan perilaku sosial. Misalnya, harus berhenti berkendara saat tanda lampu merah, tidak boleh ngebut di jalan umum, tidak memotong antrean, mendengarkan bila ada orang yang sedang berbicara, dan aturan sosial lain. Bermula dari rumah, lantas melangkah ke aturan masyarakat dan negara. Akan efektif bila ada sistem yang mengatur, yaitu reward dan punishment berlaku tanpa pandang bulu dan berkesinambungan.

Mengapa anak tidak boleh mempunyai lisensi mengemudi ketika belum berusia 17 tahun. Atau, mengapa orang tua tidak harus selalu mengabulkan keinginan anak untuk mendapat sesuatu, bahkan harus ''kerja keras'' lebih dulu kendati orang tuanya mampu. Tentu itu bukan semata sayang atau tidak sayang, bukan boleh atau tidak boleh. Itu mengajarkan bagaimana seseorang akan mampu untuk bersabar menunggu proses, tidak impulsif, jujur, dan tidak bermental menerabas, serta paham makna prioritas. 

Itulah modal amat mendasar untuk hal lebih besar di negeri ini, yaitu pencegahan perilaku koruptif! Sekaligus pembiasaan itu menanamkan ''rasa bersalah'' (guilt culture) bila mengganggu atau melanggar hak orang lain, bukan sekadar ''rasa malu'' (shame culture). 

Kembali kepada AQJ, betapa tidak sedikit orang tua masa kini, atas nama keberdayaan ekonomi dan ''slogan'' sayang anak, mereka memanjakan anak dengan materi, cenderung sudah tidak proporsional lagi. Kata ayah AQJ: ''Satu anak satu mobil plus sopir'' sehingga bisa jadi anak malah kurang belajar tentang makna berbagi atau tenggang rasa. Memberi tanpa proses menunggu dan berjuang yang wajar, demi siapa? Demi sayang anak atau demi gengsi orang tua? 

Di tengah kondisi masyarakat yang susah sekaligus ''sakit'' saat ini, pelajaran tentang empati, memahami, dan tenggang rasa tentang perasaan serta kondisi orang lain tentu relevan untuk didendangkan di telinga anak muda. Bahwa ada hak orang lain yang juga penting di luar kepentingan sendiri sehingga perlu pertimbangan sebelum melakukan sesuatu. Bagaimana jika berada di posisi korban atau orang yang menderita, seperti para janda dan yatim baru dalam tragedi Dul.

Saya cuma khawatir, bila keinginan ayah AQJ yang dulu pernah dilontarkan untuk mendidik anak-anaknya ''menjadi lelaki sejati'' akan menjadi kenyataan. Yaitu, menjadi lelaki sejati kendati melewati babak belur terlebih dahulu. Bisa jadi, ''babak belurnya'' tidak kunjung sembuh, atau sebaliknya akan menjadi manusia tahan banting. Namun, kalau ada pilihan lain yang lebih baik, mengapa tidak?  ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar